Menyebarnya virus Corona atau Covid-19 di hampir seluruh belahan dunia mengharuskan World Health Organizatioan (WHO) menetapkan status pendemi global. Ini dikarenakan banyaknya kasus dan korban meninggal akibat karena Corona sedangkan titik terang untuk mengatasinya secara efektif juga belum ditemukan. Tidak terkecuali di Indonesia.
Hingga saat ini, di Indonesia jumlah orang yang terkonfirmasi positif terinveksi virus ini mencapai lebih dari 50.000 orang dan jumlah korban meninggal sekitar 2600-an orang.
Tentunya ini adalah hal yang sangat membahayakan untuk keberlangsungan hidup di Indonesia melihat dampak yang ditimbulkanya juga menyerang ke seluruh elemen kehidupan bangsa lebih-lebih ini menyangkut nyawa.
Para ahli kesehatan sebagai pihak yang mengerti secara mendalam tentang virus ini telah melakukan banyak hal demi terputusnya mata rantai penyebaran Corona. Mereka menjadi rujukan utama dalam penanganan kasus ini. Idealnya, hanya tim kesehatanlah yang berhak memberikan saran dan masukan kepada masyarakat bagaimana bersikap di tengah pendemi ini.
Namun sangat disayangkan, pihak lain yang sebenarnya tidak ahli di bidang kesehatan pun banyak ikut memberikan komentar. Diantaranya dari kalangan yang menyebut dirinya sebagai ulama.
Mereka dengan antusiasnya ikut mengomentari pandemi ini dengan perspektif yang dia kuasai sehingga terjadi kontroversi di masyarakat. Tentunya kita masih ingat ketika pertama kali virus ini mewabah di Wuhan, China. Salah satu ustadz di negara kita mengatakan bahwa Covid-19 adalah tentara yang dikirimkan Allah karena kedzaliman pemerintah China terhadap Muslim Uighur.
Kemudian, banyak pula ustaz yang mengajak dan memprovokasi jamaahnya untuk tidak mematuhi saran ahli kesehatan dan pemerintah untuk menerapkan Social Distancing sehingga mereka tetap mengadakan perkumpulan massa yang banyak baik berbentuk tabligh akbar, salat berjemaah di masjid, dan lain-lain.
Mereka ini berdalih umat islam tidak boleh takut pada virus corona, takutlah kepada Allah. Padahal, tercatat bahwa dalam kasus Jamaah Tabligh yang nekat menggelar acara Tabligh Akbar di Jakarta dengan tidak mengindahkan himbauan pemerintah, sebanyak 73 anggotanya teridentifikasi positif Corona.
Pun demikian dengan pandangan sebagian ulama yang terkesan menghakimi orang lain dan memprovokasi masyarakat, akhir-akhir ini menjelma sebagai pola pikir sebagian umat Islam di negeri ini.
Ayat-ayat tuhan dan hadis-hadis nabi dipelintir sebegitu rupa oleh para ulamanya untuk menjadi pembenar pendapatnya. Maka ketika bencana atau pandemi ini juga terjadi dikalangan keluarga mereka, mereka hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Seharusnya ini bisa dijadikan pelajaran agar tidak mudah menghakimi dan memprovokasi orang lain apalagi dengan membawa nama tuhan.
Di tengah masyarakat, ulama mempunyai peranan yang sangat penting dan nasihatnya sangat berpengaruh pada pola hidup mereka, apalagi di tengah pandemi ini. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei tentang profesi yang paling berpengaruh di Indonesia.
Hasilnya sosok ulama menjadi profesi yang paling berpengaruh di masyarakat. Ulama mengungguli profesi politikus yang hanya 11 persen. Disusul sejumlah profesi yang lebih kecil pengaruhnya di masyarakat seperti pengamat sebesar 4,5 persen, pengusaha sebesar 3,5 persen, akademisi sebesar 1,8 persen, aktivis LSM sebesar 1,7 persen dan artis terkenal sebesar 1,1 persen.
Sedangkan 24,7 persen memilih untuk tidak menjawab atau tidak tahu. Dari hasil survei ini bisa disimpulkan bahwa ulama lebih didengar, dipatuhi dan petuahnya lebih berpengaruh di masyarakat.
Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitab Ihyā’ Ulūm al-Dīn, mengatakan bahwasanya seorang yang bisa disebut ulama adalah orang yang tekun beribadah kepada Allah, menerapkan hidup tidak mencintai dunia (zuhud), berilmu tentang cara mendapatkan kebahagian di akhirat, mengerti segala hal yang menyangkut kemashlahatan umat dan ilmunya ditujukan hanya untuk Allah semata.
Kriteria ulama yang disebutkan al-Ghazali di atas kiranya sangat relevan untuk dijadikan pegangan masyarakat dalam mencari siapa ulama sebenarnya. Apalagi ditengah kondisi seperti ini. Masyarakat membutuhkan ulama yang dapat menenangkan dan menyejukkan hati agar tidak panik menghadapi pandemi ini.
Oleh karena itu, siapapun yang sudah dianggap ulama oleh masyarakatnya, seharusnya selalu berupaya menjadi ulama yang meneduhkan, menjadi sumber mata air di tengah kekeringan, memberi nasihat-nasihat yang menyejukkan dan memberi kenyamanan. Di tengah pandemi ini, peran ulama dan kebijaksanaanya dalam membaca keadaan dan realitas zaman sangat dibutuhkan masyarakat.
Seorang ulama harus bisa menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyatnya. Misalnya saat pemerintah beserta ahli kesehatan menerapkan protokol kesehatan mengenai Covid-19 demi terputusnya mata rantai virus ini, seorang ulama harus hadir untuk mendukung kebijakan ini demi kebaikan bersama.
Para ulama bisa memberikan pengertian dan nasihat yang baik kepada masyarakat tentang tujuan baik pemerintah. Bukan, sebaliknya yang justru memperkeruh suasana dan menghasud masyarakat untuk membenci pemerintah.
Para ulama, jika pengetahuanya terbatas pada bidang agama, sebaiknya tidak berkomentar di luar dari ranah yang dikuasainya, sehingga tidak memunculkan huru-hara dan kontroversi di masyarakat.
Seorang ulama senantiasa harus mengajak kepada masyarakat agar menjadikan momen ini sebagai sarana muhāsabah (intropeksi diri), bertaqarrub (mendekatkan diri) dan meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah.
Selain itu, ulama harus selalu berusaha mengajak umat agar selalu optimis, tetap berusaha, tidak putus berdoa kepada Allah dan memberi keyakinan kepada umat bahwa dibalik pandemi ini, Allah telah menyiapkan kejutan-kejutan yang luar biasa kepada hambanya. Wallahu a’lam… [AA]