Sebelumnya: Menggali Inspirasi, Mentransformasi… (1)
Mentransformasi Pemikiran
Di dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa cara dalam menggali pemikiran para tokoh masa lalu, baik dari peradaban Yunani maupun Arab Islam, serta transformasinya ke dalam peradaban Arab Islam. Para pemikir Arab muslim melakukan penerjemahan, memberi komentar dan review atas karya-karya yang ditulis para filusuf Yunani yang berhasil menciptakan sejarah saat itu, seperti Plato dan Aristoteles, baik di bidang fisika, metafisika maupun logika. Karena tugasnya itu, al-Kindi dikenal sebagai penerjemah, al-Farabi sebagai guru kedua, Ibn Ruysd dikenal sebagai komentator.
Khusus nama yang disebut terakhir, dia memberi beragam komentar terhadap karya-karya tokoh besar sebelumnya, baik tokoh Yunani maupun muslim. Dia memberi komentar karya-karya Aristoteles dalam bentuk komentar ringkas, sedang dan panjang dengan tema yang beragam, seperti talkhis al-khithabah, talkhish al-burhani, talkhish jadali, talkhish ma ba’da al-thabi’ah; memberi komentar ringkas atas karya filsafat politik Plato, seperti al-daruri fi al-siyasah; dan memberi komentar sedang atas karya Galen tentang kedokteran, seperti al-kulliyatu fi al-thib. Ibn Rusyd juga memberi komentar ringkas atas karya ushul fiqh al-Ghazali yang terlibat polemik filosofis dengan dirinya, dengan judul al-daruri fi ushul al-Fiqh.
Begitu juga dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Tidak jarang ditemukan karya-karya semacam terjemahan dan komentar atas karya-karya tokoh muslim sendiri yang dalam tradisi Islam disebut syarah dan hasyiyah (syarah atas syarah), baik di bidang fiqih, tafsir, hadis, kalam maupun tasawuf. Karya original tokoh muslim bersangkutan bisa disebut matan.
Matan kitab Taqrib misalnya diberi syarah menjadi kitab Fathul Qorib, dan diberi hasyiyah menjadi kitab Hasyiyah al-Bajuri; tafsir Jalalayn diberi syarah lalu muncul beberapa kitab, di antaranya adalah tafsir majmaul bahrain wa mathlaul badrayn ala tafsir jalalayn, al-futuhat al-ilahiyah bitaudihi al-jalalayn li daqaiq al-khafiyah, juga muncul hasyiyahnya, yakni kitab hasyiyah showi ala jalalayn.
Mereka juga banyak melakukan review atas pemikiran para tokoh muslim sebelumnya, sehingga banyak pemikiran para tokoh muslim belakangan yang mencerminkan pemikiran tokoh muslim sebelumnya. Seolah, tokoh muslim belakangan menjadi kepanjangan tangan dan juru bicara tokoh muslim sebelumnya.
Apa implikasinya?
Penting dicatat, mereka yang melakukan “tradisi pseudo-ilmiyah” seperti ini, meminjam istilah Nurcholish Madjid, biasanya adalah yang setuju dan sejalan dengan pemikiran para pemikir original tersebut, baik dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat memahami karya original (matan) itu sendiri, maupun dalama rangka mentransformasikan gagasan dari tokoh muslim yang diikutinya kepada masyarakat umum agar juga mengikuti tokoh bersangkutan.
Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina yang tergabung dalam tokoh filsuf muslim Masyriq mengagumi pemikiran Plato sehingga mereka menerjemahkan, memberi komentar dan mereview karya-karya filsafat Plato; begitu juga Ibn Tufail, Ibn Masarroh dan Ibn Rusyd yang tergabung dalam tokoh filsuf muslim Maghribi yang mengagumi pemikiran Aristoteles.
Kendati melahirkan kontroversi di kalangan umat Islam Arab khususnya, tindakan berani para tokoh filsuf muslim itu menerjemahkan, memberi komentar dan review atas karya-karya para filsuf Yunani tercatat mampu menggerakkan dan mengubah sejarah “peradaban teks Arab Islam” (hadlarah al-nash), meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd, menjadi peradaban intelektual-falsafi (hadlarah al-aql al-falsafi). Umat Islam mulai menggunakan logika dan filsafat dalam memahami Islam yang bersumber pada teks kitab suci al-Qur’an dan hadis, sehingga Islam menjadi agama yang rasional, filosofis dan tidak dogmatis.
Selain memasukkan filsafat Islam ke dalam salah satu disiplin keilmuan Islam selain fiqih, kalam dan tasawuf, tradisi pseudo-ilmiyah itu juga memberi landasan filosofis atas berbagai disiplin keilmuan Islam lainnya, sehingga muncul karya-karya yang disandingkan dengan filsafat, seperti falsafah kalam, tasawuf falsafi, falsafah al-tasyri, tafsir falsafi, dan sebagainya.
Implikasi berbeda terjadi ketika yang diterjemahkan, dikomentari dan direview adalah karya-karya tokoh muslim sebelumnya. Ia berkembang ke dalam. Dalam arti, ketika pemikiran para tokoh muslim pendahulu itu ditransformasikasikan secara terus-menerus dan berulang-ulang kepada generasi berikutnya, kelak ia berubah menjadi “aliran pemikiran”, seperti Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah, Asy’ariyah, al-Maturidiyah, Wahhabiyah, Ahmadiyah dan sebagainya.
Agar aliran-aliran pemikiran itu menjadi kuat, para pengikutnya yang belakangan biasanya mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai penyangga tranformasinya. Sejak itulah, pemikiran para tokoh muslim masa lalu itu bisa menjelma menjadi “pemikiran bisa juga menjadi ideologi”. Ketika masih menjadi pemikiran, ia bersifat terbuka dan mengedepankan proses daripada hasil.
Tidak ada klaim dan keberakhiran kebenaran. Kebenaran senantiasa dicari terus menerus melalui proses berfikir tiada henti yang di dalam Islam disebut ijtihad. Sebaliknya, ketika pemikiran menjadi ideologi, ia menjadi tertutup, mengabaikan proses dan menjadikan hasil para tokoh muslim itu sebagai kebenaran terakhir. Tidak ada lagi kebenaran. Pintu pemikiran ditutup. Umat Islam belakangan tinggal menggunakannya.
Memang, organisasi-organisasi sosial keagamaan yang berkembang di Indonesia, ada yang mentransformasikan pemikiran para tokoh muslim masa lalu itu secara apresiasi-kritis dan dialogis, dan ada juga yang mentransformasikannya secara purifikatif-monolitik dan dogmatis. Mereka yang tergabung dalam kelompok pertama khususnya, mengapresiasi setiap pemikiran yang lahir dari para tokoh muslim masa lalu, baik dari dunia luar maupun dari Indonesia sendiri, lalu merekonstruksinya secara kritis sebelum mentransformasikannya ke dalam kondisi keindonesiaan, kini dan ke depan.
Bisa dikatakan, mereka menjadikan pemikiran para tokoh muslim masa lalu itu sebagai metra dialog dalam mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia. Mereka memilah-milah, mana gagasan-gagasan yang cocok diterapkan di masyarakat dan mana yang tidak cocok melalui ijtihad jama’i yang dikenal dengan istilah Bahsul Masail.
Gagasan yang cocok itulah yang dalam hermeneutika filosofis disebut “pemikiran yang bermakna” yang sejatinya ditransformasikan bagi kekinian dan ke depan umat Islam Indonesia. “Pemikiran yang bermakna” yang bisa ditransformasikan di Indonesia itu adalah pemikiran yang bersifat “ideal-moral”, meminjam istilah yan dibuat Fazlur Rahman.
Dengan cara seperti ini, ummat Islam Indonesia tidak hanya mengambil inspirasi dari para tokoh muslim masa lalu, tetapi juga pemikirannya yang bersifat ideal-moral. Di atas gagasan ideal-moral mereka, kita bisa mengembangkan gagasan baru yang relevan dengan kondisi keindonesiaan, kini dan ke depan.
Bagaimana caranya?
Sebagai penulis, kita sudah mengenal istilah “telaah karya-karya terdahulu”. Ia digunakan untuk menentukan posisi tulisan kita sebagai penulis belakangan, di antara karya-karya yang sudah ada, apakah sama, mengkritisi, atau melanjutkan. Kita juga akan mendapatkan apa yang disebut dengan istilah “novelty” kebaharuan dalam suatu penelitian. Jadi, kebaharuan diperoleh melalui telaah terhadap karya-karya terdahulu yang menulis tema yang sama dengan tulisan kita.
Kalau kita membaca karya-karya tokoh muslim kontemporer yang banyak menulis buku, seperti Hassan Hanafi (min al-Aqidah ila Tyaurah, min al-Naqli ila al-Aqli, min al-Fana’ ila al-Baqa, Muhammad Abid al-Jabiri (al-Turath wa al-Hadthah, al-Bun-yah al-Aql al-Arab, Al-Aql akhlaqi al-Arabi), Nasr Hamid Abu Zayd dan beberapa tokoh muslim modern lainnya, kita pasti mendapati mereka seringkali memulai tulisannya dengan menelaah karya-karya tokoh muslim terdahulu. Baru di bagian akhir, mereka menawarkan gagasan original yang bersifat novelty tadi.
Berdasarkan deskripsi di atas, saya ingin mengatakan, telaah atas pemikiran tokoh muslim masa lalu tidak hanya memberi inspirasi, tetapi juga membantu menempatkan posisi pemikiran penulis belakangan, sembari membantu mereka menawarkan kebaharuan dalam bidang pemikiran, utamanya pemikiran Islam. Tentusaja harus dihindari upaya menjadikan pemikiran para tokoh muslim pendahulu itu sebagai semacam ideologi. Sebaliknya, menjadikannya sebagai pemikiran yang senantiasa mengalami proses pencarian terus menerus.
Atas inspirasi dari para tokoh muslim terdahulu itulah, saya menerjemahkan beberapa karya Ibnu Rusyd dan Jabiri; memberi komentar dua karya komentar Ibn Rusyd atas filsafat politik Plato dan ushul fiqh al-Ghazali; menelaah studi al-Qur’an Ibn Rusyd, epistemologi Islam para tokoh muslim klasik sampai kontemporer, dari al-Kindi sampai Imam Suprayogo, tafsir Muhammad Izzat Darwazah, pemikiran Islam Abdul Karim Soros, kritik nalar tasawuf Hasyim Asy’ari, kritik tafsir Thaha Husein, kritik nalar arab Muhammad Abid al-Jabiri, tafsir nuzuli Ibn Qornas, tafsir al-Qur’an Muhammad Syahrur, Islam pribumi Abdurrahman Wahid, dsb. Saya melanjutkan dan menawarkan gagasan baru di atas gagasan mereka, yakni Islam antroposentris. (mmsm)