
‘Gus’ adalah kependekan dari ‘Agus’ atau ‘Bagus’, yang artinya ganteng. Secara generik, panggilan ini diberikan kepada anak laki-laki dari keluarga terpandang atau ningrat. Tapi saat ini, istilah ‘Gus’ secara eksklusif digunakan untuk memanggil putra kiai. Setiap daerah memiliki panggilan kehormatannya sendiri-sendiri terhadap putra kiai. Misalnya, pada masyarakat Madura, putra kiai biasa dipanggil Lora.
Gus yang ingin saya ceritakan di sini merupakan putra dari salah seorang kiai besar di Jawa Timur. Keluarga besarnya adalah jajaran para kiai yang sangat dihormati baik di lingkungan komunitas santri maupun non-santri. Dalam kesehariannya, dia biasanya memakai kopiah. Di luar kopiah yang merupakan fashion khas dari seorang santri, Gus kita ini sama sekali tidak meletakkan dirinya sebagai orang yang tidak bisa dijangkau. Dari sisi inilah kisah ini akan saya mulai.
Ketika banyak kalangan Muslim yang meneguhkan keislamannya dengan berbagai tindakan kekerasan dan kata-kata umpatan kepada kelompok yang dianggapnya sebagai pendosa, Gus kita ini justru membuka dirinya kepada komunitas waria di daerahnya. Perilaku “nyeleneh” ini sebetulnya tidak aneh di kalangan kiai-kiai NU. Misalnya, KH. Hamim Tohari Djazuli—atau yang akrab dipanggil Gus Miek—yang selama hidupnya dikenal dengan dakwahnya pada kalangan preman dan orang-orang yang berada di dunia hiburan malam.
Sekalipun demikian, Gus kita ini tetap terasa spesial. Tidak banyak orang yang bersedia dan sanggup menemani waria. Bukan hanya dari kalangan kiai, bahkan orang biasa pun memandang waria dengan perasaan jijik. Waria dalam sorotan umum selalu identik dengan perilaku menyimpang, seperti mengamen, melacur, dan dandanan yang seronok. Perasaan jijik ini kemudian dibalut dengan judgement keagamaan bahwa waria adalah manusia pendosa karena tampilan gendernya (berdandan dan berperilaku seperti perempuan) tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki.
Saat banyak kalangan yang merasa jijik mendekati waria, Gus kita justru hadir kepada komunitas terbuang ini sebagai seorang ayah. Bahkan saking dekatnya sampai di kalangan waria Gus kita ini biasa dipanggil abah (ayah). Kepada Gus kita ini para waria merasa mendapatkan figur seorang ayah, kepada siapa mereka bisa menumpahkan segala kegundahanhan hidupnya. Gus ini mengisahkan kepada saya kedekatannya dengan para waria ini sehingga hal-hal pribadi yang waria itu hampir tidak mungkin mengatakan kepada keluarganya pun dikatakan kepadanya.
Kepada Gus kita inilah para waria itu meminta bimbingan dalam kehidupan agama. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa banyak kelompok waria yang membentuk pengajian rutin di antara mereka. Sebagai manusia beragama, dahaga untuk mendekat kepada Tuhan seringkali tak terbendung, terutama saat-saat mereka sendiri. Tapi pandangan negatif masyarakat tidak jarang membuat para waria ini enggan dan malu untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan keagamaan bersama masyarakat umum.
Bahkan keinginannya untuk ikut shalat berjamaah di masjid pun sering kali diurungkan karena sorot mata orang-orang di masjid memandangnya seperti alien dari planet lain, sekalipun dia telah besarung, ber-koko, dan berkopiah.
Gus kita yang alim dalam masalah fiqh (hukum Islam) ini tidak pernah meminta para waria itu untuk mengingkari identitas gendernya. Dia hanya mengarahkan dan membimbingnya para waria ini untuk beribadah dan bersimpuh kepada Tuhan.
Tidak mudah menjadi seorang waria yang telah dicap sebagai pendosa untuk menjadi Muslim yang baik. Mereka tidak bisa membohongi dirinya sebagai waria karena perasaan sebagai perempuan itu ada begitu saja dan melekat dalam dirinya. Tapi sebagai seorang Muslim, mereka ingin tetap beribadah kepada Allah. Mereka ingin mendapatkan siraman ruhani. Mereka ingin dipeluk Tuhan dengan kasih-Nya yang melimpah.
Mereka meyakini bahwa Tuhan merangkul semua. Mereka berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirimkan seorang Gus untuk membimbingnya mengetuk pintu Tuhan dan memasuki rumah-Nya.
Adapun Gus kita ini, dia sadar bahwa apa yang dilakukannya pasti mendapat sorotan negatif. Bagaimana mungkin seorang Gus berteman dengan para waria, kaum pendosa? Tapi dengan senyum khasnya, dia selalu mengatakan,
“Tidak ada manusia yang sempurna. Kita tidak berhak menghalangi siapa saja untuk beribadah kepada Allah. Justru yang harus kita lakukan adalah menemaninya dan membimbingnya menuju Allah. Di balik tampilannya yang seringkali terkesan glamor dan seronok, mereka sering menangis karena merindukan Allah. Dan, kasih sayang Allah itu melebihi amarah-Nya. Lalu siapa kita yang berani-beraninya menghalangi orang yang hendak beribadah? Kalau setiap orang yang dianggap berdosa tidak boleh beribadah kepada Allah, mungkin tidak ada manusia yang akan beribadah, karena tidak ada satu pun manusia yang luput dari dosa.” [MZ]
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian