KH. Ahmad Ishomuddin Rais Syuriah Nahdatul Ulama; Dosen UIN Raden Intan Lampung

Jangan Menjadi Ustaz Palsu

2 min read

Untuk mempelajari ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna saja tidaklah mudah karena membutuhkan kecerdasan yang harus terus menerus diasah, selalu merasa haus akan ilmu, kesabaran, bekal yang cukup, arahan dari para guru, dan memerlukan waktu yang lama.

Apalagi untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ilmu agama, pastilah tidak mudah karena banyaknya syarat yang wajib dipenuhi, yang untuk memenuhinya harus melalui proses yang panjang dan tidak mudah. Tentu saja menyebarluaskan ilmu agama yang benar tidak semudah membalik telapak tangan.

Seorang yang benar-benar berilmu agama mendalam (‘alim) yang dalam waktu sangat lama pernah menuntut ilmu agama kepada para ulama spesialis pada bidang ilmu agama tertentu, seperti aqidah, ‘ulum al-tafsir, tafsir, musthalah al-hadits, hadits, ushul al-fiqh, al-qawā’id al-fiqhiyyah, fiqh, muqāranat al-madzāhib al-fiqhiyyah, tārikh al-tasyrī’ al-islāmī, perbandingan agama (muqāranat al-adyān), akhlak/tasawuf, dan sebagainya biasanya tidak tertarik untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bersifat instan dan tidak mendalam, apalagi jika ceramah itu disampaikan oleh “ustaz” abal-abal yang tentu tidak jelas spesialisasi ilmunya dan tidak dikenali kualitasnya.

Mereka yang berilmu agama mendalam itu tidak mudah tertarik sehingga tidak mudah ditipu oleh “para ustaz palsu” yang tak berilmu, yang hanya pandai melucu dan menipu itu, tidak sebagaimana kaum awam yang gampang terpesona oleh penampilan mereka yang seolah-olah adalah ulama besar dari Arab.

Bilamana ilmu agama disampaikan secara hati-hati, bertahap, dan proporsional oleh para spesialis di bidangnya, tentulah tidak terjadi kekacauan dalam jiwa, pikiran, dan perilaku sebagian umat beragama. Pada manusia yang beragama dengan benar, agamanya tidak akan dijadikan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan, agamanya tidak dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan setiap tindak kekerasan, diskriminasi maupun saling benci antar-siapa saja yang identitasnya berbeda, dan tidak pula dipertukarkan dengan materi-materi duniawi.

Baca Juga  Efektivitas Edaran Covid-19

Orang yang beragama dengan benar, akalnya akan mengikuti ilmu agamanya yang benar untuk menundukkan hawa nafsunya sendiri, sehingga sikap keberagamaannya lebih rasional, lebih manusiawi, membawa manfaat, mengarahkan pada kemajuan, menebarkan kasih sayang, dan mengupayakan terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia, mencapai kebahagiaan abadi di akhirat nanti, dan terhindarkannya umat manusia dari segala mara bahaya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Hendaknya setiap kita menyadari akan kadar keilmuan agama yang dimiliki, sehingga yang benar-benar belum tahu ilmu agama wajib belajar kepada para ulama yang sesungguhnya, sedangkan siapa yang telah menguasai ilmu agama dengan sempurna (ulama yang sesungguhnya) berkewajiban untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya.

Yang demikian itu agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan beragama karena yang sebenarnya tidak berilmu dipercayai ceramah agamanya sebagai sebuah kebenaran yang diikuti dengan penuh fanatisme oleh kalangan awam, padahal pada hakikatnya ia sesat dan menyesatkan.

Boleh jadi niatnya baik, namun disayangkan ilmu agamanya belum memadai, sehingga apa yang disampaikan dalam ceramah agamanya, terburu-buru menjawab setiap pertanyaan tanpa dasar ilmu, itu semua hanyalah karena dorongan-dorongan hawa nafsunya, atau bahkan didorong oleh motiv rendahan (duniawi) semata.

Kiranya patut kita renungkan nasehat ulama terdahulu di bawah ini agar setiap orang beragama di negeri kaum beragama ini mau menyadari batas kadar dirinya, agar tidak melampaui batas, sehingga tidak tertipu oleh perasaannya sendiri yang merasa mulia di hadapan sesamanya karena merasa pandai berceramah agama.

Padahal sebaliknya  ia sebenarnya amat hina dalam pandangan Tuhannya dan rendah pula derajatnya di hadapan para ulama yang sesungguhnya, karena menyebarkan “ilmu agama” sebelum ia mengetahui dan menyempurnakan ilmu dengan sebenar-benarnya.

Baca Juga  Empat Macam Bunuh Diri dalam Sosiologi Emile Durkheim

Ibnu Abi al-‘Awwam meriwayatkan dari al-Thahawi dari Muhammad bin al-Hasan bin Mirdas dari Abi Bakrah al-‘Aththar dari Abi ‘Ashim al-Nabil, ia berkata, Ibnu al-Hudzail berkata,

من قعد قبل وقته ذل، يعني من جعل لنفسه مجلسا خاصا لنشر العلم قبل أن يتكامل في العلم فضحته شواهد الإمتحان وتكشف جهله بأخطائه في أجوبة المسائل. وكم من ناشئ يعتريه الغرور فيظن بنفسه الإستغناء عن أستاذه، فيستقل بمجلس في العلم قبل أوانه ثم يعود إلى رشده فيرجع إلى ملازمة شيخه (البدور المضية في تراجم الحنفية ج ٨ ص ١٧)

“Barang siapa yang duduk (mengajarkan ilmu) sebelum waktunya, ia hina, yakni siapa saja yang menjadikan untuk dirinya satu majlis khusus untuk menyebarkan ilmu sebelum sempurna ilmunya, maka kesalahan-kesalahannya akan diperlihatkan oleh para saksi dalam suatu ujian, disingkapkan kedunguannya oleh beberapa kekeliruan dalam menjawab berbagai masalah. Berapa banyak pemuda yang tertipu oleh perasaannya sendiri, ia menyangka bahwa dirinya tidak lagi membutuhkan (ilmu, petunjuk, atau arahan) dari gurunya, sehingga ia secara mandiri berada di majlis ilmu sebelum tiba saatnya, kemudian ia tersadar, lalu ia kembali mengikuti guru (syaikh)-nya.”

KH. Ahmad Ishomuddin Rais Syuriah Nahdatul Ulama; Dosen UIN Raden Intan Lampung