Mualim Mengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus

Idul Adha, Mengasah Kepekaan Sosial Kita

2 min read

Hari kedelapan Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi seakan-akan ada yang berkata kepadanya: “Susungguhnya Allah memerintankanmu menyembelih anakmu ini”.

Bangun tidur  Nabi Ibrahim merenungkan akan mimpi tersebut.  “Apakah mimpi ini dari Allah atau setan?” demikian pikir Nabi Ibrahim. Ia diselimuti keraguan akan sumber mimpinya. Sampai sore hari ia terus merenungi akan kebenaran mimpi tersebut. Apakah mimpinya benar-benar dari Allah, sebagai petunjuk kepada dirinya atau bukan? Nabi Ibrahim masih ragu. Hari Nabi Ibrahim berpikir dan merenungi mimpinya ini kemudian dikenal dengan hari Tarwiyah. Tarwiyah yang berarti berpikir atau merenung.

Malam berikutnya, malam kesembilan Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi lagi, mimpi yang sama dengan mimpi pada malam  sebelumnya.  Mimpi yang kedua ini menambah keyakinan Nabi Ibrahim bahwa mimpi itu bersumber dari Allah. Nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini bahwa mimpi itu benar-benar perintah Allah. Selanjutnya hari ketika Nabi Ibrahim meyakini dan mengetahui mimpi itu dari Allah disebut dengan hari Arafah. “Arafa” yang berarati telah mengetahui atau meyakini akan kebenaran sesuatu.

Mimpi serupa datang lagi pada malam ketiga. Mimpi yang ketiga ini mendorong Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah dalam mimpi tersebut. Keesokan harinya ia bertekad untuk menyembelih putranya, Ismail. Ibrahim pun ikhlas berserah diri kepada Allah, melaksanakan perintah menyembelih Ismail.

Akan tetapi ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail Allah mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Yang disembelih bukan Ismail melainkan seekor domba. Rupanya perintah menyembelih Ismail hanyalah ujian Allah kepada Nabi Ibrahim.

Apakah Nabi Ibrahim lebih mencintai Ismail ataukah Ia lebih mencintai Allah? Jika hati Nabi Ibrahim mencintai Allah tentu ia akan mengorbankan atau menyembelih Ismail. Sebaliknya, jika ia mendua, lebih mencintai Ismail, maka ia akan menolak perintah menyembelih Ismail.

Baca Juga  Hakikat Cinta Imam Ibnu Atha’illah

Nabi Ibrahim sudah tahu dan benar-benar tahu bahwa menyembelih Ismail adalah perintah Allah. Hanya ada dua pilihan baginya merespon perintah tersebut. Pertama, tashdiq. Ia membenarkan perintah tersebut dengan cara melaksanakannya. Kedua, takdzib.  Ia mendustakan perintah tersebut dengan cara tidak patuh, tidak melaksanakan. Lebih dari itu, ia bisa juga mengingkarinya. Dan Nabi Ibrahim memilih tashdiq, membenarkan perintah menyembelih Ismail.

Maka hari ketika Nabi Ibrahim bertekad menyembelih Ismail, putranya, dinamakan hari Nahr, yang berarti hari penyembelihan. Nah, hari Nahr inilah yang kemudian dikenal Idul Adha. Di mana pada hari itu umat Islam melaksanakan penyembelihan hewan kurban sebagi waujud ibadah kepada Allah.

Mengasah Hati Nurani  

Ibadah kurban mengandung banyak pelajaran bagi kita. Pelajaran yang semestinya membuat hati kita tergerak untuk berbuat lebih baik lagi bagi kemanusiaan. Melewati Idul Adha tahun demi tahun semestinya membuat kita peka untuk ikut andil membantu sesama.

Paling tidak kisah penyembelihan Ismail dan ibadah kurban bisa menggerakkan hati kita untuk melaksanakan tiga hal.

Pertama, mencintai Allah lebih dari yang lain. Allah adalah sumber kehidupan dan kebajikan. Karena itu, mestinya hati kita selalu untuk Allah Yang Maha Kasih.

Kita patuh dan berserah diri melaksanakan titah-Nya. Kita tidak akan berani melakukan tindakan yang menyimpang dari garis titah-Nya. Apalagi berbuat mengatasnamakan melaksanakan titah-Nya, padahal perbuatan kita jauh menyimpang dari titah-Nya.

Jika hati ini sudah penuh cinta kepada-Nya, maka harta, jabatan, status social, gelar akademik, dan lainnya adalah milik-Nya. Karena itu, kita seharusnya merasa kepemilikan yang sifatnya duniawi adalah sementara. Semua hanya titipan Allah. Jangan sampai semuanya melalaikan kita kepada Allah.  Semua laksana Ismail bagi Ibrahim. Dalam kehidupan Ibrahim,  Ismail tidak akan pernah melalaikan cintanya kepada Allah.

Baca Juga  Manusia, Tangan Tuhan dan Kebebasan Diri: Kreativitas, Ilmu, dan Iman [3]

Kedua, pelajaran dari ibadah kurban adalah jangan sampai kita mengorbankan sesama demi kepentingan kita. Allah sangat mencintai manusia. Karena itu, kita harus mencintai kehidupan ini. Tidak pantas rasanya nyawa manusia melayang hanya demi ambisi politik kita, ambisi ekonomi kita, dan kepentingan receh duniawai lainnya.

Terlalu mahal menjadikan manusia sebagai tumbal kepentingan sesaat kita. Allah mengganti Ismail dengan seekor domba merupakan sebuah isyarat bahwa manusia tidak boleh dikorbankan. Kehidupan harus dirawat, dijaga, dan manusia harus dicintai.

Ketiga, ibadah kurban mengajari kita untuk berbagi kepada sesama.  Caranya bagi kita yang dikarunia kelebihan harta kita patut untuk berkurban. Berkurban ini sebagai sikap tashdiq kita kepada Allah. Bukankah kita yakin, kita benar-benar tahu bahwa rezeki adalah karunia Allah?

Jika demikian, sepatutnya kita melepas harta yang kita ketika Allah menghendaki melepasnya. Jika Allah meminta apa yang kita cintai, maka serahkanlah. Sebagaimana Nabi Ibrahim menyerahkan Ismail yang ia cintai untuk dikurbankan. Ismail hanyalah titipan Allah, sebagaimana harta dan apa yang kita miliki juga titipan dari Allah.

Ibadah kurban mengingatkan kita untuk bersyukur. Caranya dengan mengajak orang lain bersama-sama menikmati karunia Allah. Lebih-lebih di era pandemic Covid-19 ini, banyak orang yang membutuhkan uluran tangan.  Ibadah kurban mengajak kita untuk tulus berbagi kebahagiaan dan kegembiraan kepada sesama. Demi cintanya kepada Allah Nabi Ibarahim rela melepas, menyerahkan, dan  mengorbankan Ismail. Ketulusan berbgai itulah tanda kita cinta kepada Allah.

Tentu tidak hanya ketika Idul Adha kita berbagi. Setelah Idul Adha pun berbagi merupakan kebajikan ungkapan tashdiq dan syukur kita kepada Allah SWT. tidak harus berbagi daging, tetapi bisa berbagi biaya pendidikan, berbagi biaya kesehatan, berbagi modal usaha, berbagi ilmu dan keterampilan, dan lain-lainnya.  (MMSM)

Mualim Mengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus