Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Mampukah Manusia Memikirkan Allah Sekaligus Ciptaan-Nya?

4 min read

Ada sebuah hadits yang berbunyi: تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في ذات الله (Berpikirlah tentang ciptaan Allah; Jangan berpikir tentang esensi Zat Allah).

Ada beberapa hadits serupa dengan redaksi kalimat yang berbeda, tapi semuanya merujuk pada makna yang sama, yaitu larangan bagi manusia untuk memikirkan Zat Allah. Karena itu, ahli hadits menilai hadits ini sebagai hadits sahih karena berbagai jalur perawi saling menguatkan satu sama lain.

Al-Shan’any dalam kitab al-Tanwir fi Syarh al-Jami’ al-Shaghir menyatakan:

 وإنما نهى عن التفكر في ذاته تعالى لأنه لا تفكر إلا فيما يعرفه العبد ويعلمه، وقد تعالى الله سبحانه أن يحاط به علما

Intinya, larangan memikirkan zat Allah itu karena ilmu manusia itu hanya bekerja di wilayah yang bisa diketahuinya. Sehingga, tidak ada aktivitas pemikiran di luar jangkauan ilmu manusia. Sementara, esensi Allah tidak bisa digapai dan dideskripsikan oleh ilmu manusia.

Dalam arti bahwa Allah adalah zat yang tidak memiliki padanan dengan apapun di dunia ini. Akal manusia, sebagaimana makhluk lain, adalah terbatas. Sebagai bagian dari makhluk, akal manusia hanya bekerja dengan segala sesuatu yang bisa dikenali di dunia ini. Itulah mengapa Allah meminta manusia agar tidak memikirkan esensi-Nya karena memang itu di luar kapasitasnya.

Tapi, keinginan untuk mengetahui Allah rupanya tidak pernah habis. Manusia, dengan berbagai alasannya, selalu terobsesi untuk mengetahui siapa itu Allah. Bahkan, Ilmu kalam atau Teologi adalah satu disiplin ilmuan keislaman yang sejak awal mendedikasikan dirinya secara sadar untuk membahas keberadaan Allah. Mulai dari alasan keberadaannya sampai kepada sifat dan zat-Nya didiskusikan sangat intens dalam ilmu ini. Tidak mengherankan jika di dalam ilmu ini kita menemukan perdebatan tentang apakah Allah itu memiliki sifat; apakah sifatnya sama dengan zat-Nya; apakah zat Allah itu berwujud jism (badan wadag) seperti manusia; dsb.

Penjelasan al-Shan’ani di atas jauh mendahului penjelasan Immanuel Kant tentang wilayah kerja rasio manusia dan ketidakmungkinan rasio manusia mengetahui hal-hal yang berada di luar pengalaman inderawi, termasuk Tuhan. Kant membagi rasio manusia menjadi verstand dan vernunft. Verstand adalah rasio yang membuat putusan-putusan hukum ilmiah berdasarkan pengalaman inderawi. Di wilayah inilah sesungguhnya ilmu pengetahuan terjadi. Jadi, ilmu manusia hanya mungkin terjadi di wilayah pengalaman inderawi.

Baca Juga  Ketika Korlap Demo Malah Asik Bercanda dengan Presiden Gus Dur di Istana

Tapi rasio manusia terus-menerus ingin mengetahui sesuatu di luar pengalaman inderawi, termasuk ingin tahu tentang Allah. Keinginan manusia ini dilayani oleh vernunft. Di wilayah ini sepenuhnya adalah intelek murni. Tidak ada pengalaman inderawi apapun. Karena pengetahuan manusia hanya ada di wilayah fenomena, maka apapun dengan ide yang ada di vernunft, ia tidak menambah pengetahuan manusia.

Sekarang mari lihat capaian ilmu manusia. Dimulai dari penemuan roda sejak empat ribu tahun SM, sains dan teknologi manusia kini mencapai tahap yang bahkan tak terkirakan oleh manusia itu sendiri. Penemuan mesin uap mengantarkan manusia pada Revolusi Industri (1760) di mana manusia mampu menghasilkan barang jauh lebih banyak dan bergerak jauh lebih cepat dengan tenaga yang jauh lebih sedikit.

Sains dan teknologi terus bergerak. Manusia menemukan listrik, telegraf, telephon, radio, mesin jet, komputer, dsb. Yang paling hebat dari penemuan manusia modern adalah penemuan atom, pembelahan inti atom, dan fusi nuklir. Melalui penemuan mesin jet, manusia mulai menjelajahi luar angkasa. Gen manusia telah diketahui dan karenanya bisa direkayasa. Bahkan kini manusia telah berhasil mengidentifikasi tiga juta unit kimia dalam DNA manusia.

Di awal abad ke-21, manusia mulai mengembangkan riset komputer kuantum, terapi gen, teknologi nano, dsb. Setelah berhasil mengirim Neil Armstrong dan Edwin Aldrin ke bulan pada 20 Juli 1969, kini manusia telah berhasil mengirim pesawat non-awak ke Mars. Bahkan, NASA dan ESA sedang menyiapkan mengirimkan manusia ke Mars di tahun 1930-an. Tak mau ketinggalan, perusahaan Breakthrough Initiative juga tengah mempersiapkan mengirim pesawat pertama ke bintang lain dengan membawa berbagai chip yang sanggup menerima beragam gambar dari sistem Proxima Centauri, pada tahun 1930-an.

Capaian peradaban manusia tentu sangat mengagumkan. Tapi apa yang dicapai oleh manusia itu hanyalah sebuah debu. Bahkan di dalam tata surya kita sendiri, bumi yang dihuni oleh manusia hanyalah sebutir kelereng kecil mungil jika dibandingkan dengan matahari yang menjadi pusatnya.

Baca Juga  Catatan untuk Kritikus Imam al-Ghazali dan Kitab Ihya’
Posisi Bumi Perbandingan Bumi dengan Matahari

Sementara, tata surya kita hanyalah anggota dari gugusan ratusan milyar tata surya lain dalam Galaksi Bima Sakti. Dalam Gakasi Bima Sakti, matahari kita hanyalah sebuah debu. Lalu, di mana bumi kita? Hanya bisa dideteksi tempatnya, tapi sudah tak terlihat lagi, sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Posisi Bumi dalam Galaksi Bima Sakti

 

 

Jadi, kalau manusia baru bisa sampai ke bulan dan sedang mempersiapkan mengirim manusia ke Mars, itu sama sekali bukan apa-apa jika dilihat keluasan jagad raya. Diperkirakan terdapat ratusan triliun galaksi di jagad raya. Di bawah ini adalah penampakan satu sudut pandang alam semesta.

physicsworld.com

Titik-titik cahaya pada gambar di atas bukanlah bintang, tapi galaksi. Galaksi yang sedemikian besarnya hanya terlihat setitik cahaya di dalam luasnya alam semesta ini. Sekedar ilustrasi, Galaksi Bima Sakti diperkirakan memiliki diameter 200 ribu tahun cahaya. Kecepatan cahaya adalah 299.793 kilometer per detik atau 300 ribu kilometer per detik. Dengan kecepatan seperti itu, cahaya membutuhkan waktu sekitar 200 ribu tahun untuk melintasi diameter sebuah Galaksi. Lalu, bagaimana dengan bumi? Tidak lagi terlihat. Bumi dalam keluasan alam semesta ibarat pecahan atom di bumi. Lalu manusia? ibarat pecahan dari pecahan dari pecahan inti atom.

Dengan membandingkan keluasan alam semesta, apa yang dicapai manusia ibarat semut yang melata sejauh satu kilometer di atas bumi. Jika pun manusia bisa mencapai Mars, jarak bumi ke Mars HANYA 62.069.570 kilometer. Lalu, bagaimana mungkin ilmu manusia bisa menggapai Allah, sedang untuk memikirkan ciptaan-Nya saja perkembangan sains dan teknologi manusia yang paling canggih saat ini hanyalah seperti semut yang terbang sejauh 80 km. Tentu saja ini jarak yang cukup jauh di mata kaum semut. Tapi itu sama sekali tak bernilai jika dibanding dengan luas permukaan bumi yang mencapai 510,1 juta kilometer.Belum lagi jika kita mempertimbangkan bahwa alam semesta terus mengembang.

Baca Juga  Alif dan Mim (11): Hmm.. Harus Bagaimana Lagi, Aku Tak Tahu

Menjadi semakin rumit karena ada kemungkinan alam semesta ini tidak hanya satu tapi banyak (multiverse). Jika memang alam semesta yang luasnya hampir tak terbatas ini bersifat multiverse, maka bumi, tata surya, dan galaksi sudah tidak akan terlihat lagi. Mereka ibarat partikel terkecil layaknya partikel foton atau atom yang tak mungkin dilihat oleh penglihatan manusia.

Mempertimbangkan kemungkinan multiverse (alam semesta jamak), pertanyaannya adalah apakah hukum alam yang ada di alam lain sama dengan hukum alam yang ada di sini? Jika manusia memahami alam berdasarkan hukum alam yang berlaku di semesta di mana mereka hidup, sedang hukum itu tidak berlaku di semesta lain, tentu rasio, sains dan teknologi manusia tidak berfungsi di semesta lain.

Dalam pengertian ini pula manusia tidak mungkin bisa memahami esensi zat Allah. Bukan semata-mata karena maha kecilnya manusia dan Maha Bersanya Allah, tapi juga karena cara berpikir manusia yang sepenuhnya terikat dengan hukum yang bekerja di semesta di mana manusia tinggal. Cara berpikir ini tidak mungkin diterapkan untuk mencandera Zat yang sepenuhnya tidak sama dengan semesta ini.

Misalnya, hukum sebab akibat seringkali digunakan untuk menjelaskan keberadaan Allah. Padahal hukum sebab akibat itu sepenuhnya disimpulkan rasio manusia dari berbagai kejadian yang ada di alam semesta sebagaimana yang mereka inderai. Padahal, hukum yang dianggap paling mendasar ini hanyalah cara manusia untuk memahami semestanya. Dengan hukum itu, manusia menciptakan peradabannya hingga saat ini dengan seluruh capaian sains dan teknologinya.

Pertanyaannya, dengan jaminan apa bahwa hukum ini berlaku di semesta lain? Jika hukum ini tidak berlaku di semeta lain, bagaimana mungkin kita akan menerapkannya pada Allah. Rasio kita tidak mungkin sanggup memahami esensi Allah berdasarkan hukum-hukum rasio yang kita turunkan dari pengalaman inderawi kita atas alam semesta kita ini. Jangankah kepada Allah, rasio, sains dan teknologi yang dimiliki manusia saat ini saja tidak bisa digunakan untuk memahami semesta lain yang hukumnya berbeda dengan hukum yang berkerja di semesta ini.[mmsm]

Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo