Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Teologi Puasa di Era Pandemi Covid-19

2 min read

Foto: read.opensooq.com

Berpuasa itu tidak hanya pada bulan Ramadan semata. Puasa dapat pula dilakukan di luar bulan Ramadan. Semua itu bergantung jenis puasanya. Sekurangnya, terdapat dua jenis puasa; wajib dan sunnah. Puasa wajib terbagi dalam tiga kategori: pertama, wajib berpuasa pada bulan Ramadan, kecuali sedang ada uzur syar’ī; kedua, wajib berpuasa karena nazar; ketiga wajib berpuasa karena kafarat (denda). Terkait dengan nazar dan kafarat ini sesuatu yang sudah ada ketentuannya, baik syarat sahnya maupun yang dinazarkannya (al-mandzūr bih).

Ringkasnya, nazar itu janji (menyanggupi sesuatu) yang diucapkan terhadap sesuatu yang berimplikasi pada ibadah dan bukan sesuatu yang wajib. Misalnya, jika saya lulus, maka saya akan puasa sebulan selama bulan Ramadan, maka jelas itu bukan nazar, karena puasa Ramadan sudah wajib hukumnya. Jika nazar tidak ditunaikan, maka terkena kafarat, seperti kafarat sumpah.

Adapun puasa Sunah, jumlahnya cukup banyak, antara lain puasa Syawal, puasa Senin dan Kamis, puasa Dawud, puasa Arafah, puasa ‘Asyūra, puasa Ayyām al-Bidl (tanggal 13, 14. 15 bulan Qamariyah), puasa Nisfu Sya’ban. Puasa Sunnah demikian, selain dapat menambah pahala bagi yang menjalankannya, juga bagian dari melatih untuk dekat kepada Allah Swt. dengan merasakan lapar dan haus, seperti dirasakan kaum fakir miskin.

Dalam perspektif teologis, niat atau tujuan puasa akan berimplikasi karena ibadah kepada Allah Swt. Berbeda halnya jika berpuasa diniatkan untuk diet atau kecantikan atau lainnya. Apa itu mungkin? Tentu saja sangat mungkin. Seseorang menghindari makan dan minum seharian atas nama kecantikan atau ketampanan, kesehatan atau lainnya. Bagi mereka yang tidak mendalami agama dengan sepenuh hati, tentu saja kadang lupa bahwa itu bagian dari ibadah puasa seperti disebutkan. Dalam hal itu, nuansa teologis menjadi penting, karena berpuasa—terutama bagi puasa yang wajib dan sunah—aspek teologi ini bukan sekadar menjalankan titah Allah dan Rasul-Nya, tetapi lebih dari itu terdapat aspek kemanusiaan yang melekat di dalamnya. Sebab, ibadah kepada Allah di dunia ini tidak ada yang tak terpisahkan satu sama lainnya.

Baca Juga  Kebangkitan Islam Identik dengan Perang?

Orang berpuasa seharusnya tetap mengedepankan keselamatan manusia, baik dirinya sendiri, keluarga, tetangga dan yang lainnya. Selama berpuasa tentu saja banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diperjuangkan, terlebih di akhir puasa Ramadan ini ada kewajiban membayar zakat fitrah, mal, dan profesi. Apabila seseorang menjadi ASN, zakat profesi biasanya sudah dipotong langsung setiap bulan oleh lembaga yang ditunjuk kantornya, sementara untuk zakat fitrah dan mal harus ditunaikan masing-masing.

Apabila kita ingin membantu keselamatan orang lain, tentu saja jangan berpikir pendek. Misalnya saat ingin membantu orang atau sekelompok orang, maka tidak perlu ditanya apa agamanya? Apakah uang atau bahan-bahan pokok, misalnya akan didistribusikan ke mana dan siapa saja? Kita harus percaya pada panitia amil zakat, karena kepercayaan inilah salah satu yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.

Secara pribadi, saya juga sudah mulai gelisah dengan seringnya pelaksanaan Webinar yang beberapa minggu ini sering dilakukan. Ada kekhwatiran bahwa kepadatan waktu Webinar akan mengurangi daya imun kita. Walaupun semua berharap bahwa sikap positif kita terkait silaturahim online akan membawa keberkahan dan keselamatan hidup, ketimbang memaksa dan ngotot untuk bertatap muka langsung.

Wabah yang kita rasakan bersama di Indonesia ini diharapkan segera berkurang drastis. Kita tetap harus hati-hati dan menyesuaikan diri sesuai protokol kesehatan. Pun dalam praktik keberagamaan kita pada masa pandemi ini juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah prinsipil agama. Kita tidak perlu ngotot dan emosional dalam beragama hanya karena tidak diperbolehkan salat berjemaah di musala, langgar, tajug, surau, masjid, hingga lapangan untuk salat Idul Fitri, karena wilayahnya masuk zona merah. Mari bersabar sembari bertawakal kepada Allah.

Bagi Muslim yang berkecukupan rezeki, momentum Ramadan ini harus dijadikan ladang amal untuk masyarakat sekitar yang kurang mampu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, baru-baru ini yang memprediksi jumlah pengangguran dan angka kemiskinan di Indonesia akan semakin naik. Dalam situasi yang sangat berat saat pandemi Covid-19, jumlah warga miskin akan bertambah 3,78 juta orang dan pengangguran bertambah 5,23 juta orang. Karenanya, penting bagi kita untuk selalu “menoleh” kepada tetangga kita yang membutuhkan uluran bantuan kita agar mereka dapat merasakan kelebihan rezeki yang didapatkan oleh kita.

Baca Juga  Filosofi Ihram dalam Islam

Dengan demikian, teologi puasa di era pandemi Covid-19 ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat imunitas rohani kita. Orang yang berpuasa dengan keimanan, selain memperkuat imunitas personal, juga akan dapat memberi manfaat sesama, siapapun orang itu, sekurangnya dengan tetap saling memberi keselamatan sesuai dengan kemampuan kita, khususnya mengikuti protokol kesehatan. Semoga takdir kita tetap dalam keselamatan seperti yang digariskan Allah di era pandemi ini. Selagi kita tetap berusaha dan berdoa, insya Allah takdir kita tetap menjadi orang baik yang mampu memberikan kemanfaatan bagi yang lain. Tetap Stay at home sebagai salah satu jalan menjaga keselamatan virus korona dan kita semua dalam posisi takdir yang baik. [MZ]

Ayus Mahrus el-Mawa Filolog; Pengurus MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara); Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI Kemenag RI.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *