Sudah berabad-abad lamanya Universitas al-Azhar di Mesir menjadi mercusuar yang menerangi dunia Islam dengan cahaya ilmu pengetahuan membuatnya menjadi otoritas tertinggi dalam bidang keagamaan. Dari sana lahir ulama-ulama kaliber internasional yang berperan aktif dalam penyebaran ilmu pengetahuan sampai ke pelosok-pelosok negeri-negeri Islam.
Al-Azhar murni lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bersih dari unsur-unsur politik. Hal ini menambah keagungan lembaga tersebut. Keterlibatan segelintir alumni Al-Azhar dalam gerakan politik, ibarat setetes air di ujung jarum yang jatuh ke samudera lepas. Sama sekali tidak mengurangi kesucian al-Azhar sebagai lembaga ilmiah.
Melihat realitas al-Azhar yang demikian agung, naluri politik pengurus dan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bangkit untuk memanfaatkannya bagi kepentingan propaganda perjuangan mereka mendirikan Khilafah Tahririyah versi HTI.
Sangat jarang pengurus dan anggota Hizbut Tahrir yang mengenyam pendidikan di al-Azhar. Apalagi alumni al-Azhar yang mau bergabung dengan HT, sangat sangat sangat sedikit sekali.
Taqiyuddin an-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum, muassis dan Amir HT yang kedua alumni al-Azhar. Akan tetapi pemikiran mereka berdua jauh dari manhaj Azhari. Meski secara administrasi tercatat sebagai lulusan al-Azhar, secara pemikiran mereka berdua bukan Azhari.
Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi seorang anggota HT di Yordania. Sudah menjadi anggota HT sebelum mengambil S3 di Universitas Al-Azhar. Disertasinya tentang prinsip-prinsip sistem pemerintahan Islam tidak lebih dari sekedar “syarah” dari pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani. Secara administrasi dan metodologi ilmiah akademis, disertasi itu lulus, akan tetapi tidak mencerminkan pendapat lembaga Al-Azhar dan mayoritas alumninya tentang sistem pemerintahan. Adapun Amir HT yang sekarang Atha bin Khalil Abu Rusytah bukan alumni Al-Azhar.
Jadi, sama sekali tidak ada indikasi, jejak keterkaitan, persinggungan dan irisan pemikiran antara Al-Azhar dengan HT/HTI. Bahkan sangat bertolak belakang. Mayoritas alumni Al-Azhar menolak dan menentang pemikiran dan perjuangan HT/HTI.
Syabab HTI yang pernah belajar di Al-Azhar adalah almarhum Wahiduddin alias Asep Darmawan dan istrinya Mahbubah Aseri. Itu pun Wahiduddin hanya mengikuti halaqah-halaqah informal beberapa ulama di masjid Al-Azhar. Beliau tidak mengikuti kuliah formal di Al-Azhar. Sedangkan istrinya, dikatakan alumni Universitas Al-Azhar. Kedua suami istrinya pernah duduk di DPP HTI.
Di kalangan HTI, Wahiduddin dan istrinya yang pertama kali mendirikan lembaga konsultasi dan persiapan bagi orang-orang yang ingin menempuh pendidikan di al-Azhar Kairo, khususnya bagi anggota simpatisan atau anak-anak dari syabab HTI. Lembaga yang bernama HSG al-Mufasi yang didirikan pada tahun 2015. Sampai beliau wafat April 2017, sudah lebih 40 remaja yang siap diberangkatkan ke Al-Azhar (Media Umat, edisi 194/ 2017 hal. 22).
Ide mengirim kader dan calon-calon kader HTI ke Universitas Al-Azhar dilanjutkan oleh Hafidz Abdurrahman alias Mohammad Maghfur Wachid (Ketum HTI 2004-2010) melalui lembaga pendidikan Ma’had Syaraful Haramain. Kelas persiapan ke Al-Azhar menjadi program unggulan dari Ma’had yang didirikan oleh Hafidz Abdurrahman ini. Diharapkan, di masa yang akan datang, di Nusantara akan ada alumni-alumni Al-Azhar yang memperjuangkan Khilafah Tahririyah versi HTI.
Mereka yang diharapkan menjadi propagandis HTI di garis depan, masuk ke pesantren-pesantren dan komunitas ulama dengan embel-embel alumni Al-Azhar. Embel-embel itu membuat silau ulama yang apolitis dan orang-orang awam yang agamis. Seolah-olah Universitas al-Azhar setuju dan mendukung Khilafah Tahririyah versi HTI. [MZ]