Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Pemikiran Kritis Michel Foucault tentang Cara Kerja Kekuasaan

3 min read

Michel Foucault adalah seorang filsuf Perancis yang karyanya sangat memengaruhi pemahaman kita tentang kekuasaan, pengetahuan, dan masyarakat. Tilikan Foucault mengenai dinamika kekuasaan terus mendedahkan secara bening berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan etika.

Pemikiran kritis Foucault tentang kekuasaan sangat penting didedah karena mengalihkan fokus dari konsepsi tradisional tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang hanya dimiliki oleh otoritas terpusat ke pemahaman yang lebih kompleks tentang bagaimana kekuasaan beroperasi secara menyebar dan meresap ke seluruh masyarakat.

Kritik Foucault terhadap kekuasaan berbeda dari pandangan-pandangan sebelumnya yang biasanya membingkai kekuasaan dalam kaitannya dengan otoritas langsung suatu kedaulatan atas rakyatnya.

Sebaliknya, Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan didesentralisasi dan beroperasi melalui jaringan hubungan dalam masyarakat. Kekuasaan, menurut Foucault, tidak semata-mata dipegang oleh individu atau kelompok, tetapi dilaksanakan melalui wacana, institusi, dan praktik sosial yang membentuk perilaku dan keyakinan masyarakat.

Foucault juga mengeksplorasi bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bekerja secara berkelindan. Ia menciptakan istilah “pengetahuan-kekuasaan” (le savoir-pouvoir) untuk menggambarkan bagaimana pengetahuan digunakan untuk menjalankan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan membentuk produksi pengetahuan.

Konsep Foucault tentang le savoir-pouvoir mengacu pada gagasan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terkait erat dan saling membentuk. Pengetahuan tidaklah netral, melainkan diproduksi dan disebarluaskan dalam struktur kekuasaan yang menentukan apa yang dianggap absah dan lazim.

Sebagai imbalannya, penerapan pengetahuan memperkuat struktur kekuasaan yang menciptakannya. Hubungan ini terlihat jelas di institusi seperti sekolah, rumah sakit, penjara, sistem hukum, dan bahkan disiplin ilmu. Institusi demikian memegang panggung penting dalam mengonstruksi pengetahuan dan norma yang mengatur perilaku dan mengklasifikasikan individu.

Contoh nyata penerapan le savoir-pouvoir dapat dilihat dalam bidang peradilan pidana, khususnya dalam praktik profiling kriminal. Profil kriminal melibatkan penggunaan analisis psikologis dan perilaku untuk memprediksi dan memahami tindakan penjahat. Praktik ini didasarkan pada pengetahuan yang dihasilkan oleh para ahli di bidang psikologi, kriminologi, dan penegakan hukum.

Baca Juga  Normal Baru, Era Transisi Menuju Normal Lama

Dinamika kekuasaan dalam pembuatan profil kriminal dapat dilihat dari cara perilaku atau sifat tertentu diidentifikasi sebagai indikator kriminalitas. Misalnya, profiling yang cenderung rasial merupakan penerapan praktik ini, di mana individu dari latar belakang ras atau etnis tertentu lebih dicurigai melakukan aktivitas kriminal berdasarkan data historis dan stereotipe. Hal ini melanggengkan ketimpangan kekuasaan yang ada dan memperkuat praktik-praktik diskriminatif.

Pengetahuan yang dihasilkan melalui pembuatan profil memberikan informasi bagi strategi dan kebijakan kepolisian, yang pada gilirannya berdampak pada kehidupan dan kebebasan individu. Mereka yang memiliki profil tertentu mungkin akan menghadapi pengawasan yang lebih ketat atau bahkan perlakuan yang tidak adil.

Oleh karena itu, penggunaan profiling menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang kejahatan dan kriminalitas dapat memperkuat struktur kekuasaan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan ras dan status sosial.

Selain itu, penggunaan pengetahuan tersebut dalam sistem peradilan pidana dapat membentuk persepsi masyarakat, sehingga memengaruhi apa yang masyarakat anggap sebagai perilaku kriminal. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan ini menggarisbawahi bagaimana apa yang dianggap “benar” atau “faktual” dalam konteks tertentu sering kali merupakan cerminan kepentingan dan bias dari mereka yang berkuasa.

Singkatnya, praktik pembuatan profil kriminal menjadi contoh bagaimana kekuasaan dan pengetahuan berinteraksi, menghasilkan pemahaman tertentu tentang kejahatan dan kriminalitas yang dapat memperkuat dinamika sosial dan kekuasaan yang ada. Interaksi ini mempunyai implikasi besar terhadap bagaimana keadilan ditegakkan dan bagaimana individu mengalami interaksinya dengan pihak yang berwenang.

Contoh lainnya adalah institusi medis dan psikiatri. Selama abad ke-18 dan ke-19, institusi medis dan psikiatri mulai mengkategorikan dan mendiagnosis berbagai bentuk penyakit mental. Munculnya rumah sakit jiwa sebagai respons terhadap dugaan penyimpangan sosial memberikan ruang bagi medikalisasi perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.

Baca Juga  Aktivitas Daring: Mempertegas Relasi Manusia pada Tuhan

Pengetahuan yang dihasilkan oleh para profesional medis tentang penyakit mental membentuk penerapan kekuasaan terhadap individu yang dicap sebagai berpenyakit mental. Mereka yang didiagnosis sering kali dikurung di rumah sakit jiwa dan menjalani perawatan yang dianggap perlu oleh otoritas medis, termasuk pengekangan, pengasingan, dan bahkan bentuk awal psychosurgery.

Tangan kekuasaan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan penyakit mental memungkinkan praktisi medis untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan pasien, yang terkadang menimbulkan konsekuensi yang parah.

Pada saat yang sama, produksi pengetahuan medis tentang penyakit mental dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dan norma budaya yang berlaku. Misalnya, diagnosis histeria pada perempuan sering dikaitkan dengan asumsi gender tentang perilaku perempuan dan ketidakstabilan emosi. Klasifikasi yang bias ini memperkuat ketidaksetaraan gender yang ada dan membenarkan subjugasi perempuan terhadap otoritas medis.

Hubungan antara pengetahuan medis dan dinamika kekuasaan memberikan contoh bagaimana produksi pengetahuan tertanam di dalam dan membentuk hubungan kekuasaan. Medikalisasi penyakit jiwa juga mempunyai implikasi yang lebih luas terhadap pemahaman masyarakat mengenai normalitas dan penyimpangan, memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap mereka yang dicap sebagai berpenyakit jiwa.

Konsep le savoir-pouvoir Foucault mengungkapkan bagaimana wacana medis, yang didukung oleh struktur kekuasaan, tidak hanya membentuk pemahaman kita tentang penyakit mental, tetapi juga membenarkan dan melegitimasi bentuk-bentuk kontrol tertentu terhadap individu.

Contoh ini menggarisbawahi pentingnya mengkaji secara kritis bagaimana pengetahuan diproduksi dan digunakan untuk menggunakan kekuasaan di berbagai aspek masyarakat.

Pandangan Foucault mengenai jalinan yang berkelindan antara kekuasaan dan pengetahuan menimbulkan kekhawatiran tentang cara bagaimana informasi dikendalikan dan disebarluaskan. Di era informasi yang berlebihan dan pengawasan digital, ide-idenya mendorong kita untuk mencermati sumber-sumber pengetahuan dan kepentingan yang dilayaninya.

Baca Juga  Menumbuhkan Toleransi Politik untuk Pemilu Damai

Pemikiran kritis Foucault tentang kekuasaan memiliki implikasi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang masyarakat dan peran kita di dalamnya. Ia mengajak kita untuk mempertanyakan sistem dan institusi yang dianggap remeh dan membentuk kehidupan kita, serta mendorong kita untuk menilai secara kritis norma dan praktik yang memengaruhi perilaku kita.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com