Moh. Mufid Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus Universitas al-Ahgaff Yaman, Penulis Buku Islam Teduh: Menyelami Nasihat Spiritual M. Said Ramadhan al-Buthi

Tentang Politik Dinasti Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali

1 min read

Siapa yang tak kenal al-Ghazālī? Nama aslinya Abū Hāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazālī. Beliau ulama yang tak pernah puas dengan ilmu yang diperolehnya. Makin beliau memperoleh suatu ilmu pengetahuan, beliau terus kejar untuk mengetahui akarnya. Beliau terus bergulat keras dalam pencarian kebenaran.

Al-Ghazālī adalah salah satu ulama klasik yang sangat produktif. Berbagai karya-karya besar lahir dari tangan al-Ghazālī. Misalnya, kitab al-Mustasfā, al-Mankhūl, Syifā al-Ghalīl (bidang ushul), al-Wajīz, al-Wasīth, al-Khulāshah (bidang fikih), Ihyā Ulūm al-Dīn, Mukāsyafat al-Qulūb (bidang Tasawuf), Maqāshid al-Falāsifah, Tahāfut al-Falāsifah (bidang filsafat), al-Iqtishād fi al-I’tiqād, Faishal al-Tafriqah Baina al-Islām wa al-Zandaqah (bidang teologi) dan buku-buku lainnya.

Pemikiran sosok al-Ghazālī di dunia Islam dan Barat sangat diminati. Sentuhan konsep makrifat-nya menjadikan beliau terkenal sebagai seorang sufi tersohor sepanjang masa. Lebih dari itu, sumbangan pemikiran al-Ghazālī di bidang ilmu-ilmu lain pun begitu bermanfaat, misalnya tentang etika berpolitik.

Di tengah terpaan fenomena “dinasti kekuasaan” yang terjadi di negeri ini, tampaknya menjadi relevan untuk kembali mengaji kepada al-Ghazālī terkait etika politik kekuasaan. Dengan demikian, diharapkan kepada para penguasa dan kaum elit pemangku kebijakan publik dapat belajar dari al-Ghazālī, tentang bagaimana seharusnya memimpin rakyatnya.

Doktrin etika atau kode etik berkuasa yang dikemukakan oleh al-Ghazālī dalam bukunya Fadhâih al-Bâthiniyyah sebagai berikut: Pertama, terbuka terhadap kritikan dan masukan. Kedua, tidak puas dengan dirinya karena merasa bersih, sementara bawahan tetap bertindak korup. Ketiga, memosisikan diri sebagai rakyat dan memberikan pelayanan prima kepadanya. Keempat, tidak bergaya hidup mewah. Kelima, menghindari melanggengkan kekuasaan demi kepuasan syahwat politiknya.

Bagi al-Ghazālī, jabatan merupakan anugerah dari Allah swt. Oleh karenanya, seorang pemimpin harus mengemban amanah tersebut dengan jujur dan adil. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kekuasaan tersebut diakui sebagai hak milik untuk selama-lamanya, sehingga orang lain tidak diberi kesempatan untuk menikmatinya.

Baca Juga  Kyai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20 (2)

Menurut al-Ghazālī, hanyalah orang-orang terpilih yang mampu mengemban jabatan pemimpin secara amanah. Itu sebabnya pula, Allah sangat mencintai para pemimpin yang adil dan menjalankan amanahnya secara benar. Karena fungsi utama kekuasaan adalah untuk menjadikan rakyatnya sejahtera, bukan malah membuat rakyat menderita.

Ironisnya, jika bercermin pada realitas kekinian, tampaknya pemimpin kita masih jauh dari “petuah” yang disampaikan al-Ghazālī di atas. Masalah pelayanan publik, hingga kini masih jauh dari harapan masyarakat. Masih banyak oknum penjabat pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya ketimbang kepentingan masyarakat umum.

Selain itu, gaya hidup sederhana pun kini kian jarang terlihat dari sosok pemimpin kita. Meskipun juga ada beberapa pejabat publik yang masih mampu mempertahankan gaya kesederhanaannya. Dalam hal korupsi misalnya, oknum pejabat kita juga makin mahir dan lincah.

Dalam konteks melanggengkan kekuasaan ada fenomena menarik, di mana dinasti kekuasaan politik menjadi tantangan dalam hidup berdemokrasi kita. Di satu pihak, semua masyarakat memang berhak untuk berkontestasi dalam Pilkada. Tetapi, di pihak lain, dinasti politik menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Apalagi, jika kontestasi dilakukan secara tidak sehat. Maka, oligarki kekuasaan pun sulit dihindari.

Menjelang Pilkada serentak 2020 nanti, sudah saatnya kita untuk bersikap selektif terhadap calon-calon pemimpin masa depan. Pilihlah pemimpin yang bisa melayani rakyat, bersedia menerima masukan dan kritik, bergaya sederhana, dan tidak ambisius pada jabatan sesuai anjuran al-Ghazālī.

Inilah pesan berharga dari al-Ghazālī bagi bangsa kita ke depan. Wallāhu a’lam. [MZ]

Moh. Mufid Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus Universitas al-Ahgaff Yaman, Penulis Buku Islam Teduh: Menyelami Nasihat Spiritual M. Said Ramadhan al-Buthi