Abdul Mukti Thabrani Dosen Pascasarjana IAIN Madura; Ketua Yayasan Nurus Sholah Batulabang Pamekasan

Salat Tarawih Super Cepat dan Beragam Pendapat Tentangnya

1 min read

Foto: detiknews.com

Setiap kali Ramadan datang, media sosial selalu memunculkan sebuah video viral salat tarawih berkecepatan tinggi di sebuah masjid di Jawa Timur. Video berdurasi empat menit ini menampilkan ritual salat tarawih yang diikuti ratusan orang, dalam waktu yang sangat singkat: tujuh menit untuk 23 rakaat! Konon, salat tarawih ini adalah salat tarawih tercepat di dunia. Kalau tidak percaya, silakan googling dan tulis “salat tercepat di dunia” niscaya video tersebut yang akan muncul. Uniknya, ritual tarawih tercepat di dunia ini sudah berlangsung puluhan tahun secara turun temurun. Dari generasi ke generasi. Jemaahnya membludak, meluber sampai jalanan. Tentu saja semua itu terjadi sebelum pandemi corona menyerang.

Selain di Indonesia, rasanya sulit menemukan salat tarawih super cepat seperti dalam video tersebut. Di Timur Tengah, hampir tidak ada sama sekali. Alih-alih yang ada di sana adalah salat tarawih dengan imam yang bacaannya murattal dan membaca Alquran satu juz per malam. Di Saudi, Mesir, Qatar, Kuwait, bahkan negara non-Arab seperti Pakistan dan Malaysia, rasanya tidak pernah muncul berita tarawih kilat seperti di Indonesia.

Tarāwīh adalah bentuk jamak dari kata tarwīhah, yang artinya istirahat. Disebut demikian karena salat ini dilakukan dengan banyak rehat di sela-sela salamnya. Nabi melakukan salat tarawih di masjid pada tahun pertama kali puasa diwajibkan, yaitu tahun ke-2 hijriyah, hanya dalam tempo tiga malam. Selanjutnya beliau melaksanakan salat tarawih di rumah. Hal itu beliau lakukan karena khawatir tarawih menjadi salat wajib, atau dianggap wajib oleh umat Islam. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam konteks ini, salat tarawih yang dilakukan secara kilat jelas bertentangan dengan penamaan salat itu sendiri.

Baca Juga  Nalar Logis Imam Ghazali tentang Imam vis-à-vis Nalar Irasional Atha Abu Rashta perihal Khalifah

Lalu bagaimana dengan hukum melaksanakan salat tarawih super cepat? Mengapa juga hanya tarawih yang dilakukan dengan cepat dan bukan salat yang lain? Nah, di sinilah terjadi kesalahan kolektif, kesalahan sosial sekaligus paradigmatik. Mungkin karena salat tarawih hanya dilakukan setahun sekali, orang menganggap salat tarawih seakan wajib. Orang yang tidak salat tarawih kemudian dilabeli orang fasik atau orang yang tidak saleh. Daripada dianggap fasik, orang memilih untuk melaksanakan salat tarawih, meskipun dengan cara super cepat. Praktik kilat seperti ini dianggap lebih baik daripada meninggalkannya sama sekali.

Beberapa pendapat muncul menanggapi fenomena tarawih kilat ini. Ada pendapat yang menganggap tarawih cepat sebagai la’ibun wa lahwun, semacam permainan atau olah raga, semacam senam massal yang diikuti para atlet. Lihat saja gerakannya. Terkadang banyak jemaah yang tidak bisa mengikuti gerakan imam, bahkan ada yang hanya duduk bengong melihat jemaah lain bergerak super cepat. Pendapat lain mengatakan, “biarkan saja mereka salat dengan cepat. Hidup mereka sudah susah, ruwet. Biarkan mereka senang dengan salat cepatnya.” Pendapat lain mengatakan bahwa tarawih itu sunnah, bolehlah dilakukan cepat-cepat. Toh tidak salat pun tidak apa-apa. Daripada tidak salat, lebih baik salat meskipun cepat.

Ada juga pendapat yang menggelitik terkait pelaksanaan salat tarawih cepat di atas. Pendapat ini menganalogikan tarawih cepat dengan pertanyaan balik begini: jika tarawih boleh dilakukan super cepat, mengapa rukun Islam yang lain tidak dilakukan dengan cara yang sama? Jadi, nanti akan muncul puasa cepat, zakat cepat, dan haji cepat. Pemikiran mbeling seperti ini setidaknya mengusik kita untuk melihat fenomena di atas dengan pendekatan dan metodologi baru. Pendapat ini mengandaikan bagaimana jika rukun Islam dilakukan dengan metode “tarawih Nusantara”: cepat dan singkat.

Baca Juga  Sel-Sel NII (Bagian 1)

Anda sependapat dengan pendapat yang mana? Atau Anda punya pendapat sendiri? Silahkan berijtihad mumpung pintu ijtihad belum ditutup. [AS, MZ]

Abdul Mukti Thabrani Dosen Pascasarjana IAIN Madura; Ketua Yayasan Nurus Sholah Batulabang Pamekasan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *