Afifah Qudrotun Nada Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Teori Dramaturgi pada Panggung Peran Virtual TikTok

2 min read

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berperan seperti aktor dalam drama sosial. Setiap interaksi yang kita temui, entah di tempat kerja, sekolah, atau bahkan media sosial, melibatkan pemain yang mencoba memainkan peran tertentu untuk memberikan kesan yang diinginkan.

Salah satu teori yang dapat mengungkap dinamika dramatis dari interaksi sosial adalah teori dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi teori dramaturgi melalui studi kasus menarik yang menunjukkan kekuatan dan pentingnya teori ini untuk memahami komunikasi interpersonal.

Media sosial pada dasarnya adalah alat untuk menyimpan dan mengirimkan informasi atau data untuk tujuan tertentu. Dengan demikian, media sosial merupakan media yang digunakan untuk melakukan komunikasi sosial dengan teknologi yang sangat mudah diakses oleh pengguna dan mudah untuk dipublikasikan.

Seorang pengguna media sosial dapat mengakses media sosial melalui internet tanpa mengeluarkan banyak biaya. Pengguna media sosial bebas menambahkan, mengedit teks, gambar, audio dan masih banyak lagi konten lainnya.

Terutama TikTok yang merupakan aplikasi berbentuk video pendek dengan berbagai pertunjukan musik, sehingga pengguna dapat menggunakan penyajian dalam berbagai gaya dan desain yang menarik, sehingga mendorong kreativitas pengguna sebagai pembuat konten.

Sebagai salah satu aplikasi hiburan bagi penggunanya, TikTok memiliki beberapa keunggulan, yaitu memudahkan dalam membuat video dan juga memiliki banyak efek dan filter yang dapat dipilih pengguna sesuai kesukaannya.

Setiap video TikTok bukan sekadar adegan terpisah, melainkan bagian integral dari cerita yang lebih besar. Setiap konten dibuat dengan cermat untuk menciptakan kesan yang diinginkan pembuatnya.

Misalnya, fenomena “tantangan” melibatkan pengguna dalam tugas tertentu yang memicu respons kreatif berbeda. Hal ini menciptakan cerita berulang yang terus berkembang seiring dengan variasi unik dari pengguna yang berbeda.

Baca Juga  Etika Beragama menurut Hans Kung

Selain itu, tren dan tagar membentuk cerita yang saling berhubungan yang menghubungkan jutaan pengguna ke pengalaman kolektif yang sama. Hal ini memperkuat anggapan bahwa setiap video TikTok bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang partisipasi dalam cerita yang lebih besar yang dibentuk oleh seluruh komunitas di platform.

TikTok bukan sekadar platform, melainkan panggung interaktif di mana pengguna bebas berkreasi dan mengekspresikan identitas digitalnya. Dengan fitur-fitur seperti filter, efek visual, dan suara, pengguna dapat mengubah tampilan dan membuat karakter unik sesuai dengan preferensinya.

Hal itu memungkinkan setiap video dibagikan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai ekspresi siapa mereka di ranah digital. Dengan kata lain, setiap konten yang dihasilkan menjadi cermin identitas dan kreativitas penggunanya di dunia maya.

Salah satu faktor yang membedakan TikTok dengan teater tradisional adalah partisipasi langsung penonton dan pengguna. Di TikTok, penonton tidak sekadar menjadi pengamat pasif, tetapi juga berkesempatan berinteraksi langsung dengan konten yang ditontonnya.

Penonton dapat memberikan masukan langsung kepada pengguna, misalnya dengan menyukai, meninggalkan komentar, dan membagikan video. Masukan ini dapat memengaruhi cara pengguna bergerak maju atau mengubah narasi kehidupan digital mereka.

Hal itu menciptakan dinamika unik di mana penampilan pengguna TikTok merespons reaksi dan tanggapan audiensnya, sehingga menciptakan interaksi dua arah yang dinamis.

Teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman menggambarkan bahwa dalam panggung teater, terdapat dua bagian utama, yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Konsep ini juga dapat diterapkan pada seluruh interaksi sosial, di mana ada bagian yang terlihat oleh publik (front stage) dan bagian yang lebih pribadi atau tersembunyi (back stage).

Baca Juga  Cara Mengurangi Fatherless dari Al-Qur’an

Sebaliknya, aktor di belakang panggung atau dalam kehidupan sosial sama-sama menarik perhatian dan mempertahankan kesan tertentu, baik itu melalui pakaian dan penampilan (fashion) maupun peran yang mereka mainkan. Setiap aktor memiliki kemampuan untuk mengubah posisi dan memerankan perannya sesuai dengan konteks dan kebutuhan individu masing-masing.

Pengguna TikTok memainkan peran yang berbeda pada setiap unggahan vidio yang dibagikan. Hal ini sangat tergantung pada situasi yang sedang dijalani. Presentasi diri yang seperti inilah yang dimaksud oleh Goffman memiliki  tujuan  membangun identitas sosial  bagi para pelakunya untuk menarik simpati dan memengaruhi berbagai macam interaksi yang layak dan tidak layak di tengah-tengah masyarakat.

Saat pengguna TikTok berbagi video, mereka membuat gambar diri mereka sendiri agar dapat diterima oleh pemirsa lain. Upaya ini disebut manajemen pesan, yaitu upaya para aktor untuk menciptakan kesan dan citra tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Umumnya, kesan yang ingin diciptakan para artis TikTok adalah kesan baik atau citra diri yang positif, sehingga sobat cyber akan bersimpati dan mengagumi tokoh tersebut.

Dari analisis teori dramaturgi Erving Goffman dan perspektif new media, dapat disimpulkan bahwa TikTok berfungsi sebagai panggung virtual di mana pengguna memiliki peran aktif dalam mempersembahkan identitas mereka. Pengguna TikTok berupaya memainkan peran yang berbeda dalam setiap video yang mereka unggah, sesuai dengan konteks situasi yang mereka hadapi.

Manajemen pesan dan pencitraan diri dilakukan dengan tujuan membangun identitas sosial yang menarik simpati dan memiliki pengaruh dalam interaksi di dunia maya. Dalam kerangka teori dramaturgi, setiap pengguna TikTok dapat dianggap sebagai seorang “aktor” yang secara teliti memainkan perannya untuk menciptakan citra diri yang diinginkan di front stage yang menampilkan versi terbaik dari diri mereka. [AR]

Afifah Qudrotun Nada Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya