Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya

Menjadi Muslim yang Toleran

2 min read

Ketika Nabi Muhammad menjalankan misi dakwahnya di Jazirah Arabia, beliau menempatkan diri sebagai pembawa berita baik (mubashshir), bukan seorang yang memaksa (musaitir). Posisinya seperti ini menempatkan beliau sebagai orang yang tidak gegabah untuk membungkam atau menghanguskan bentuk-bentuk keyakinan, etika atau tradisi yang bertentangan dengan risalah Islam. Hal ini menempa beliau menjadi sosok yang toleran dan tidak otoriter. Allah berfirman, “Maka apakah kamu (Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?” (QS. Yunus: 99)

Salah satu bukti toleransi yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad dalam menata kehidupan bermasyarakat adalah Piagam Madinah; sebuah komunike antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Yahudi di Yatsrib. Piagam ini tumbuh dari kesadaran saling menghormati, tenggang rasa dan toleransi. Sikap elok semacam ini tidak akan terjadi tanpa ada rujukan transendental dari Allah yang maha toleran, Tuhan yang berkata, fa man sya’a fal yu’min wa man sya’a fal yakfur (dan barang siapa yang ingin, maka berimanlah, dan barang siapa yang ingin, maka kafirlah.)

Bukti lain dari wajah toleransi dan resistensi Muhammad terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam mengemban misi dakwahnya adalah arus hijrah yang beliau lakukan bersama para sahabat. Nabi Muhammad memilih menciptakan “lahan dakwah” yang lain, yang lebih subur, daripada memaksakan bentrok dengan bangsa Quraisy Mekah yang menolak risalah Islam pada masa itu. (Azyumardi Azra, 1996)

Sejatinya nilai-nilai toleransi yang Nabi Muhammad ajarkan dapat menjadi acuan dalam menata etika kehidupan, bersanding dengan ajaran universal lainnya, seperti keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang. Jika kemudian muncul praktik-praktik menyimpang yang lahir dari salah-tafsir terhadap ajaran universal Islam, itu wajar saja. Fenomena ini adalah hal yang lumrah, dipandang dari perspektif keragaman bahwa manusia memiliki tafsir yang variatif, tak bisa diseragamkan. Jika dalam berakidah saja Tuhan mempersilahkan manusia untuk berbeda sesuai dengan keyakinannya, apalagi dalam persoalan interpretasi dan penafsiran ajaran-ajaran agama.

Baca Juga  Sel-Sel NII (Bagian II)

Persoalannya menjadi kompleks dan rumit ketika perbedaan interpretasi, perbedaan akidah dan keragaman perspektif mencuat di ranah muamalah antar umat agama. Maksudnya, ketika perbedaan akidah tersebut diseret ke dalam pola interaksi antar umat beragama, justru menimbulkan ekses-ekses sosial yang jauh dari nilai toleransi.

Logika sederhananya, jika pemeluk agama bisa membentuk harmoni dalam berakidah—sebagai embrio dasar keberagamaan seseorang—seharusnya ia mampu menjalin harmoni dalam jejaing sosial sebagai umat beragama. Di sini terlihat ada pola ke-beragama-an yang tidak berlandaskan pengetahuan komprehensif tentang ajaran agama, adanya keimanan yang tak ditunjang dengan rasionalitas. Padahal, sebuah keyakinan belumlah dianggap sebagai keimanan jika ia tidak dilandasi dengan pemahaman.

Menumbuhkan Rasionalitas

Fides quaerens intellectum adalah kata-kata populer yang diwacanakan oleh St. Anselmus. Iman membutuhkan rasionalitas. Di abad pertengahan, isu ini menjadi satu titik penting yang mempertemukan agama dengan filsafat.

Dalam konteks maraknya aksi-aksi intoleran yang masih mewarnai pola keberagamaan di masa sekarang, falsafah tersebut rasanya relevan untuk dihembuskan kembali. Setidaknya, untuk menyadarkan bahwa ada sesuatu yang terlupakan dari pola keimanan pemeluk agama, yaitu rasionalitas. Agar keimanan tidak hanya berdasar pada keyakinan simbolis yang dangkal. Bangunan rasionalitas dalam berakidah diharapkan menjadi simpul yang mampu menumbuhkan kesadaran umat beragama untuk menyelami nilai agamanya secara lebih mendalam dan arif.

Pemahaman yang mendalam  adalah hakikat dari sebuah keberagamaan. Tuhan tidak menghendaki sikap statis dan “berpangku tangan” menerima “wahyu” secara taken for granted, tapi lebih menghargai sikap dinamis dan “berusaha giat” menyelami makna wahyu. Agama hadir untuk memberi rambu keharmonisan, bukan bumbu pertengkaran. Kata Farid Essack, berpikir tentang pluralisme saja tidaklah cukup. Pluralisme harus dikaitkan juga dengan solidaritas. Artinya, harus ada upaya untuk melesatkan amunisi solidaritas dalam tubuh setiap pemeluk agama.

Baca Juga  Memulihkan Ekonomi Nasional melalui Pengawasan Kemitraan UMKM

Upaya membangun solidaritas ini ditopang oleh ayat-ayat dan teks suci agama. Sebut saja misalnya tuntunan al-Qur’an untuk menghormati pemeluk agama yang lain: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan.” (QS. Al-Baqarah: 256). Hal ini dipertegas lagi oleh ayat lain, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (al-Kafirun: 06)

Dulu, di satu kesempatan, sebuah keranda mayat lewat di depan Rasulullah. Beliau berdiri untuk menghormati jenazah yang diusung ke pemakaman itu. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, jenazah itu adalah orang Yahudi.” Mungkin mereka ingin mengatakan, kenapa kita harus menghormatinya? Tapi apa kata Rasulullah, “Bukankah dia juga manusia?”

Ada satu poin yang harus ditanamkan kuat-kuat untuk merajut solidaritas, yaitu kemanusian. Perbedaan akidah dan teologi tidak seharusnya mempengaruhi pola interaksi sosial keseharian. Hal-hal seperti “ketenangan” berakidah, pemahaman yang kaffah terhadap ajaran agama, dan pola interaksi yang damai intra-umat Islam menjadi sesuatu yang niscaya dalam upaya membangun harmoni dan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Wallahu a’lam. []

Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya