Kopiah adalah topi yang dipakai umat Islam untuk sembahyang (KBBI, 754). Kopiah biasanya berbentuk bulat agak lonjong saat dipakai di kepala. Warna dan modelnya juga cukup beragam. Ada warna hitam, putih atau warna lainnya. Namun yang paling banyak ditemukan adalah berwarna hitam dan putih.
Sedangkan modelnya ada yang pendek, tinggi, berbulu halus, tanpa bulu dan lain sebagainya. Selain bisa menutupi kepala dari teriknya sinar matahari, kopiah juga memiliki nilai psiko-sosiologis tersendiri bagi masyarakat Jawa.
Kopiah bagi masyarakat Jawa adalah simbol religiositas. Meskipun kopiah bukan merupakan syariat Islam, akan tetapi keberadaannya sangat krusial. Orang yang hadir dalam acara keagamaan, terasa kurang nyaman apabila tidak mengenakan kopiah. Seperti salat Jumat, salat Ied, kenduri, maupun acara-acara kecil lainnya. Bagi orang yang berangkat salat Ied, mereka merasa tidak nyaman kalau tidak mengenakan kopiah.
Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, saat mayoritas jemaah mengenakan kopiah, dia merasa menjadi ‘orang asing’ yang terkucilkan karena tidak mengenakan kopiah tersebut. Kedua, terkesan ‘tidak mampu’ beli kopiah, padahal harganya cukup terjangkau. Ketiga, terkesan tidak ada bedanya antara hari keagamaan dengan hari-hari biasa.
Acara-acara resmi kenegaraan ataupun acara besar juga mengenakan kopiah. Saat acara penikahan, pengajian, wisuda, bahkan pelantikan jabatan serasa tidak lengkap kalau tidak mengenakan kopiah. Panitia pelantikan misalnya bisa saja meminta kepada yang bersangkutan untuk kembali pulang atau beli kopiah gara-gara tidak memakai kopiah. Hal itu ditekankan agar suasana sakral, serius dan jujur saat mengemban tugas dapat meyakinkan publik apabila orang yang diambil sumpah jabatan tersebut mengenakan kopiah.
Peran kopiah bagi para calon pejabat sangat penting. Menjelang pemilihan calon kepala daerah atau calon presiden dan wakil presiden sekalipun, peran kopiah tidak boleh dianggap remeh. Jika ada calon yang memasang fotonya tanpa mengenakan kopiah, dia terlalu berani untuk mengambil risiko.
Sebab kopiah merupakan simbol religiositas seseorang, terlepas apakah kesehariannya memakai kopiah atau tidak, tapi yang jelas masyarakat sudah cukup menilai bahwa orang yang tidak mengenakan kopiah dianggap tidak religius. Mengingat pentingnya ‘simbol religiositas’ yang terdapat di dalam kopiah, maka para calon pejabat tidak ‘berani’ berfoto tanpa kopiah, sebab bisa dicap ‘tidak religius’.
Kopiah juga bisa mecerminkan strata sosial. Bagi orang Jawa, mengenakan kopiah berwarna hitam dan berwarna putih itu memiliki kesan yang berbeda. Bagi orang yang belum pernah haji, mengenakan kopiah berwarna putih itu dianggap kurang tepat, sebab kopiah putih adalah simbol orang yang pernah haji.
Oleh karena itu, orang Jawa tidak segan-segan memanggil ‘pak kaji’ jika ada orang yang mengenakan kopiah putih. Meskipun demikian, para pejabat yang sudah memiliki strata sosial terlalu tinggi, hal ini tidak berpengaruh. Seperti para presiden pertama Indonesia, Soekarno dengan kopiah hitamnya tidak menjadi masalah karena ia sudah menjadi tokoh nomor satu dan tidak membutuhkan lagi pencitraan agar dipanggil ‘pak kaji’.
Begitu pula dengan presiden-presiden setelahnya seperti Gus Dur, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jokowi, ketokohannya sudah menjadikan dia orang yang tinggi derajatnya meskipun tanpa embel-embel kopiah putih agar disebut ‘pak kaji’.
Karena kuatnya simbol religiositas dalam kopiah, para terdakwa, koruptor bahkan teroris sekalipun selalu mengenakan kopiah saat persidangan. Hal ini dilakukan untuk menampilkan citra publik bahwa ‘saya orang baik, saya orang yang religius dan tidak bersalah’.
Meskipun faktanya mereka terbukti bersalah dan mendapatkan vonis hukuman berat atas pelanggaran yang dilakukan. Vonis tersebut tetap dijatuhkan oleh hakim meskipun yang bersangkutan selalu mengenakan kopiah. [MZ]