Saya sudah lupa tahunnya. Mungkin 1999 atau 2000-an awal. Siang itu, saya berdesak-desakan di antara banyak pengunjung yang hadir di kantor Averroes Malang untuk mengikuti diskusi di mana narasumbernya adalah Kiai Muchit Muzadi (alm.). Banyak hal yang sudah saya lupa tentang materi diskusi saat itu, tapi ada dua hal yang sampai sekarang masih saya ingat: Relasi Gus Dur-NU dan fenomena “mendadak Islam” yang banyak menghinggapi kalangan terdidik kota. Nah, saya ingin mengawali tulisan ini dengan fenomena “mendadak Islam” itu.
Di kesempatan itu, Kiai Muchit berkisah bahwa suatu hari ia didatangi oleh seorang mahasiswa yang katanya ingin belajar Islam yang “benar”. Dari gayanya saja (“ingin belajar Islam yang benar”) sudah bisa ditebak dia berasal dari komunitas apa. Ya…kurang lebih komunitas yang sekarang terkenal dengan sebutan “komunitas hijrah” atau yang sejenisnya.
Kiai Muchit menyarankan kepada si mahasiswa tadi untuk ikut ngaji Ihya’ Ulum al-Din, salah satu kitab penting dalam kajian Islam yang ditulis oleh salah seorang ulama besar, Imam al-Ghazali. Si mahasiswa tadi menolak. Alasannya, dia tidak ingin belajar Islam menurut versi al-Ghazali. Dia ingin belajar Islam yang benar. Islam yang dikehendaki Allah dan diajarkan Rasulullah.
Lalu, Kiai Muchit bertanya, bagaimana caranya belajar Islam seperti itu? Si mahasiswa menjawab bahwa dia ada bukunya. Kiai Muchit kemudian meminta mahasiswa itu untuk membawa buku yang dimaksud. Beberapa hari kemudian, si mahasiswa itu datang lagi ke rumah Kiai Muchit sambil membawa buku “memahami Islam sesuai kehendak Allah dan Rasulullah” (jangan salah paham, ini bukan judul bukunya. Seingat saya, Kiai Muchit juga tidak menyebut judul bukunya).
Setelah dilihat, Kiai Muchit terperangah sekaligus jatuh kasihan kepada mahasiswa itu. Ternyata, buku yang disebut sebagai sumber “memahami Islam sesuai kehendak Allah dan Rasulullah” adalah buku Islam terjemahan yang ditulis oleh orang yang bahkan reputasi keilmuannya saja tidak terakui di kalangan para ulama.
Tentu saja Kiai Muchit kasihan. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa, elit terdidik, bisa sejauh ini sesat pikirnya. Dia menolak belajar Islam pada al-Ghazali, seorang ulama top yang bahkan kehebatannya dalam ilmu Islam sampai ia digelari hujjat al-Islam (pembela Islam) oleh para ulama. Tapi kemudian lari kepada buku-buku Islam terjemahan hanya karena di dalamnya ada “iklan ngecap” bahwa buku itu berisi pemahaman Islam sesuai dengan yang dikehendali Allah dan Rasul-Nya.
Ironi! Seorang kiai pesantren seperti Kiai Muchit menyadari bahwa kebenaran ilmiah harus disandarkan pada sumber-sumber otoritatif. Sumber otoritatif itu adalah kepakaran seorang ilmuwan yang diakui oleh masyarakat ilmiah. Mestinya, “anak sekolahan” jauh lebih mengerti ini, karena kalau menulis karya ilmiah harus mencantumkan penelitian terdahulu dan setiap klaim keilmuan harus disertai dengan sumber rujukan.
Sumber rujukan yang dikutip menjadi salah satu penilaian penting apakah sebuah karya ilmiah itu berboboit atau tidak. Masak cara berpikir seperti ini saja dia harus di-jlentrehkan oleh seorang kiai. Gitu kok ngaku intelektual!
Mengingat cerita almarhum Kiai Muchit itu menyadarkan saya betapa banyaknya orang yang “mengaku dan bergaya” intelektual, tapi cara berpikirnya seperti si mahasiswa “mendadak Islam” itu tadi. Yang saya bicarakan di sini bukan tentang fenomena “mendadak Islam”, tapi fenomena anti-vaksin.
Bagaimana seorang intelektual menolak otoritas WHO, IDI, dan berbagai asosiasi kedokteran nasional dan internasional lain dalam masalah vaksin, tapi mempercayai penulis novel konspiratif, penggebug drum, ocehan Grup WA, bahkan obrolan sok tahu dari orang-orang yang sama sekali tidak memiliki otoritas keilmuan di bidangnya.
Bagaimana ada intelektual yang mengabaikan jutaan bukti kematian karena inveksi virus Corona dengan indikasi yang sama, yang terbuka untuk ditest oleh masyarakat ilmiah di bidangnya, tapi memegangi secara kukuh sampel minor dengan jumlah yang sangat kecil, yang dalam prosedur ilmiah bisa dianggap sebagai deviasi.
Kalau ada yang masih ngeyel dengan mengatakan bahwa seluruh temuan ilmiah besifat subjektif, yang itu berarti bisa salah. Ini bukan hal baru, Dul! Bahkan para ilmuan eksakta (ilmu pasti) juga mengakui bahwa kebenaran ilmiah bersifat subjektif. Saya hanya ingin bertanya kepadanya, mengapa probabilitas kesalahan diletakkan pada kesimpulan yang disandarkan kepada sampel terbanyak, bukan kepada sampel minor? Jawabannya adalah sejak awal sudah terjadi sesat pikir di kepalanya.
Inilah bahayanya sesat pikir. Dalam kasus “mendadak Islam”, otoritas keilmuan seorang ulama diingkari, tapi beralih ke buku-buku Islam terjemahan. Dalam kasus Covid-19, otoritas medis diingkari dan beralih ke informasi-informasi konspiratif. Keduanya menghancurkan ilmu, dan membahayakan kemanusiaan.[mmsm]