Pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan sistem dan politiknya serta memiliki keanekaragaman dalam berbagai aspek, seperti agama, budaya, suku, dan lain-lain. Pluralisme sangat membaur dengan kehidupan sosial kita, terutama di Indonesia yang memiliki banyak sekali keragaman agama, suku, budaya, bahasa, dan lainnya.
Masyarakat Indonesia memeluk dan menghayati beragam agama dan kepercayaan. Ada enam agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dengan begitu, pluralisme agama bisa dilihat pada tempat ibadah, tradisi, dan cara ibadah tiap agama yang berbeda-beda.
Menurut perspektif Islam, sikap menghargai dan toleran kepada penganut agama lain adalah wajib untuk dijalankan sebagai bagian dari keberagaman atau pluralitas. Namun, anggapan bahwa seluruh agama adalah sama pluralisme tidak diperkenankan.
Paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik keagamaan. Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam memiliki sudut pandang yang positif terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Dalam tataran teologis, ideologis, dan bahkan sosiologis, Islam dengan kitab sucinya, yaitu Al-Qur’an, memandang positif terhadap pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah dan mutlak keberadaannya.
Ide awal lahirnya pluralitas agama adalah keragaman yang pada ujungnya akan melahirkan perbedaan cara pandang bagi pemeluknya. Secara paradigmatik, pluralisme adalah suatu sistem yang memungkinkan seluruh kepentingan dalam masyarakat luas bersaing secara bebas untuk memengaruhi proses politik, sehingga mencegah munculnya dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
Secara praktis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, pluralisme dalam sudut pandang kerukunan antarumat beragama tidak hanya untuk mengikis habis praktik pendominasian, tetapi lebih dari itu, yakni bagaimana menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai antarumat beragama.
Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa tahun terakhir diprakarsai oleh John Hick. Hick mengatakan dalam hal ini bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya, yaitu bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama.
Dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius.
Selain Islam dan Kristen, Buddha juga mengajarkan hal yang sama. Dengan mencontoh pandangan Sang Buddha tentang toleransi beragama, Raja Asoka membuat dekret di batu cadas gunung—hingga kini masih dapat dibaca—yang berbunyi:
“… Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya, agama orang lain hendaknya dihormati atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang di samping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dengan mencela agama lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dalam pengertian bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain…”
Mengingat agama dan budaya berkaitan satu sama lain, pluralisme budaya adalah sebuah kondisi budaya yang majemuk, di mana istilah tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan penerimaan budaya alternatif. Artinya, orang-orang akan mampu hidup secara bersama dengan menerapkan sikap saling toleransi terhadap perbedaan budaya orang lain agar bisa tercapai pluratis.
Pluralitas atau keberagaman budaya, suku, dan juga ras yang ada di Indonesia dapat menjadi daya tarik bagi turis untuk berwisata. Keberagaman ini juga dapat menjadi ciri khas dari suatu wilayah yang akan dikenal oleh para wisatawan, baik itu wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Pada akhirnya, hal tersebut juga bisa menjadi suatu peluang ekonomi masyarakat.
Pada intinya, pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk dan memiliki keanekaragaman dalam berbagai aspek, seperti agama, budaya, suku, dan lain-lain. Di Indonesia, pluralisme sangat dekat dengan kehidupan sosial kita sehari hari, terutama dalam kehidupan agama dan budaya.
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam memiliki sudut pandang yang positif terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme dalam perspektif kerukunan antarumat beragama tidak hanya untuk mengikis habis praktik pendominasian, akan tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai antarumat beragama. [AR]