Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Catatan untuk Kritikus Imam al-Ghazali dan Kitab Ihya’

3 min read

Source: http://www.albiladpress.com/
Source: http://www.albiladpress.com/

Jamak diketahui bahwa sufisme dan pemikiran Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) banyak diserang oleh kelompok Salafi. Bahkan Salafi kontemporer cenderung berusaha menghidupkan kembali kebiasaan lama menyerang al-Ghazali. Yang diserang adalah karya-karya al-Ghazali seraya mengajukan argumen untuk menentang pandangan-pandangannya.

Serangan hebat kaum Salafi biasanya berurusan dengan masterpiece al-Ghazali, Ihyā’ Ulūm al-Dīn [Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama], karena kitab ini petunjuk amat penting terutama dalam pemikiran sufisme mazhab Sunni.

Kesuksesan dan sangat besarnya jumlah pembaca karya ini telah membuat panik para musuh tasawuf. Bahkan, ada sebagian kalangan yang kelewatan menyatakan bahwa al-Ghazali dalam keadaan gila ketika menulis kitab ini. Sebagian lagi, ulama anti-sufi mencela lebih jauh terhadap kitab ini.

Cercaan beberapa ulama dan kelompok antisufi terhadap kitab Ih’ pun dibantah oleh Salāh al-Dīn al-Safadī [w. 764 H], murid Abu al-Hayyān al-Andalūsī, dalam karya biografisnya yang berjudul al-Wāfī bi al-Wafāyāt. Ia menyatakan:

Kitab Ih’ termasuk di antara kitab yang paling agung sampai ada yang mengatakan, “apabila semua kitab tentang Islam telah hilang dan yang tertinggal hanya Ihyā’, maka cukuplah kitab itu menggantikan semua yang hilang. Kritikus al-Ghazali menyebutkan beberapa hadis dalam kitab ini yang dianggap tidak sahih, tetapi di sisi lain, mereka membiarkan hadis-hadis serupa yang terdapat dalam karya-karya lain tentang anjuran kepada kebaikan dan pencegahan dari keburukan (al-targhīb wa al-tarhīb). Bagi al-Safadī, kitab ini tetap bertahan sebagai kitab yang sangat bernilai [al-Safadī, al-Wāfī bi al-Wafāyāt, Vol. 1, 274-277].

Salah satu kritikus tervokal adalah Ibn al-Jauzī yang juga meremehkan kaum sufi. Ia menyerang habis-habisan kitab Ihyā’ di empat kitabnya: I‘lām al-Ahyā bi Aghlat al-Ihyā’, Talbīs Iblīs, Kitāb al-Qussās wa al-Mudzakkirīn, dan kitab sejarahnya al-Muntazham fī Tārīkh al-Mulūk wa al-Umam.

Secara umum, kalangan yang ingin merendahkan kaum sufi biasanya juga memanfaatkan kitab Talbīs Iblīs dengan mengutip pernyataan Imam Syafii yang mencela kaum sufi dan perkataan Imam Ahmad yang mencela al-Hārits al-Muhāsibī. Apa yang dihujatkan Ibn al-Jauzi terkait kritik hadis daif dalam Ihyā’ juga dilakukan sendiri olehnya.

Baca Juga  Benarkah Masjid Tempat Selamat dari Penularan Covid-19? [Bagian 1]

Syeikh Abd al-Fattāh Abu Ghuda, muhaddits kontemporer asal Suriah, perlu kita pertimbangkan kritiknya terhadap Ibn al-Jauzi. Ia menyatakan:

Ibn al-Jauzi menulis kitab besar tentang hadis-hadis yang dipalsukan (mawdhū’), agar para fukaha, dai, dan lainnya meninggalkan hadis palsu tersebut. Anehnya, dia sendiri mengutip dalam karyannya yang bersifat peringatan (tarhīb) hadis-hadis palsu dan kisah-kisah yang ditolak tanpa rasa malu dan pertimbangan. Pada akhirnya, seseorang akan merasakah dualitas dalam pemikirannya, kadang menolak dan kadang menerima. Sangat tidak konsisten. [Catatan Ghuda ini dapat dilihat dari komentarnya atas kitab al-Raf’u wa al-Takmīl karya al-Luknawī]

Karena alasan ini pula, Ibn al-Atsīr mencelanya dalam buku sejarahnya, al-Kāmil fī al-Tārīkh. Dia menegaskan: Ibn al-Jauzi mencela al-Ghazali karena banyak hal, di antaranya karena ia menyampaikan hadis-hadis yang tidak sahih dalam karyanya. Sungguh mengherankan Ibn al-Jauzi mengecamnya karena alasan itu! Sebab, kitab-kitabnya sendiri juga karya lain dari genre targhīb dan tarhīb dijejali hadis-hadis seperti itu (masyhuwwun bihi wa mamlū’un minhu). [al-Kāmil fī al-Tārīkh, Vol. 10, 228]

Sebagian pandangan Ibn al-Jauzi selaras dengan pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, al-Dzahabi. Dasar pandangan mereka adalah karena al-Ghazali banyak menggunakan hadis daif. Sebenarnya kritik mereka hanyalah pertanyatan yang dibesar-besarkan, mangingat baik al-Hāfiz al-Irāqī [w. 806 H] maupun al-Hāfiz al-Zabidī [w. 1205 H] menghafal hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ih’ dan tidak mempertanyakannya.

Sebaliknya, keduanya mengapresiasi keberadaan kitab tersebut yang dapat diambil manfaatnya oleh umat Islam. Keduanya mengungkapkan komentar yang baik tentang kitab itu, dan mempromosikan sebagai kitab pegangan yang dapat dipercaya untuk meningkatkan kemajuan rohani.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Tāj al-Dīn al-Subkī, al-Ghazali tidak berlebihan dalam mempergunakan hadis. [al-Subkī, Tabaqāt al-Sūfīyah, Vol. 4, 179-184].

Baca Juga  Jumatan Sendirian di Rumah Itu Bisa Dilakukan

Penting untuk dicatat, kebanyakan ahli hadis membolehkan penggunaan hadis daif dalam berbagai persoalan “selain penetapan masalah hukum”. Misalnya, para ahli hadis yang tak terhitung banyaknya, dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan hadis daif untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan.

Harus dipahami pula bahwa al-Ghazali menyertakan semua bahan yang berguna untuk mencapai sasaran pendidikannya. Ia memilih hadis berdasarkan pertimbangan isinya daripada rangkaian periwayatannya. Bagian terbesar kitab Ihyā’ memuat kutipan dari Alquran, hadis, dan perkataan para ulama. Sedangkan pandangan ijtihadiah al-Ghazali tidak lebih dari 35% dari keseluruhan konten kitab Ihyā’.

Terakhir yang perlu dicatat, dari keseluruhan hadis yang dikutip al-Ghazali, sebagian besarnya adalah hadis yang sanadnya kuat.

Sebagai kesimpulan—sebagiamana dinyatakan oleh al-Safadī—kitab Ihyā’ termasuk jenis karya targhīb atau etika dengan menyampaikan prinsip-prinsip tasawuf. Autentisitas ragam dalil yang dikutip tidak harus ketat layaknya kitab mengenai akidah dan fikih. Penerapan kriteria yang sama untuk karya-karya tasawuf sama saja dengan membandingkan apel dengan jeruk.

Karena itu, kritik terhadap Ihyā’ Ulūm al-Dīn yang menekankan pada hadis-hadis daif yang dikutip di dalamnya adalah tidak tepat. Pula tidak tepat kritik serupa terhadap karya-karya targhīb semacam Ihyā’, sebagaimana kritik membabibuta yang disampaikan al-Dzahabī dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abū Thālib al-Makkī.

Nasihat al-Ghazali kepada kita, “berpikir baiklah [tentang kaum sufi] dan jangan menyimpan keraguan dalam hatimu” [al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalāl]. Atau nasihat Ibn Hajar al-Haytsamī: “Buruk sangka terhadap mereka [kaum sufi] merupakan tanda kematian hati” [al-Fatāwā al-Hadītsīyah]

Langkah terbaik adalah mengambil manfaat yang terdapat dalam karya para sufi dengan hati yang bersih sembari tetap menghormati mereka. Sesungguhnya mereka adalah kelompok kecil di tengah masyarakat; dan dari sisi pengetahuan, mereka adalah menara yang tinggi menjulang melebihi kebanyakan orang. Jangan mencari-cari perbedaan pandangan di antara para ulama dan hormatilah mereka yang nerbicara tentang Allah. Wallah A‘lam

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya