Lola Loveita Senior Program Officer HAM & Demokrasi INFID

Bayangkan, Apa yang akan Terjadi jika Pemuda Terradikalisasi!

2 min read

Pembicaraan tentang pemuda dalam kaitannya dengan ideologi radikalisme dan terorisme kekerasan telah menghangat di tahun-tahun terakhir. Pembicaraan tentang pemuda dianggap urgen karena peran pentingnya di masa depan. Apa yang akan dituai sebuah bangsa di masa depan ditentukan pada bagaimana generasi mudanya saat ini. Tema ini menjadi semakin penting jika kita mengingat bahwa pada 2018, sekitar seperempat dari total penduduk Indonesia terkategori generasi muda.

Data-data menunjukkan bahwa proses radikalisasi pemuda banyak diperantarai oleh media sosial. Kelompok pemuda adalah kelompok penduduk dengan penetrasi internet tertinggi. Sebuah  survei  yang dilakukan oleh CSIS pada 2017 menunjukkan bahwa  kaum  muda  adalah penikmat media sosial yang  sangat tinggi (87%).  Temuan yang sama juga terlihat dalam survey The Wahid  Faundation, bahwa kaum muda adalah pengguna media sosial sangat intensif, seperti Instagram,  twitter,  facebook,  dan linkedin. Data Kemnaker RI 2018 juga menunjukkan bahwa total 90,61 persen anak muda menggunakan internet untuk beraktivitas di media sosial.

Media sosial memiliki pengaruh besar terhadap persepsi pemuda akan suatu isu. Ini bisa bermanfaat, tapi juga berbahaya, terutama jika media sosial menjadi sarana penyebaran ideologi-ideologi yang mengarah pada radikalisasi maupun ekstremisme kekerasan. Sayangnya, data-data menunjukkan memang itulah yang terjadi.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan ada 814.594 situs internet berkategori negatif, termasuk konten radikalisme yang telah diblokir dari 2010 sampai 2015. Bahkan pada 2016 saja Kemenkominfo telah memblokir 773 ribu situs (Alius, 2017). Sebagaimana yang dinyatakan Sulfikar (2018;78-79), media online, media sosial, dan berbagai portal online lain menjadi faktor penting dalam lahirnya radikalisme di Indonesia. Media-media ini menjadi alat dalam penyebaran ideologi  kekerasan  dan  ujaran kebencian. Aplikasi media sosial seperti  Facebook , Twitter,  YouTube,  dan  aplikasi berbagi pesan dalam format beragam tetapi cenderung bersifat personal seperti Telegram dan WhatsApp adalah saluran komunikasi massa yang menjadi pilihan dalam penyebaran ideologi radikal.

Baca Juga  Mengaji Dengan Baik Sebagai Suatu Tindakan Mengikis Ekstremisme

Karena itu, tidak mengherankan jika media sosial memiliki pengaruh besar dalam proses radikalisasi di kalangan anak-anak muda. Kaitan ini terlihat jelas baik dalam berbagai pemberitaan media maupun hasil penelitian beberapa lembaga. Salah satu penelitian yang mengungkap kaitan antara media sosial dengan radikalisasi di kalangan anak muda adalah penelitian yang dilakukan Pusat Studi  Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini menemukan bahwa bahwa media sosial Islam didominasi oleh narasi-narasi kebencian. Yang menyedihkan lagi adalah bahwa pengakses terbesarnya adalah anak-anak muda (Qadir 2016).

Di media sosial, anak-anak muda menjadi korban kampanye ideologi-ideologi kekerasan. Anak-anak muda yang sudah terpapar ideologi kekerasan ini akhirnya menjadi pelaku yang turut menyebarkannya juga. Misalnya, kasus bom bunuh di Kantor Polrestabes Medan pada November 2019.  Pelakunya, Rabbial Muslim Nasution, adalah seorang pemuda yang berasal dari lingkungan agamis moderat. Radikalisasi Rabbial terjadi melalui media sosial. Melalui kanal Youtubenya, ia aktif menyebarkan pandangan-pandangan politiknya yang radikal (Chaidar 2019).

Radikalisasi pemuda juga terjadi di kampus-kampus. Indoktrinasi kerap dilakukan oleh ormas radikal seperti HTI (Lestari, “Penyebaran Gerakan Khilafah di Kampus Menguat Pasca Reformasi,” BBC). Bahkan temuan yang sama ada di tingkat sekolah formal untuk anak dan remaja (Lestari 2016).

Serangkaian kasus-kasus ini menunjukkan bahwa generasi muda termasuk kelompok yang rentan terpapar ideologi radikalisme dan ekstremisme kekerasan. Mereka adalah kelompok usia yang sedang mencari jati diri. Tanpa bekal literasi dan kemampuan berpikir kritis, mereka sangat mudah terperangkap ke dalam propaganda terorisme maupun radikalisme. Bahkan, mereka bisa menjadi pelaku teror yang aktif.

Jika kaum muda yang berjumlah seperempat dari total keseluruhan penduduk Indoesia ini mengalami radikalisasi, bisa dibayangkan apa yang akan kita panen di masa depan. Anak-anak muda yang di masa depan mengisi pos-pos penting dalam kehidupan bangsa, akan menjadi kekuatan yang sangat membahayakan karena di kepalanya sudah dipenuhi dengan ideologi ekstremisme kekerasan.

Baca Juga  Memahami Fenomena Maraknya Isu Gender di Indonesia dengan Pendekatan Glokalisasi

Jika kita masih kesulitan membayangkan bahaya dari situasi ini, marilah kita menengok data napi terorisme di Indonesia. Secara keseluruhan, data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris adalah generasi muda yang berusia antara tujuh belas sampai tiga puluh empat tahun (Alius, 2017).

Jika program deradikalisasi yang dikembangkan pemerintah tidak memiliki efektivitas dalam melenyapkan doktrin ideologi radikalisme dan ekstremisme kekerasan yang telah ditanam di kepala para pemuda Indonesia, maka bisa dipastikan bangsa ini akan memanen beragam teror kekerasan di masa depan. Data-data di atas semestinya menyadarkan kepada kita untuk menjaga generasi muda agar tidak menjadi para kandidat  “penganten” teror di masa depan melalui berbagai program penyadaran, baik di dunia pendidikan maupun peningkatan literasi dalam bermedia sosial. []

Lola Loveita Senior Program Officer HAM & Demokrasi INFID

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *