Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Indonesia di Mata Gus Dur (2)

1 min read

Sebelumnya:  Indonesia di Mata Gus Dur (1)

Gus Dur dan Indonesia

Untuk memahami cara pandang Gus Dur tentang Indonesia, pertama yang perlu dilihat adalah pandangannya tentang hubungan Islam dan negara. Di dalam tulisan “Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?” (1983), Gus Dur menjelaskan bahwa Islam tidak memiliki teori kenegaraan yang komplet dan detail yang bisa diperhadapkan dengan teori kenegaraan lain.

Islam tidak memiliki doktrin apapun tentang negara. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad lebih berkarakter sebagai tindakan moral daripada tindakan politik. Bahkan jika pergantian kepemimpinan adalah satu isu penting dalam sistem kenegaraan, Nabi Muhammad bahkan tidak pernah menformulasikan secara jelas mekanisme suksesi.

Di mata Gus Dur, Islam hanya pemberi warna/karakter sebuah negara, bukan dari sisi formal ajaran, tapi dari esensi. Islam berfungsi sebagai pemberi inspirasi dalam pengelolaan negara dan penformulasian hukum-hukum yang manusiawi.

Dengan mendudukkan Islam bukan sebagai alternatif, Gus Dur hendak menyatakan bahwa Islam adalah salah satu kebaikan dari banyak kebaikan yang dikandung bangsa Indonesia. Dari keragaman ini, bangsa Indonesia perlu duduk sederajat untuk menentukan kebaikan bersama. Dalam posisi sederajat ini, Islam bisa menjadi salah satu inspirasi, bukan aspirasi tunggal yang menyingkirkan kelompok lain.

Gus Dur dan Pengembangan Kebudayaan Islam

Dengan pendekatan seperti ini, jelas Gus Dur memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal bagaimana kebudayaan Islam harus berkembang di Indonesia. Di dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Kebudayaan islam di Indonesia” (2001), dia membagi dua strategi: formalisasi dan pribumisasi.

Strategi formalisasi menekankan pada tampilan simbol-simbol Islam. Tampilnya simbol-simbol Islam menunjukkan superioritas Islam di depan kelompok lain. Dalam strategi ini, Islam didudukkan sebagai alternatif. Islam berusaha mengganti kebudayaan Indonesia yang dianggap tidak Islami. Dalam strategi formalisasi inilah kita bisa menemukan istilah-istilah Arab menggantikan berbagai istilah lokal yang selama ini sudah ada, misal, milad sebagai pengganti ulang tahun, ikhwan sebagai pengganti saudara, dsb.

Baca Juga  Jangan Menjadi Ustaz Palsu

Sementara, strategi pribumisasi adalah mendudukkan Islam sebagai partner dialog dengan kebudayaan lokal. Agama dan budaya tidak saling mengalahkan. Keduanya bisa saling belajar dan mengambil. Keabadian pesan Islam diungkapkan dalam kerangka dan simbol-simnol budaya lokal. Strategi pribumisasi tidak risih dengan istilah kyai, pesantren, surau, tuan guru, perlu (fardhu), dsb. Sementara dari sisi kesenian, strategi kedua ini melahirkan seni rebana, seudati, jipin, hikayat, dsb.

Tentu saja, di antara dua strategi di atas, Gus Dur menempatkan dirinya dalam kubu pribumisasi. Bahkan, Gus Dur sendirilah yang menjadi wakil par exellence dari strategi yang kedua itu.

Di tulisan yang lain, “Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” Gus Dur dengan sangat tegas menyatakan bahwa:

“Kesadaran berbangsa sebagai penggerak utama (prime mover) bagi cita-cita kehidupan kita sebagai sebuah bangsa adalah sesuatu yang harus diterima sebagai fakta objektif yang tuntas. Islam tidak boleh mendaku dirinya sebagai pemberi warna tunggal atau pengganti alternatif, tapi ajaran Islam seharusnya menjadi faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, bukan faktor tandingan yang berfungsi disintegratif”

Sampai di sini, jelas sekali perbedaan Gus Dur dengan kelompok formalis yang obsessif dengan negara Islam. Bagi Gus Dur, keberadaa kita sebagai sebuah bangsa dengan seluruh keragamannya adalah kenyataan objektif. Pancasila bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada seakan bangsa kita mengalami halusinasi massal. Pancasila lahir dari kenyataan objektif bahwa kita merasa sebagai sebuah bangsa yang terikat oleh kesatuan nilai, sejarah dan cita-cita.

Dalam konteks ini, maka Islam tidak seharusnya meletakkan dirinya sebagai kekuatan superior yang hendak menghapus keragaman bangsa. Jika Islam meletakkan dirinya seperti itu, maka Islam akan menjadi kekuatan disintegartif. Islam bisa menjadi menjadi inspirasi, bukan aspirasi; Islam adalah faktor komplementer, bukan alternatif yang menyingkirkan kelompok lain. (MMSM)

Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian