Adyad Ammy Iffansah Mahasiswa prodi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya

Menjadi Masyarakat Media Baru yang Up to Date, Apa Yang Perlu kita Persiapkan?

2 min read

Merasakan gejolak kemajuan zaman, manusia di era milenium abad awal ke-21 begitu tergiur dengan kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi. Tidak berhenti sampai disitu, kemajuan dalam beberapa sektor seperti komunikasi telah berhasil merubah dan menghegemoni kebiasaan berkomunikasi dan cara penyebaran informasi. Contoh perubahan yang paling terasa ialah bergesernya media konvensional yang dipuja-puja sebagai parameter sebuah informasi ke media baru yang dianggap anti mainstream.

Perlu di ketahui sedikit mengenai istilah media konvensoinal dan media baru, dalam disiplin ilmu komunikasi keduanya merupakan cara atau mediator dalam berkomunikasi yang mengondisikan khalayak sebagai objek sebuah informasi (komunikan) yang telah di susun atau direncanakan oleh subyek (komunikator).

Penilaian yang muncul selama ini bahwasanya media konvensional merupakan model penyampaian informasi yang klasik, karena tidak memuat dasar digitalisasi dan lambatnya penyampaian informasi disebabkan oleh prosedur produksi. Maka atas dasar hal tersebut, media konvensional dianggap kuno dan perlahan mulai ditinggalkan. Media konvensional ini semacam radio, televisi, surat kabar, majalah, koran, dan tabloit.

Berbeda dengan media baru yang mengembangkan kecepatan penyampaian dan kemudahan akses informasi. Media baru dianggap sebuah solusi bagi manusia dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman.

Memang terdapat kekurangan dan kelebihan dalam kedua jenis media tersebut, maklum saja jika beberapa pegiat media informasi saling tegur ketika membahas mengenai polemik media baru ini. Teguran dan kritikan jelas ditujukan pada efek buruk yang di timbulkan dari masing-masing media komunikasi, apalagi media baru  saat ini mulai menunjukan gejala yang tidak biasa yakni buruknya tingkat keakuratan sebuah informasi.

Kemajuan yang terlihat pada media baru ini juga didukung dari cara pandang masyarakat terhadap realitas baru yang ada, bahwa anggapan ketinggalan jaman akan disematkan pada orang yang tidak beralih ke media baru. Maindset ini terus tertanam hingga sekarang dan melahirkan revolusi komunikasi.

Baca Juga  Mengapa Teroris Begitu Membenci Syekh Ali Jum'ah?

Hal tersebut dirasa sangat darurat karena gejala baru tersebut perlahan-lahan memberikan serangkaian efek yang buruk kepada kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung media baru ini membentuk cara berfikir spekulatif karena ketidakpastian informasi. Karena kemudahanya juga, khalayak awam cenderung menganggap semua informasi yang tersebar pada media baru merupakan informasi yang positif, padahal pada kenyataanya banyak berita yang dibuat atas dasar kepentingan-kepentingan, entah wacana penanaman idelisme, ataupun doktrin golongan tertentu.

Dari informasi yang mudah di-framing sedemikian rupa maka khalayak pada media baru menjadi mudah terjebak karena tidak adanya kontrol dan tindakan selektif. Akibatnya, hal itu tentu akan menimbulkan kerugian dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebelum rangkaian efek buruk yang ditimbulkan oleh media baru ini muncul di lingkungan kita, ada baiknya kita membekali diri dengan tindakan selektif terhadap konten-konten yang tersebar di media sosial. Selain itu, kontrol diri terhadap narasi-narasi negatif harus dibendung melalui pembekalan diri terhadap akhlak bermedia secara baik dan benar.

Selaras dengan yang disampaikan oleh Nadirsyah Hosen dalam bukunya “Saring Sebelum Sharing”, akhlak bermedsos dirasa penting untuk dimiliki setiap orang guna menghindari efek buruk yang mungkin muncul dalam penggunaan media baru.

Bekal yang harus kita persiapkan sebagai makhluk sosial dan individu ialah paham moderat. Secara garis besar, moderat merupakan sebuah cara pandang terhadap dunia dengan tinjauan basis netralitas, respon yang tidak berlebihan dan lebih menyukai dialog.

Pegangan berdasarkan wawasan moderat memiliki fungsi mengkontrol dalam bersosial media khususnya dalam merespon sebuah narasi. Tidak berapi-api dalam menyampaikan pendapat ataupun sanggahan, memasukan unsur refleksi pada setiap bait demi bait yang diketikkan dalam media baru.

Kesuksesan menjadi masyarakat media baru yang berwatak moderat akan mendukung cara kita bersosial di dunia nyata dengan menerima perbedaan dan saling menghargai. Sikap menghargai tersebut terlihat dari bagaimana kita merespon informasi atau konten-konten di media sosial.  hal tersebut akan menunjukan bagaimana ukuran pengguna media baru yang mempunyai kemampuan untuk memfilter konten negatif. [AA]

Adyad Ammy Iffansah Mahasiswa prodi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya