Mochamad Reforaldo Kingardhi JSM Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Cerpen: Hati yang Kaya [1]

5 min read

“Ibuku perna berkata Cit, kita boleh miskin harta nak. Tapi jangan sampai kita punya hati yang miskin”. Itu adalah senyuman paling indah yang Tina berikan padaku. Tak pernah kulihat wajahnya sebercahaya itu.

“hmm..  lampu sudah, tempat sudah, rundown..” Kuletakkan catatan kecil beserta bolpoin di atas meja dekat kasurku. Kuangkat kedua tanganku, merilekskan otot-ototku yang kaku. Duduk berjamjam untuk memikirkan event kampus benar-benar melelahkan. Sebagai koordinator acara, aku tak boleh kalah oleh rasa lelah. Meskipun power mata tinggal 5 watt haha.

Mungkin selepas cek rundown, aku bisa tidur sebentar. O iya laptopku kan masih dibawa Tina.

Tok tok…

Suara pintu terketuk mengalihkan perhatianku. “Masuk.”

“Dek, lihat charger kamera mas ngga?” Rupanya kakak keduaku.

“Kayaknya tadi dibawa Mas Angga deh.”

“Engga ada. Udah mas cek di kamar Mas Angga juga ngga ada.”

“Lah ngga tau deh Citra. Dari tadi Citra di sini mas.”

“Bantu Mas Reza yok.” Mulai deh. Memang kakakku satu ini rajanya bikin jengkel. Udah tau adiknya lagi sibuk, masih aja digangguin. Lihat mukanya, walaupun Mas Reza senyum-senyum kayak gitu ngga bakal pengaruh juga.

“Mas ngga lihat Citra lagi sibuk.” Tahan cit, jangan emosi. Kutarik nafas pelan.

“Ayolah dek.. besok kakak ada projek penting.” Ucapnya memelas.

“Iya deh.” Meski setengah ngga ikhlas, dari pada Mas Reza uring uringan terus. Akhirnya aku beranjak dari kursi dan menuju kamar Mas Reza.

“Memang terakhir, Mas taruh mana?”

Mukanya menunjukkan ekspresi berfikir. “Seinget mas sih, tadi pagi dipinjem Mas Angga, tapi langsung dibalikin.”

“Terus?”

“Lupa.” Ya ampun untung kakak sendiri. Sepertinya pola makan Mas Reza harus kukontrol biar ngga kebanyakan makan micin.

Kita sudah di depan pintu kamar Mas Reza. Tanpa permisi langsung aja aku masuk. Cukup rapi untuk ukuran Mas Reza. Sedikit berjalan ke arah lemari, atas meja, sampai bawah tempat tidur mengecek satu persatu. Ketika kutarik laci meja belajar, tanganku langsung meraih sebuah charger kamera dan menunjukkannya kepada kakakku. “Ini apa? Kebiasaan deh, engga teliti.” Omelku.

“Hehe.. mkasih ya dek.”

Ketika mataku tak sengaja melihat laptop, langsung diriku teringat kalau laptopku masih dipinjam Tina. “O ya mas, Citra pinjam laptopnya bentar ya, besok lusa malem kukembaliin.”

“Boleh, pakai aja.” Yeay. “Besok jadwalnya apa dek? Rundown udah selesai?” Wah aku baru tahu Mas Reza seperhatian ini. Tumben banget. Boro-boro perhatian, ngga ngerepotin sehari aja udah syukur. Maafin adikmu yang jahad ini haha.

“Hari ini Citra mau ngecek sekalian revisi dikit rundown, terus besok kita mau pemasangan properti. O ya mas, pokoknya lusa pas malem puncak. Papa, Mama, Mas Angga, sama Mas Reza harus dateng. Wajib. Titik.” Mataku langsung menyipit melihat ekspresi menolak dari Mas Reza, memberinya peringatan.

Baca Juga  Kerakusan Manusia itu Tidak Ada Batasnya

“Iya deh. Nih laptopnya, sekalian chargernya. Semangat ya.”

Yeay. Mkasih mas.” Kuberikan senyuman terbaikku kali ini. Aku langsung berbalik begitu menerima laptop hitam milik Mas Reza.

****

Tina, dia adalah sahabatku sejak sekolah menengah atas. Kami memang sekelas waktu itu, akan tetapi kelas bukanlah tempat pertemuan pertama kami. Kami bertemu ketika acara MOS. Agak terharu rasanya kalau kuingat-ingat lagi kala itu.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 06.00. Masih pagi kan? Harusnya seperti itu, sayangnya panitia nyuruh kita para peserta buat datang lebih pagi. Alhasil aku terlambat. Sebel juga, padahal Mas Reza masih molor di tempat tidur tadi kulihat. Padahal kan dia juga panitia MOS. Iya, aku sama Mas Reza satu almamater. Kita terpaut dua tahun.

Aku lari sekencang-kencangnya begitu gerbang sudah mulai ditutup oleh panitia. Tak peduli jilbab yang kugunakan mulai acak-acakan oleh ulahku. Ditambah atribut MOS yang menghambat lariku. Hahh… percuma juga lari, ngga bakalan sempet.

Salah seorang kakak-kakak langsung meneriaki ketika kupelankan langkahku. Tak mau menambah masalah, langsung kupercepat lagi lariku.

Sialnya, cuma aku yang terlambat hari itu. Habislah aku kena omel. Apes-apes.

Tiba-tiba kudengar dari arah belakang suara langkah kaki yang memburu. Karena penasaran kuputuskan untuk melihat siapa itu.

“Eh.. pandangan ke depan!” Seketika pandanganku langsung lurus. Hii serem amat. “Kamu yang terlambat. cepat ke sini.”

Jelas sekali suara deru nafasnya. Sepertinnya dia habis lari maraton. “Ma-af kak. Saya terlam-bat.” Tak tega rasanya mendengar suaranya yang terputus-putus.

Kuperhatikan ekspresi kakak di depanku ini. Matanya melotot ke arah kami. “Sudah jam berapa ini? Tidur jam berapa semalam?” Ucapannya pelan tapi nadanya benar-benar membuat bulu kuduk berdiri.

“Maaf kak, kami salah.” Balas kami pelan.

“Itu apa? Kenapa bawa kotakan segala?” Hah kotakan apa? Langsung kucari kotakan yang dimaksud Kak Serem ini. Pandanganku berhenti di tangan kanan teman seperjuanganku ini. Kupanggil begitu karena kita sedang sama-sama disidak sama Kak Serem ini.

Saat ini ia tengah menenteng sebuah kotak ukuran cukup besar. Sepertinya berisi jajanan pasar. Kulihat genggaman tangannya mengerat. “Maaf kak, ini untuk jualan nanti dzuhur kak.” Balasnya singkat.

Kakak Serem tadi terkekeh singkat. “Ini sekolah loh.” Ya ampun kejem amat responnya. Ingin rasanya kulempar pake sepatu. Biar tahu rasa. Apa salahnya jualan di sekolah.

“Apa salahnya kak kalau mau jualan di sekolah.” Sahut temanku ini.

“Iya, kan engga ada yang ngelarang.” Tambahku spontan. Tak bisa kusembunyikan rasa kagetku. Sedikit kuruntuki jawaban spontanku barusan.

Baru saja Kak Serem itu akan angkat suara, tiba-tiba ada suara lain yang seperti memanggil seseorang, dan kak serem itu berbalik tanpa meninggalkan sepatah katapun mendatangi sumber suara. Untung selamet.

Kulirik dia sebentar sedikit ragu tapi kucoba memulai pembicaraan. “Halo, namaku Citra.” Hey dia tersenyum. “Hai, namaku Tina.”

Baca Juga  Ngaji Sullam al-Tawfiq [5]: Kewajiban dan Waktu Salat

“Hai juga, namaku Reza.” Dengan cepat kuinjak kaki sang sumber suara. Salah sendiri, udah telat, main potong aja. Tidak peduli dia kakak sendiri atau kakak senior.

“Sakit Cit.” Dia bilang gitu tapi mukanya tetep aja datar. Sepertinya berusaha membangun image keren di sini.

“Ngomong-ngomong aku engga pilih kasih loh. Walaupun kamu adikku, tetap harus kena hukum.” Eit eit bukannya situ sendiri juga telat. Ingin sekali kuucapkan itu, tapi pandangan dari Kakak Senior yang lain langsung membuatku kicep.

“Itu yang berkacamata, kamu bawa kotakan apa?” Tanya kakakku pada Tina. Sebenarnya aku juga penasaran mengapa dia sampai bawa-bawa itu.

“Maaf kak, saya harus jualan. Saya dengar di sini sistem belajarnya banyak menggunakan internet.” Mas Reza cuma menatap kotak yang dibawa Tina. Mengangguk singkat. Sepertinya ia cukup mengerti maksud tersirat dari jawaban Tina. Jujur aku sendiri jadi kagum pada Tina. Meski kami satu angkatan, sorot matanya tidak menyiratkan ia sedang berada di umur yang sama denganku.

Cukup lama kami berdiam diri sampai akhirnya Mas Reza membuka suara, “Baiklah, sekarang kalian kuhukum. Hmm.. karena kalian anak IPA, harusnya kalian tahu dong pelajaran biologi.”  Waduh gawat. “Sebutkan satu aja bagian  otak beserta funggsinya.”

“Otak besar atau biasa disebut seberum, berfungsi sebagai pusat saraf sadar terbagi atas empat bagian. Pertama lobus oksipalis atau pusat penglihatan, kedua lobus frontalis atau pusat pengendali pikiran, ketiga lobus parentialis atau pusat pengendalian kerja kulit, dan keempat lobus temporalis pusat pendengaran dan bicara.”

“Bagus” Tak bisa kupercaya, itu rekaman atau apa, lancar banget bicaranya. Tak hanya pekerja keras, ternyata Tina juga sangat pintar. Baru saja pertanyaan dilontarkan, langsung disahut. Tina melihat ke arahku, memberi isyarat semangat.

“Em.. ano. Otak kecil, atau bisa disebut serebelum. Fungsinya…” Ayolah otaku, tunjukkan pesonamu. “Kalau tidak salah ya kak.. dia berperan sebagai pusat keseimbangan dan penghalusan gerak otot.” Aku sudah tak tahu bagaimana rupa ekspresiku. Itu tadi jawaban samar. Udah aga lupa pelajaran kayak gitu.

“Bagus” Lega banget rasanya mendengar balasan Mas Reza. Mas Reza mengangkat salah satu tangannya mengecek jam.

“Oke karena kalian berhasil menjawab pertanyaan tadi, kalian boleh bergabung dengan yang lain.”

Dengan perasaan riang, kami langsung balik kanan menuju barisan murid baru. Tapi baru saja satu langkah, Kak Reza kembali menegur kami. Ada apa lagi sih.

“Tina ya tadi namamu?” Merasa terpanggil, Tina langsung mendekat ke kak Reza. “Iya kak?”

“Itu kotakmu ditaruh sini saja.”

“Buat apa kak? Saya kuat kok, saya bawa saja ngga papa.” Tentu saja Tina merasa curiga. Emang muka-muka kayak Mas Reza patut dicurigai dari dulu.

Baca Juga  Idzotun Nasyi’in, Ikhtiar Revolusi Budaya dan Pesantren

“Aku mau borong buat sarapan panitia.”

Genggaman tangan Tina pada kotak seketika terlepas menimbulkan suara khas. Tak bisa dipercaya, Mas Reza berbicara seperti itu. Kejadian ini perlu dimuseumkan. Ya Allah kejadian langka ini. Tadi pagi Mas Reza pasti makan makanan empat sehat lima sempurna, mangkanya bisa gini.

“Se-seriusan kak?” Iya, seriusan engga nih? Emang sih Mas Reza udah punya penghasilan walaupun masih kecil kecilan, tapi untuk memborong sekotak jajan pasar ukuran segitu?

“Iya. Nanti sepulang MOS kutunggu di sini sekalian bayar sama ambil kotaknya. Sekarang buruan ke barisan.” Tina mengangguk keras, ia langsung berlari ke arahku, wajahnya tersenyum lebar. Sejak saat itu, aku berteman akrab dengan Tina hingga sekarang. Bahkan kami berada di Universitas yang sama di salah satu sudut Yogyakarta. Kota yang sama dengan tempat kelahiran kami.

*****

Jalanan Affandi tak terlalu ramai pagi ini. Mataku tak bisa terlepas dari pemandangan luar mobil yang memperlihatkan kesibukan warga Yogya. Hari ini aku mau ke kampus. Yah.. meskipun sekarang hari Minggu, aku tetap ke kampus untuk pemasangan properti buat event puncak besok. Kebetulan Mas Reza mau keluar juga, jadi sekalian nebeng.

“Ngomong-gomong laptopmu ke mana dek? Tumben ngga pakai laptop sendiri.”

“Kupinjamkan ke Tina, kebetulan dia jadi wakil koordinator acara. Kebetulan juga laptopnya lagi ngehang. Engga tega aku lihat dia nyusun tulisan pakai hape.”

“Oo”

“Eh mas, ngomong-ngomong soal Tina, Citra jadi penasaran deh.” Mas Reza langsung memasang wajah curiga. Menatapku sekilas sebelum kembali menatap ke depan.

“Engga usah tanya yang aneh-aneh.”

“Engga kok. Engga aneh suer.” Kubuat suaraku senormal mungkin supaya Mas Reza tidak curiga.

“Gini mas. Mas Reza masih inget waktu pertama kali ketemu sama Tina?”

“Hmm.. Waktu kalian kuhukum itu ya.”

“Nah iya..” Sahutku antusias. Mas Reza masih mengingatnya ternyata. “Waktu itu Mas keren banget, apalagi waktu borong kotak jajanan yang biasa Tina bawa itu.” Mas Reza cuma bergumam tidak jelas.

“Alasannya apa mas?” kutatap lekat mata Mas Reza yang sedang fokus ke jalanan.

“Ya waktu itu aku lagi laper.” Engga mungkin cuma itu, pasti ada alasan lain. Harus dapet jawabannya.

“Ayolah mas..” Akhirnya kukeluarkan jurus yang hampir tak pernah kugunakan hampir setahun lamanya. Jurus memelas.

Mas Reza hanya tertawa, “Iya sumpah, waktu itu aku memang belum sarapan. Ga sempet haha. Toh yang waktu itu mas lakuin cuma ngebantu Tina. Ngga lebih. Btw jarang-jarang loh ada orang seumuran Tina waktu itu yang punya semangat gede buat belajar. Bahkan keadaan ekonomi yang kurang tak menjadi halangan, dia tetap maju dengan usahanya. Setidaknya, kakak pengen mengapresiasi itu.”

Mochamad Reforaldo Kingardhi JSM Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga