Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Menggali Inspirasi, Mentransformasi Pemikiran Para Tokoh Muslim (1)

3 min read

Saya dihubungi mas Reyza Virgiawan dari FAI UII Yogyakarta, dan meminta saya untuk mengisi acara “diskusi ilmiah dosen nasional” dengan tema “revitalisasi studi tokoh muslim dalam pengembangan pemikiran Islam” (Sabtu, 24 Juli 2021). Tema ini cukup menarik dan penting, tetapi jarang dijadikan tema seminar, lokal maupun nasional. Para akademisi pada umumnya lebih tertarik pada seminar tentang tema-tema aktual dan kontroversial, seperti radikalisme, toleransi beragama, pengarusutamaan gender, Islam dan hak asasi manusia, Islam dan politik, Islam dan pandemi dan sebagainya.

Tema diskusi tentang pemikiran tokoh ini semakin menarik dan penting, karena panitia hendak menjadikannya sebagai pijakan dalam mengembangkan pemikiran Islam, suatu asumsi dan harapan yang mengandaikan pengembangan pemikiran Islam bisa diambil dari pemikiran para tokoh muslim.

Sejalan dengan asumsi dan harapan itu, tulisan sederhana ini membahas secara deskriptif-analitis akan dua hal: pertama, apa “nilai” penting studi pemikiran tokoh muslim bagi pengembangan pemikiran Islam; kedua, bagaimana “cara” menghadirkan pemikiran mereka agar menjadi bermakna bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia saat ini dan ke depan.

Menggali Inspirasi

Untuk mengetahui nilai penting studi pemikiran tokoh muslim, ada baiknya jika kita bertolak pada asumsi bahwa dalam tradisi pemikiran ilmu-ilmu sosial humaniora, pemikiran Islam khususnya, terdapat hubungan simbiosis-mutualisme antara pemikir dan sejarah. Di satu sisi, manusia sebagai makhluk berfikir merupakan anak kandung sejarah, di sisi lain, sejarah merupakan kongkritisasi dari ekspresi berfikir manusia.

“Anak kandung sejarah” bermakna, cara berfikir dan pemikiran manusia dibentuk oleh realitas sejarah yang melingkupinya, sehingga seseorang yang hidup dalam realitas sejarah yang berbeda akan menggunakan cara berfikir dan hasil pemikiran yang berbeda, kendati membahas tema yang sama. Al-Ghazali dan Ibn Rusyd berbeda dalam memahami hubungan agama dan filsafat karena keduanya hidup dalam lingkungan sejarah yang berbeda: al-Ghazali hidup di daerah Masyriqi (Arab bagian timur) dan Ibn Rusyd di daerah Maghribi (Arab bagian barat).

Baca Juga  Bolehkah Memilih Pemimpin Non-Muslim Menurut Ibnu Taimiyah?

Bahkan, seorang pemikir bisa menelorkan cara berfikir dan menghasilkan pemikiran yang berbeda ketika dia mengalami pergeseran hidup dalam situasi dan kondisi sejarah yang berbeda, seperti kasus yang dialami imam Syafi’i, dan imam Asy’ari. Di tempat yang berbeda, Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat yang berbeda tentang kasus yang sama yang dikenal dengan istilah qaul qodim dan qoul jadid, dan dalam situasi dan kondisi historis yang berbeda, imam Asy’ari mengalami perubahan pemikiran: dari pemikiran rasional muktazili ke pemikiran moderat Sunni.

Sedang “sejarah sebagai kongkritisasi ekspresi berfikir manusia” bermakna, realitas sejarah itu sendiri merupakan produk pemikiran manusia yang sudah berjalan dalam waktu yang begitu lama, sehingga ia menjadi sesuatu pada dirinya (realitas sejarah). Bisa dikatakan, manusia “menciptakan dan membentuk” sejarah. Sejarah dunia Arab diciptakan dan dibentuk oleh masyarakat Arab dalam kurun waktu yang lama yang dimulai sejak nenek moyang mereka, nabi Ibrahim dan nabi Ismail sampai keturunannya yang kelak disebut Arab Quraisy.

Selain itu, cara berfikir dan pemikiran tertentu yang ditelorkan seorang tokoh besar bisa “menggerakkan dan mengubah” sejarah. Amr bin Luhay (tokoh Arab yang mengubah keyakinan monoteis (hanifiyah) masyarakat Arab Quraisy ke keyakinan polities (syirik). Dengan cara berfikir yang bijaksana, pemberian nasehat dan dialog yang paling baik dalam menyampaikan ajaran Islam, Nabi Muhammad mampu menggerakkan dan mengubah sejarah Arab, dari kehidupan jahiliyah yang polities (syirik) ke kehidupan monoteis Islam yang mencerahkan.

Dengan cara berfikir dialektika-historis dan pemikiran sosialisme-marxismenya, Karl Marx bisa menggerakan secara revolusioner masyarakat proletar dan mengubah bentuk Negara Uni Soviet di Eropa dan China di Asia. Dengan cara berfikir sekuler yang memisahkan agama dan Negara, Kemal Attaturk bisa menggerakkan dan mengubah sejarah politik Turki, dari Turki Usmani yang menganut sistem khilafah ke bentuk Republik Turki yang sekuler. Begitu juga, hapak proklamator kita, bung Karno dan bung Hatta menggerakkan dan mengubah sejarah politik Indonesia dari masyarakat tanpa Negara (berbentuk kerajaan dan masih dijajah asing) menjadi Negara Republik Indonesia.

Baca Juga  Jihad Santri Kala Pandemi

Lalu, apa nilai pentingnya bagi umat Islam saat ini?

Bagi umat Islam yang hidup saat ini, terutama umat Islam Indonesia, sejarah masa lalu umat Islam, baik masa lalu umat Islam di dunia Arab maupun di Indonesia, disebut tradisi, baik dalam bentuk material, seperti Mesjid Nabawi di Madinah; maupun maknawi, seperti pemikiran-pemikiran filsafat, hukum, tasawuf, sastra dan sebagainya yang ditinggalkan para tokoh muslim.

Sedang setiap produk masa kini, terutama yang diproduk oleh peradaban Barat modern bisa disebut modernitas, baik yang bersifat material, seperti bangunan-bangunan gedung yang menjulang tinggi, tegnologi informasi dan transfortasi; maupun maknawi, seperti berbagai disiplin keilmuan, baik sosial maupun alam.

Sejalan dengan fakta itu, bisa dikatakan, umat Islam Indonesia saat ini hidup dalam dua dunia: secara fisik hidup di dunia modern, tetapi dari sisi mental dan pemikirannya, mengacu pada dunia masa lalu umat Islam (tradisi). Mengapa? Karena umat Islam sekarang ini adalah anak kandung sejarah Islam, sehingga selalu mengacu kepada pemikiran masa lalu untuk menghadapi pelbagai persoalan yang muncul pada masa sekarang.

Karena itu, tentu saja banyak nilai penting yang bisa diambil dari para tokoh muslim yang telah menciptakan sejarah itu, di antaranya adalah menjadikannya sebagai “inspirasi” bagaimana mereka mencipta, menggerakkan dan mengubah sejarah. Umat Islam sekarang harus bercermin pada mereka. Agar cermin itu bermakna, perlu “menggali” pemikiran apa dari mereka yang mampu mencipta, menggerakkan dan mengubah sejarah. Hasil penggalian itu, nantinya “ditransformasikan” agar menjadi bermakna bagi pengembangan pemikiran Islam di Indonesia, sehingga sejarah Indonesia juga mengalami perubahan ke arah yang benar.

Selanjutnya: Menggali Inspirasi, Mentransformasi… (1)

Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo