Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Ketika Kiai dan Santri Ngaos from Home [NFH] Secara Live

3 min read

Foto: http://www.josstoday.com/

Ibarat bermain karambol, untuk menyentil cakram kecil sasaran jari kita harus tepat dalam menggerakkan cakram-cakram yang ada. Tanpa diduga oleh lawan mainnya, cakram harus disarangkan pada lubang yang semestinya. Analogi ini layak digambarkan dalamproses pembelajaran daring (dalam jaringan) atau online di tengah dentuman wabah Covid-19 belakangan ini. Layak atau sudah tepatkah proses dan apakah hasilnya sudah memenuhi sebagaimana diharapkan.

Sebelum bulan Ramadan, jagad pendidikan di Indonesia diramaikan dengan pembelajaran online di rumah saja—atau biasa disebut Learning from Home (LFH). Ketika siswa-siswi LFH, yang diributkan orang tua bukan sekadar materi pembelajaran saja, tetapi juga berkait erat dengan kebutuhan alat komunikasi, smartphone/laptop, yang harus digunakan secara bergantian dalam satu keluarga. “Meributkan” hal teknis dan substansi pembelajaran daring tentu wajar-wajar saja, terutama di minggu pertama LFH. Karenanya, pola atau model pembelajaran ini seiring berjalannya waktu dapat diadaptasikan dengan baik oleh beberapa keluarga.

Hampir seminggu berjalan berpuasa di bulan Ramadan, model LFH sudah dianggap biasa saja oleh orang tua dan publik di Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia sudah beradaptasi dalam mengatur waktu belajar, beribadah, dan berinteraksi dengan keluarga di rumah. Model pembelajarannya juga bisa disesuaikan dan disepakati antara murid, guru, dan orang tua. Hal serupa terjadi juga pada mahasiswa dan para dosen di Perguruan Tinggi. Sempat ramai terkait kuota dan signal yang harus dibeli secara mahal, tapi lambat laun hal ini tidak lagi diributkan, sekalipun masih banyak problem kecil lain yang belum selesai.

Selain problem yang dihadapi siswa dan mahasiswa, ada satu elemen lagi peserta didik di Indonesia yang tergolong cukup besar juga khususnya di pulau Jawa, yaitu santri. Apa pasalnya? Semenjak pondok pesantren mengikuti anjuran pemerintah untuk memulangkan seluruh santrinya demi mengamankan penyebaran virus Covid-19, para kiai dan guru di pesantren kemudian berinisiatif untuk tetap mengajar kepada para santri secara daring, online atau live.

Selama bulan Ramadan, biasanya beberapa pesantren mentradisikan pengajian kitab kuning yang khas dan hanya diajarkan pada bulan puasa. Kitab yang diajarkan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya kadang berbeda, tergantung kebijakan pesantren dan level santri. Para santri level Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, atau Mahasantri mempunyai jenjang ngaji sendiri. Diksi yang digunakan untuk menyebut tradisi ngaji kitab ini juga bermacam-macam. Ada yang menyebut “posonan”, “pasaran”, “pesantren kilat”, dan lain seterusnya. Khusus istilah pesantren kilat ini kurang lazim bagi pesantren yang terbiasa mengadakan pengajian khusus bulan puasa. Sebutlah “pasaran”. Tradisi pasaran ini sementara waktu memang tidak diperkenankan, karena proses ngaji ini bisa mengumpulkan massa yang banyak dan dapat berdekatan duduk posisinya. Karena sudah tidak diperkenankan, solusinya adalah mengaji jarak jauh dengan menggunakan “aplikasi” atau program tertenti atau via media sosial. Sekalipun jarak berjauhan tetapi ilmu pengetahuan tetap ditransmisikan dengan baik dan benar.

Baca Juga  Fangirling/Fanboying: Harapan-harapan Sosial yang Terpinggirkan

Kitab kuning yang dipelajari oleh para santri di setiap harinya adalah kitab berbahasa Arab, di mana kalimat-kalimat yang disajikan dalam kitab tersebut tidak ada harakatnya, layaknya kita membaca Alquran. Beberapa orang menyebutknya kitab Arab gundul. Kitab kuning ini isinya meliputi segala diskursus pengetahuan dalam Islam, seperti fikih, teologi, sejarah, bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya. Disebut kuning, karena kitabnya memang berwarna kuning, sekalipun saat ini warna kitab kadangkala putih, bergantung percetakannya.

Nah, pada aspek penerjemahan/pemaknaan atas kitab kuning inilah yang menjadi kekhasan tersendiri saat belajar kepada kiainya via LFH. Problem lain kemudian muncul, bahwa publik yang non-santri yang ingin bergabung dengan pengajian tersebut tidak serta merta dapat beradaptasi dan mengikuti penjelasan sang kiai dengan baik dan benar. Baik dan benar disini maksudnya, seseorang harus dapat menguasai bahasa lokal/Jawa, struktur Bahasa Arab, dan semacamnya.

Oleh karena itu, ngaji atau Ngaos from Home (NFH) seperti yang dimaksud selama bulan Ramadan ini bukan selalu dapat dikonsumsi oleh publik secara menyeluruh. Pun hal ini sama dengan LFH bagi siswa/mahasiswa. Jadi, masyarakat di luar santri dan kiai yang sedang NFH harus memakluminya. Ibarat kata, tidak mungkin orang awam akan ikut kuliah di perguruan tinggi tertentu yang bukan menjadi bagian dari kampus tersebut. Apalagi jika ingin mengikuti LFH ala siswa-siswi, jelas hal itu menjadi kesulitan karena memang bukan konsumsi umum. Sehingga apapun bahasa dan metodenya, hal itu sudah menjadi aturan main pesantren dalam membangun relasi yang berkelanjutan antara kiai dan santri saat NFH.

Hal itu berbeda dengan pengajian kitab kuning online lainnya. Apa itu? Kajian kitab kuning di luar NFH konvensional. Misalnya, pengajian kitab kuning “Ngaji Ihya” Gus Abshar Abdalla atau kiai muda lainnya yang tetiba bermunculan di bulan Ramadan ini. Pada kategori ngaji kitab kuning online ini, seyogianya juga mengikuti standar masyarakat awam non-santri atau sering disebut dengan Muslim perkotaan. Pola ngaji online demikian, sebagaimana sasaran NFH, harus disesuaikan dengan siyāq al-kalām dan psikologi masyarakat, pengetahuan agama masyarakat dan semacamnya.

Baca Juga  High Noon in Jakarta: Kisah Keberanian Gus Dur Melawan Politisi Bandit

Dengan demikian, model pengajian kitab kuning online (live) harus dibedakan antara yang terikat pada hubungan kiai-santri di pesantren dengan yang mempunyai ikatan emosional berkelanjutan dan dengan pola ngaji kiai-masyarakat umum dengan varian model dan latar belakang masyarakat. Tentu saja, kategori terakhir ini sama persis dengan semarak pengajian di perkotaan, dan semestinya pembahasannya disesuaikan dengan pengetahuan serta karakter keberagamaannya, misalnya pemaknaannya menggunakan bahasa Indonesia agar lebih dimengerti oleh masyarakat awam.

Mari kita tetap gunakan cakram kecil dalam karambol syiar agama Islam dewasa ini, sehingga cakram sasaran tetap berguna dan bermanfaat bagi segenap masyarakat. Sekurang-kurangnya, sebulan terakhir mendampingi anak-anak yang mudik dari pesantren yang ingin menjaga tradisi belajar bersama kiai/pengasuh pesantrennya. [MZ]

Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *