Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Pasca-webinar di Era Pandemi, What’s Next?

2 min read

Sebagai ciptaan Allah swt, manusia adalah satu-satunya makhluk sempurna dibanding dengan lainnya. Namun, kesempurnaan itu bukan tanpa celah dan kekurangan, sebab di situlah letak kesempurnaannya, di samping kelebihan dan keutamaannya. Salah satu istilah yang disematkan pada manusia adalah insan kamil (manusia paripurna) dalam tradisi ilmu tasawuf. Sebutan lainnya adalah makhluk sosial (zoon politicon), sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles, homo homini socius oleh Adam Smith, dan Thomas Hobes dengan homo homini lupus.

Di tengah gempuran pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 3 bulan ini, tidak sedikit manusia di berbagai belahan dunia yang menjadi pesakitan, bahkan meninggal dunia karena faktor penyakit bawaan yang sebelumnya sudah diderita.

Berdasakan data terbaru kasus Covid-19 di Indonesia, sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (20/07/2020), jumlah orang terjangkit Covid-19 ini mencapai total 86.521 orang, pasien dirawat sebanyak  36.977 orang, sembuh 45.401 orang dan meninggal 4.143 orang.

Tentu, selain dampak langsung pada kesehatan, pandemi ini juga mempunyai dampak tak langsung yang telah diraasakan oleh banyak masyarakat, termasuk dalam hal ekonomi, pendidikan dan yang lainnya.

Namun, pada saat bersamaan, manusia juga dituntut untuk terus beraktifitas guna memenuhi hajat hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Di tengah kebijakan new normal yang belakangan ini telah digalakkan oleh pemerintah, dalam hal pendidikan, kebijakan School from Home (SFH), Work from Home (WFH) dan Work from Office (WFO) menjadi pilihan beberapa kementerian, lembaga, ataupun perusahaan untuk tetap beraktifitas tanpa mengabaikan kesehatan setiap anggotanya.

Khusus untuk kegiatan yang bersifat zoominar, webinar, atau segala hal yang virtual dan daring nampaknya sudah dilakukan ratusan kali selama masa pandemi ini.

Baca Juga  Derita Pasien Covid dari Kalangan Proletar

Lantas, pertanyaannya adalah “what’s next” setelah dilangsungkan banyak webinar tersebut? Apa yang berubah atau dapat diambil manfaatnya oleh manusia-manusia Indonesia?

Menanggapi model pertanyaan yang demikian, menurut hemat saya, setidaknya ada 3 hal yang berubah atau dapat diambil kemanfaatannya terkait bab per-webinar-an itu.

Pertama, webinar itu seharusnya dapat menjadi salah satu alternatif untuk perubahan sistem tata kelola sebuah program seperti seminar atau workshop sehingga bida menjadi lebih efesien, efektif dan tepat sasaran.

Webinar, diakui atau tidak, telah mengubah mindset banak orang tentang keterbatasan, transportasi misalnya, yang selama ini menjadi penghalang untuk mengundang narasumber, peserta, atau semacamnya, baik dari dalam atau luar negeri. Perubahan tata kelola ini, sekaligus juga menjadikan aspek profesionalitas yang harus dihargai sesuai dengan peruntukannya.Kedua, seiring dengan profesionalitas dalam penyenggaraannya, webinar telah mampu mengubah cara pandang tentang pentingnya substansi sebuah program/kegiatan, bukan sekadar “yang penting program berjalan”.

Implikasi pergeseran paradigma (shifting paradigm) ini semestinya mampu mengembalikan unsur kemanusiaan dari setiap manusia berakal dan berilmu pengetahuan. Titik temu manusia pada dasarnya karena aspek kebutuhan rohani, bukan semata jasmani. Rohani dalam hal ini terkait spirit pengetahuan.Ketiga, selain perubahan tata kelola dan shifting paradigm, yang tak kalah penting dari webinar di tengah pandemi adalah kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan sebuah acara. Aspek kepercayaan ini menjadi salah satu indikator keberhasilan sebuah acara webinar.

Aspek kepercayaan publik ini, saya kira, dapat disebut juga dengan istilah keikhlasan publik. ya, keikhlasan untuk mengikuti webinar. Acara dengan model webinar tentu sangat berbeda dengan pelaksanaan acara lain seperti rapat daring yang mana target pesertanya sudah pasti, berdasarkan undangan. Webinar yang bersifat terbuka, gratis, dan hanya mengandalkan e-sertifikat, diakui atau tidak, membutuhkan kepercayaan publik sehingga para public kemudian bersedia untuk mengikuti.

Baca Juga  Negara Hukum, Bangsa yang Dicengkeram Oligarki dan Diperdaya Krisis

Anda bisa membayangkan jika webinar tidak dihadiri oleh publik (secara ikhlas); bisa berabe bukan?

Dengan tiga hal di atas, saya kira, sudah saatnya webinar menjadi salah satu tradisi baru yang harus tetap dilestaikan meskipun pasca pandemi. Karena, bisa jadi, ini lah salah satu dari pergeseran peradaban, atau inovasi, kreasi manusia sebagai makhluk sosial dalam mempertahankan keberadaan dirinya di tengah pencarian solusi kesehatan untuk vaksin dari Covid-19.

Sebagai ciptaan Allah swt. yang paling sempurna (ahsan taqwim), manusia memang tidak dapat hanya berkeluh-kesah, protes, atau tidak percaya atas apa yang terjadi di tengah banyaknya korban akiban pandemic. Namun, sudah seharusnya manusia mencari solusi terbaik sesuai dengan proporsi setiap kebutuhan dan kepentingannya.

Kini saatnya, di tengah pandemi, sebagai makhluk sosial manusia harus mampu menunjukkan dirinya sebagai khalifah fil ardl (pemimpin di bumi) yang dapat menyelamatkan alam dan manusia dengan tetap mengharap ridlo Allah swt. Wallahu a’lam… [AA]

Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.