Nur Mufidatul Ummah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Husein Ja’far al-Hadar: Islam Adalah Agama Cinta. Titik!

2 min read

Habib Ja’far Al Hadar Sedang Berceramah Bersama Emha Ainun Najib. Source: Twitter

Islam merupakan sebuah agama yang esensi ajarannya mengajarkan kita untuk cinta dan mencintai. Sebagaimana Islam dengan prinsip dasar sebagai agama yang merahmati alam semesta yang artinya tidak lain kecuali Islam hadir untuk memberikan cinta.

Ironisnya, hal tersebut hanyalah rumus matematika yang dihafalkan sekilas tanpa dipraktikkan dalam kehidupan riil. Cukup banyak jika kita amati persebaran narasi-narasi kurang elok yang didesain dengan atribut dan dalil agama. Pun juga dengan kekerasan dan kerusuhan yang diatasnamakan membela dan menjalankan perintah agama amar ma‘rūf nahi munkar.

Beberapa di antara produk narasi anti-cinta tersebut hadir karena kurang mendalamnya paham keislaman sesorang. Terkadang, perbedaan yang harusnya menjadi rahmat alam semesta tidak digubris oleh beberapa kalangan dan bahkan begitu vonis dan label kafir disematkan pada orang yang tidak seide dengannya.

Mereka—yang tidak mengakui Islam sebagai agama cinta—hanya belajar Islam sepotong-sepotong. Mereka lupa bahwa Islam agama yang begitu luas dan dalam. Satu ayat bisa mengadirkan ragam penafsiran. Sayangnya, mereka menutup telinga dan enggan untuk dapat menerima kebenaran itu.

Dengan lantang mereka meneriakan kalimat takbir untuk melakukan kerusuhan, seolah merekalah pahlawan agama. Secara bangga mereka memamerkan perbuatan keji seolah telah melaksanakan perintah suci. Entah agama mana yang mereka maksud? Jika mengatasnamakan Islam, itu sangatlah tidak benar. Karena sudah jelas tidak ada kekejian dan kebencian dalam Islam.

Esensi Islam adalah agama yang bisa mencintai siapapun. Dalam konteks ini, Islam menjadi sumber etika dan kemanusian universal. Termaktub sederhana dan indah dalam nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Jadikanlah dirimu timbangan antara dirimu dan orang lain. Berbuat baiklah jika engkau ingin diperlakukan baik. Jangan berbuat buruk sebagaimana engkau tak ingin diperlakukan buruk.”

Baca Juga  Mengenal Abu Talib Al-Makki Sanad Sufisme Al-Ghazali

Ringkasnya, cinta adalah bagaimana kau memperlakukan orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri.

Habib Husein Ja’far al-Hadar, pendakwa mudah berdarah Arab yang kondang di media sosial menyuguhkan mengenai konsep “Islam Cinta” dengan gaya khas milenial di akun Youtube Jeda Nulis. Pembawaannya santai, kalem, dan asyik hingga dapat diterima oleh semua kalangan, terlebih lagi para kaum milenial. Konsep Islam cinta yang diuraikan begitu mempesona, mampu menggetarkan mereka yang mendengarkan. Terlebih bagi mereka yang belum tau persis mengenai bagaimana itu Islam, dan hanya mengetahui Islam lewat media Youtube dan media sosial.

Seorang non-Muslim sempat mengutarakan sebuah pernyataan di beranda akun media sosial Habib Ja’far. Ia berkata: “Saya kafir bib, tapi saya senang mendengar dakwah anda, karena menenteramkan dan membuat golongan seperti saya merasa terayomi”. Hal tersebut sangat jelas, apa yang membuat seorang non-Muslim terpesona dengan dakwah Islamnya, karena ia berdakwah dengan motivasi cinta bukan kebencian.

Tapi berbeda dengan para pendakwah yang sering menghujat di sana-sini tiada henti, provokasi bahkan menvonis sesat dan kafir orang yang tak sependapat dengannya. Tentu saja hal tersebut justru membuat orang ketakutan—walaupun tak jarang beberapa masyarakat Muslim menikmatinya—juga dapat menyalakan sumbu api permusuhan.

Fenomenolog Rudolf Otto mengklarifikasi dua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya, yakni pertama mysterium tremendum (mesteri yang menggetarkan) dan kedua, mysterium fascinum (misteri yang mempesona). Yang pertama melahirkan agama dengan sudut pandang nomos dan law oriented dan yang kedua membawa agama dengan cara pandang eros oriented (cinta). Semua agama mengajarakan nilai cinta, tidak ada agama manapun yang mengajarkan permusuhan dan kebencian. Maka perlu dipertanyakan lagi mereka yang mengaku beragama tapi suka menghina, memecah bela, dan suka berbuat keji.

Baca Juga  Kiai Taufiqul Hakim: Sang Kiai Penyair

Jika ada yang mengaku Muslim sejati tapi masih berbuat hal tersebut, maka perlu ditanyakan kembali. Benarkah itu ajaran agama Islam? Lantas, ajaran Islam mana yang memerintahkan umatnya untuk saling menghina, memecah dan berbuat keji. Tuhan yang mana yang mereka serukan, bukankah Allah Tuhan agama Islam adalah al-Rahmān al-Rahīm.

Nabi mana yang mereka teladani? Bukankah Nabi Muhammad nabi rahmat li al-‘ālamīn yang menegakan Islam dengan cinta dan kedamaian. Seperti ungkapan Nadirsyah Hosen bahwa “Islam itu ramah bukan marah; Islam itu mengayomi bukan memusuhi; Islam itu merangkul bukan memukul”.

Dalam suatu forum Husein Ja’far al-Hadar menjelaskan secara tegas, bahwa dalam Islam ada tiga aspek yang tidak boleh ditinggalkan. Tiga aspek tersebut adalah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Islam dengan risalah Alquran adalah sebuah kebenaran yang mutlak, tapi bagaimana kita menyampaikan isi Alquran, yaitu dengan kebaikan yang mana dari kebaikan tersebut menciptakan keindahan. Unsur itulah yang dimaksud dengan cinta. Maka di sanalah Islam menjadi agama mysterium fascinum (sesuatu yang mempesona).

Ringkasnya, agama Islam merupakan agama yang mengandung unsur cinta dalam setiap nafasnya. Sebab agama Islam tidak hanya memuat ajaran tentang Islam dan iman saja, tapi juga terdapat ajaran ihsan. Jika ada seorang mengaku Muslim, tapi masih suka menghina, menghujat, dan berlaku keji, dapat dipastikan hal tersebut bukan ajaran dalam agama Islam. Secara tegas Husein Ja’far al-Hadar menyatakan, bukan Islam jika tidak ada unsur cinta di dalamnya, karena Islam adalah agama cinta. Titik. [MZ]

Nur Mufidatul Ummah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya