Anas Machmudy Andy Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Melihat Fenomena Baju Baru dalam Perayaan Idulfitri dengan Pemikiran Lyotard

2 min read

Hari Raya Idulfitri adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam setelah berpuasa sebulan penuh. Banyak dari kita merasa bahagia akan datangnya hari itu untuk melakukan hal-hal yang hanya ada saat Idulfitri.

Seperti momen salat Id, saling bermaaf-maafan dengan tetangga, silaturahmi dengan sanak saudara jauh, sampai dengan adanya kue-kue yang berjejer rapi di ruang tamu. Namun, dari itu semua ada salah satu yang menarik, yakni tradisi memakai baju baru.

Banyak orang yang beranggapan di hari itu kita harus memakai  baju baru. Hal ini akan dilihat dari teori penolakan metanarasi yang dikemukakan oleh Jean Francois Lyotard.  Jean Francois Lyotard adalah seorang filsuf dan juga sosiolog terkenal asal Prancis.

Dia lahir di Versailles, Prancis, pada tanggal 10 Agustus 1924 dan meninggal pada tanggal 21 April 1998. Ia belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Ia adalah salah satu pendiri International College of Philosophy bersama Jacques Derrida, Francois Chatelet, dan Gilles Deleuze.

Ia banyak fokus pada beragam topik pengetahuan, komunikasi, seni modern dan pascamodern, serta masih banyak lagi. Dengan banyak fokusnya pada beragam topik, banyak buku yang telah ditulis oleh Lyotard seperti The Postmodern Condition, Libidinal Economy, The Inhuman, dan masih banyak lagi.

Dalam sosiologi, salah satu teori yang dikemukakan Lyotard adalah meninggalkan metanarasi (meta-narrative). Meta-narrative atau narasi besar, adalah suatu narasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami cerita lain.

Contohnya, saat kita sedang membaca buku lalu berhenti sejenak dan membahas bagaimana cerita itu dibuat. Namun, dalam konteks Lyotard berbeda, metanarasi adalah narasi besar yang ada dan mengklaim atas kebenaran universal. Contohnya, cerita tentang sejarah dunia yang menjelaskan peristiwa yang terjadi. Biasanya cerita itu mengklaim kebenaran universal dari satu sudut pandang saja. Pada saat itu metanarasi telah berakhir dan banyak narasi kecil yang butuh pengakuan.

Baca Juga  Diplomasi Publik ala Bucin

Lyotard memperkenalkan gagasan menolak metanarasi sebagai bagian dari pendekatannya pada cerita dan pengetahuan. Ia menekankan pentingnya mengakui dan menghormati keberagaman, perbedaan dan berbagai bentuk pengetahuan yang ada.

Dalam pemikiran Lyotard, penolakan terhadap metanarasi berarti penolakan terhadap cerita-cerita yang berfungsi sebagai pembenaran atau penjelasan universal yang mengklaim mempunyai kebenaran atau nilai objektif.

Menurut Lyotard, metanarasi adalah upaya pengabaian perbedaan dan keberagaman pada pengetahuan. Pengetahuan tidak boleh dibatasi oleh satu narasi atau metanarasi yang menegaskan kebenaran universal. Dengan menolak metanarasi mendorong kita untuk berpikir kritis serta terbuka pada dunia yang kompleks dan beragam.

Pada saat akan menjelang berakhirnya bulan Ramadan kita akan selalu terbayang untuk membeli baju baru. Nantinya baju tersebut akan digunakan saat Idulfitri tiba. Tradisi memakai pakaian yang baru adalah salah satu fenomena yang umum terjadi di banyak budaya muslim saat Idulfitri.

Banyak dari kita memilih untuk membeli atau membuat pakaian baru khusus untuk merayakan Idulfitri. Pakaian baru ini sering kali dipandang sebagai simbol kesegaran, kebersihan, dan kegembiraan dalam menyambut hari raya tersebut. Mari kita tarik teori itu pada salah satu fenomena yang ada saat Lebaran atau Idulfitri.

Jika ditinjau dari teori Lyotard, memakai pakaian baru telah menjadi metanarasi, di mana orang-orang menganggap memakai pakaian baru adalah suatu keharusan yang ada dalam Idulfitri.

Hal ini terjadi secara turun temurun dan telah menjadi konstruksi sosial, sehingga kita akan terobsesi dengan harus memakai pakaian yang baru. Tak sedikit juga yang merasa tertekan dengan konstruksi sosial tersebut. Mereka berusaha agar dapat memakai pakaian baru agar disanjung dan mereka yang tidak memakai pakaian baru akan merasa gengsi untuk merayakan Idulfitri.

Baca Juga  Covid-19 dan Wujud Empati Kepada Kelompok Work Outside Home

Menurut Lyotard, kita harus meninggalkan narasi bahwa Idulfitri harus dengan pakaian baru. Sebaliknya, kita harus menghargai dan mengakui keragaman pada setiap orang dalam merayakan Idulfitri, baik memakai pakaian baru atau tidak.  Karena ada beberapa alasan mengapa orang tidak memakai pakaian baru seperti keterbatasan finansial ataupun hanya prefensi pribadi.

Dengan begitu, kita bisa menghormati pilihan individu untuk merayakan Idulfitri dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan nilai-nilai mereka sendiri. Ini akan membuat kita lebih fokus pada nilai utama dalam Idulfitri.

Karena sejatinya, makna sebenarnya dari Idulfitri adalah saling maaf dan memafkan, kebersamaan, dan berbagi kebahagiaan, tanpa harus terjebak dalam narasi yang mengaitkan perayaan ini dengan kepemilikan pakaian baru.

Kita harus memandang arti merayakan Idulfitri lebih luas, tidak terpaku dengan konstruksi sosial yang ada. Sehingga, kita tidak akan terbebani ketika menjelang Idulfitri. Kita dapat menimbang nilai-nilai lainnya dalam merayakan Idulfitri. Tidak masalah pakaian baru atau lama yang penting kita nyaman maka itu yang terbaik untuk kita. [AR]

Anas Machmudy Andy Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya