Ramadan segera berakhir. Kita tahu, kedatangan dan kepergiannya selalu disambut dengan penuh suka cita: kedatangannya membangkitkan semangat ibadah dan kepergiannya memunculkan harapan akan terhapusnya dosa-dosa. Ramadan pergi berganti Idul Fitri. Bagi umat Islam, hampir tak ada celah negatif dari bulan ini. Ramadan diyakini sebagai bulan penuh berkah, magfirah, dan sentra ibadah. Biasanya, di bulan ini masjid semarak dan tablig akbar ramai. Ramadan kali ini adalah pengecualian.
Sebagai catatan kecil dari Ramadan, ada dua hal yang mungkin bisa kita telaah kembali dari praktik-praktik umum selama Ramadan, yakni komodifikasi agama dan kesementaraan.
Selain diharapkan dapat memantik hasrat beribadah, Ramadan juga memberikan ruang yang tidak sempit untuk praktik komodifikasi agama. Di dunia broadcast, misalnya, hampir semua kanal televisi berlomba memoles acaranya dengan nuansa-nuansa religi. Kenyataan ini menyedot sejumlah orang masuk ke dalam arus komodifikasi agama. Menurut Bryan Turner (2008) hubungan antara agama dan ekonomi, lebih tepatnya agama dan entrepreneurship, adalah tema abadi dalam studi sosiologi agama. Persinggungan agama—yang kemudian dijadikan sebagai komoditas—dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomi telah terjadi sejak lama.
Komodifikasi bisa dijelaskan sebagai upaya aktif menancapkan nilai-nilai moneter di dalam setiap aktivitas manusia, menjadikannya sebagai “modal jual”. Dalam konteks ini, Ramadan didapuk menjadi sesuatu yang marketable dan mendatangkan keuntungan (interest). Domain-domain agama dipergunakan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya selama Ramadan.
Praktik pemindaian agama menjadi kapital ekonomi terjadi karena didukung oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya budaya konsumerisme. Unsur spiritualitas seakan tenggelam dalam arus konsumerisme yang semakin tinggi selama bulan Ramadan. Kenyataan tersebut semakin meneguhkan bahwa kapitalisme, hedonisme, dan gaya hidup modern sedikit banyak telah mengubah pola pikir dan pola hidup manusia.
Kesementaraan
Usai Ramadan orang-orang akan mempertanyakan dan mengaitkan hasil atau efek puasa-satu-bulan dengan perubahan perilaku pasca Ramadan. Adakah yang berubah? Layaknya orang naik haji yang selalu dibanding-bandingkan antara perilaku sebelum dan sesudah melaksanakan haji. Hal ini wajar, karena Islam menegaskan bahwa salah satu tujuan puasa adalah membentuk manusia bertakwa. Secara simbolik, Ramadan mungkin berhasil menjadikan umat Muslim (terlihat) semakin bertakwa: orang-orang makin sering ke masjid, kaum perempuan ramai-ramai memakai jilbab, membaca Alquran, atau melakukan aktivitas peribadatan lainnya. Meski, pada tahun ini semua hal terlihat “terpenjara” karena korona.
Pertanyaannya: apakah fenomena di atas berlangsung simultan dan kontinyu hingga pasca Ramadan? Kita tentu berharap fenomena itu berlanjut sebagai buah dan efek puasa. Namun, dalam banyak kasus, realitas tersebut terjadi hanya sepintas dan sementara. Ketakwaan yang dipertontonkan di bulan Ramadan lebih bersifat artifisial. Pasca Ramadan, sebagian orang kembali kepada aktivitas semula. Kembali menjalani rutinitas tanpa esensi puasa, tanpa spirit takwa.
Semangat Ramadan luntur. Daya tariknya memudar, tidak lebih dari sekedar siklus tahunan yang kering hikmah. Kehadiran Ramadan memang selalu disambut dengan sangat meriah, tetapi geliat itu hanya terjadi sepintas. Tak ada tindak lanjut dan hasil yang melejitkan spritualitas umat muslim pasca Ramadan. Yang terasa hanya kesementaraan dan kesemuan.
Ritual agama yang tidak memberikan dampak positif kepada pelakunya bisa dianggap tak bernilai. Merujuk Chaterine Bell dalam Ritual Theory Ritual Practice (1992), ritual keagaamaan sejatinya tumbuh di atas landasan perenungan dan pemikiran yang berpihak pada kesalehan, individual dan sosial. Tuhan menurunkan kewajiban ibadah bersama dengan manfaat sosial dan maslahat kemanusiannya.
Misalnya, Allah mewajibkan umat Islam melaksanakan salat dengan “iming-iming” bahwa salat akan menjaga seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Idealnya, dari kacamata ajaran agama, seseorang yang melaksanakan salat dengan benar akan menjadi pribadi yang anti kekerasan. Namun realitasnya tidak selalu demikian. Tidak semua orang melaksanakan salat dengan pemahaman dan perenungan yang benar, sehingga tingginya kuantitas pelaksanaan salat tidak selalu berkorelasi positif dengan menurunnya aksi kejahatan.
Setali tiga uang dengan fenomena sosial salat tersebut, puasa Ramadan rupanya dijalankan hanya sebagai ritual yang tanpa perenungan. Istilah-istilah yang disematkan untuk mengangkat status bulan ini seperti “bulan peragian jiwa”, “bulan penuh hikmah”, atau “bulan rahmah dan magfirah” menjadi hampa. Tanpa bermaksud menafikan umat Muslim yang dengan sungguh-sungguh memahami kehadiran Ramadan dan menjalaninya sebagai bulan ibadah, kenyataannya masih banyak yang menganggap bulan puasa sebagai lintasan waktu biasa, sementara dan semu. Tanpa makna. []