Biasanya, kitab yang dikaji pada ngaji pasan, terbilang ringkas dan akan habis diulas selama Ramadhan saja. Pesantren-pesantren, Langgar, Mushala, Masjid kampung merupakan wadah yang selalu langgeng meruwat tradisi ngaji pasan setiap Ramadhan tiba.
Tidak seperti biasanya, kali ini penulis merasa tertantang atas permintaan para pemuda di kampung yang meminta penulis membacakan kitab yang cukup jarang dingajikan ketika pasan (ejaan bahasa Jawa yang berarti puasa). ‘Idzatun Nasyi’in, begitu nama kitab ini dijuluki oleh penyusun sekaligus pengarangnya. Syeh Mustafa Al-Ghalayani adalah pengarang dari kitab yang eksentrik ini.
Dikalangan pesantren, kitab ini lebih dikenal dengan kitab yang memuat nasehat soal akhlak budi pekerti dan kemasyarakatan. Meski ketika kita menyelaminya secara serius, seutuhnya kitab ini tidak berbicara seperti itu. Kitab ini merupakan kumpulan dari esai-esai beliau yang rutin terpampang disurat-surat kabar ‘El Mufid di Libanon (alih bahasa pada sambutan penulis). Meski nama kitab itu dalam alih bahasa Indonesianya adalah nasehat bagi para pemuda, namun sifat essainya terbilang provokatif dijamannya.
Dalam catatan sejarah, awal periode 1900an, Libanon merupakan daerah jajahan negara-negara Eropa, Jerman, Perancis silih berganti menjadikan Libanon sebagai lokasi perebutan antar negara kuat Eropa, 1975-1990 Terjadi perang saudara antar sesama warga Libanon dan reda diakhir 1990-an.
Apesnya, belum lama saja di 2006 Libanon kembali perang dengan Israel soal perebutan wilayah. Kembali kepada tokoh pengarang kitab, penulis berasumsi, dengan keadaan politik negara yang cenderung terlibat perang, wajarlah seorang Mustafa hendak menyadarkan masyarakatnya lewat essai-essai yang bernada “membakar”.
Nyaris lebih dari 50 essai yang beliau kumpulkan dalam frame hingga menjadi sebuah kitab, kesemua tadi adalah obor yang siap selalu membakar kesadaran generasi muda di zamannya. Bagi beliau, penjajahan hanya bisa dilawan oleh kesadaran untuk merdeka.
Kesadaran-kesadaran tadi harus dibangun dengan memperkaya wawasan lewat bacaan. Masyarakat butuh membaca, membaca segala hal yang terpampang dimedia-media cetak kala itu. Rasa geramnya seorang Mustafa, beliau luapkan dalam dua anak judul الهجعة و اليقظة (jatuh dan bangkit), serta الثورة الادبية (Revolusi Budaya).
Dua anak judul ini sangat merekam bagaimana getolnya Mustafa Al-Ghalayani hendak membangunkan para pemuda Libanon yang terlelap tidur dalam kebodohan. Ada pula anak judul bertemakan patriotisme (الوطانية), kenegaraan (المدانية), ummat dan pemerintahan (امة و الحكومة) hingga membahas dinding sakral yang disebut agama (الدين) dalam sudut masyarakat modernisme. Issue tentang gender pun tidak ketinggalan, ada satu ulasan serius tentang tema perempuan dalam essai tersebut.
Penulis berasumsi, judul diawal buku ini merupakan keyword dari sekumpulan ide dan gagasan yang hendak beliau kemukakan bagi generasi muda yakni al-aqdam (الاقدام) maju kedepan atau dalam bahasa lain menatap kedepan. Begitulah secara sederhana frame bagaimana kitab ini ditampilkan oleh seorang Mustafa Al-Ghalayani, hingga akhirnya gelar pujangga Arab Modern tersemat indah dalam catatan sejarah masyarakat Libanon. beliau lahir di Beirut Libanon 1885 Masehi dan tutup usia 1944 Masehi tepat 2 tahun sebelum negara itu merdeka.
‘Idzotun Nasyi’in dan Pesantren
Ada rasa penasaran yang mengganjal bagi penulis, ketika mencari refrensi sejak kapan kitab ini diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Beberapa literatur penulis periksa, tidak ada yang concern mengulas babad sejarah soal kitab ini. Jika merujuk kepada catatan Van Bruinsen sang antropolog Belanda dalam karyanya yang berjudul Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Beliau sempat mencatat kurikulum kitab-kitab yang diajarkan dipesantren-pesantren se nusantara, nama kitab ini tidak diketemukan. Atau mungkin terlengah dari catatan seorang Van Bruinsen.
Dalam pengalaman penulis ketika mondok, kitab ini diajarkan secara bandongan atau wetonan oleh Kyai dan diajarkan kepada para santri-santri senior atau biasa disebut kakang pengurus. Jika sebuah kitab diajarkan secara bandongan artinya kitab ini bukan kurikulum inti pesantren sebab tidak masuk kepada kurikulum yang diajarkan di kelas-kelas diniyyah atau dengan kata lain, kitab ini berbobot muatan lokal semata bukan materi inti penunjang keprofesionalan skill santri kedalam bidang fiqh, qowaid maupun faroid.
Penulis berasumsi, kitab ini adalah bekal bagi para pemuda pesantren kelak ketika lulus harus menjunjung tinggi akhlakul karimah dan kecintaan terhadap tanah air, bermasyarakat dan mengerti apa arti kepemimpinan, urgennya membangun tradisi membaca pada jiwa-jiwa muda, peduli akan kondisi negara, politik dan pemerintahan.
Awalnya, penulis mengakui, justru mengenal nama seorang Mustafa Al-Ghalayani adalah seorang pencetus kitab Jami’u Durus yang bergenre nahwu. Itupun penulis temui ketika studi pada strata S1 di semester 4. Kebetulan oleh sang Dosen, kitab itu (جميع الدروس) dipilih karena materinya yang lengkap dan komplek menyoal diskursus nahwu. Meski di pesantren penulis sempat tahu jika kitab ini diaajrkan kepada para santri yang lebih dewasa dengan jam ngaji diluar jam diniyyah, penulis tidak menyadari rupanya seorang ahli linguistik itu adalah seorang pujangga dan essais sejati di jamannya.
Kembali kepada soal tahun berapa kitab ini diajarkan dipesantren di Indonesia, jika merujuk pada tanggal kelahiran seorang Mustafa hingga akhir hayatnya, (1885-1944 M) kitab ini belum lama masuk ke Pesantren di Indonesia. Salinan naskahnya yang sudah dimodifikasi dengan aksara pegon yang ditulis oleh Kyai Misbah bin Zainul Mustafa Al-Bangilaniy yang kemudian dicetak oleh Majlis Muallifin Wal Mukhathot (مجلس مؤلفين والمخطاط طوبان) Tuban mencatat tahun 1983.
Jika hendak melacak lagi pada teks atau naskah asli yang belum termodifikasi aksara pegon, penulis menemukan pada cetkan kesembilan Beirut tertera tahun 1953 Masehi atau 1373 Hijriyah. Mungkin disekitaran tahun inilah kitab ini masuk dan dibawa oleh ulama-ulama kita sepulang dari Timur Tengah untuk belajar atau mungkin juga dibawa oleh para sarjana indonesia muslim yang sudah mengkiblatkan Kairo Mesir dan Al-Azharnya sebagai pusat peradaban keilmuan selanjutnya bagi kebanyakan umat muslim dunia. (mmsm)