DALAM sebuah kesempatan, seorang akademisi bertanya: “Apakah selama ini suara azan terdengar mengganggu sehingga perlu dibatasi?” Pertanyaan sang akademisi ini terlontar dalam kaitannya dengan Surat Edara Menteri Agama Republik Indonesia Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Pertanyaan di atas mungkin saat ini mewakili ribuan orang yang terlanjur masuk dalam pusaran kontroversi publik mengiringi keluarnya Surat Edaran tersebut dan penjelasan Menteri Agama tentangnya. Kontroversi menjadi cepat meluas setidaknya karena dua hal. Pertama, informasi dan komunikasi publik saat ini banyak diperantarai oleh media sosial. Hal ini membuat semua hal yang ada di media sosial menjadi cepat tersebar dan meluas menyelusupi tidak hanya ruang-ruang sosial, tapi juga ceruk-ceruk privat yang tidak bisa ditembus melalui cara-cara komunikasi konvensional. Kedua, isu yang diangkat adalah agama, satu entitas yang begitu dalam membentuk makna hidup manusia. Setiap isu tentangnya akan cepat mengaduk emosi setiap orang, baik dalam pengertian positif maupun negatif.
Dua faktor inilah yang setidaknya membuat perbincangan publik tentang surat edaran tersebut meledak menjadi wacana populer. Hampir setiap orang terlibat di dalamnya, mulai dari politisi, tokoh agama, hingga masyarakat awam.
Tentu saja ada banyak kepentingan di balik suara-suara yang pro dan kontra. Politisi yang meletupkannya jelas memiliki kepentingan politik tertentu. Para tokoh agama merespons permasalahan ini dilandasi oleh ideologi keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok masyarakat juga memberi respons dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya atau sekedar mengikuti pendapat tokoh yang menjadi panutannya.
Sekali pun demikian, ada yang patut disesalkan dari kontroversi ini, yaitu publik kehilangan fokus untuk melihat isi Surat Edaran itu sendiri. Ruang publik yang semestinya menjadi arena civil society dalam mengkritisi sebuah kabijakan yang dikeluarkan oleh negara berubah menjadi perang olokan yang jauh dari subjek pokoknya. Jika kita mengamati hiruk-pikuk masalah ini di media sosial, yang kita temukan adalah olokan, umpatan, bahkan ancaman, dengan bahasa atau gambar-gambar yang sangat vulgar.
Harus diakui bahwa arus informasi dan cara-cara komunikasi di ruang publik memang tidak selalu sehat. Sekali pun demikian, adalah penting untuk menuntut kelompok-kelompok terpelajar untuk tetap menyalakan nalar kritis dalam menyikapi sebuah masalah. Orang awam mungkin mudah terprovokasi dengan sebuah berita heboh karena tidak cukup terdidik untuk mengkonfirmasi kebenarannya melalui pencarian informasi yang lebih lengkap melalui sumber-sumber yang kredibel. Namun, orang terdidik mestinya memiliki sikap dan cara merespons yang berbeda terhadap sebuah informasi karena seharusnya memiliki sikap curiousity yang kuat dengan nalar kritis yang tetap menyala.
Dengan sikap jujur dan kritis, semestinya pertanyaan di awal tulisan ini tidak terlontar dari kalangan terididik. Karena sejauh kita menelaah isi Surat Edaran Menteri Agama, tidak ada satu pun kalimat yang melarang pelantunan azan menggunakan pengeras suara. Di bagian “tata Cara Penggunaan Pengeras Suara” bahkan secara eksplisit dinyatakan bahwa “Pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar”. Surat edaran ini sama sekali tidak melarang menggunakan pengeras suara dalam aktivitas syiar Islam di masjid dan musala, tapi mengaturnya agar penggunaan itu tidak berlebihan.
Lalu, dari mana datangnya pandangan yang menyatakan bahwa Menteri Agama melarang azan menggunakan pengeras suara? Kontroversi ini pertama kali muncul dari pendapat seorang politisi yang menyatakan bahwa Menteri Agama menyamakan antara suara azan yang keluar dari pengeras suara dengan gongongan anjing. Dari sinilah kontroversi ini bermula. Kontroversi ini sepenuhnya bisa dipahami karena umat Islam mana yang tidak akan terbakar hatinya jika seorang Menteri Agama menyatakan hal itu.
Pendapat sang politisi ini kemudian dimassifikasi oleh media dan segera menjadi isu liar. Isi dari Surat Edaran tidak lagi menjadi bahan perdebatan publik yang sehat, tapi terdistorisi secara fatal seakan-akan Menteri Agama menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing dan pelantunan suara azan melalui pengeras suara dilarang. Betapa jauhnya distorsi ini. Justru informasi distortif inilah yang saat ini menjadi perdebatan publik yang dipenuhi dengan cacian dan hinaan.
Sekarang, marilah kita mendudukkan masalahnya dengan nalar kritis. Jika ada seseorang yang merasa terganggu dengan kerasnya suara kereta api yang tengah melintas di samping rumahnya, dan di lain waktu dia juga merasa terganggu dengan kerasnya suara musik yang diputar oleh anak tetangga sebelah, apakah orang itu menyamakan suara kereta api dengan musik? Dalam kasus ini, kita pasti tidak akan membuat kesimpulan bahwa orang itu menyamakan suara musik dengan suara kereta api? Mengapa? Karena dalam kasus ini, nalar sehat kita tetap bekerja dengan baik, tidak dikalahkan oleh emosi yang sedang dibakar oleh kesalahpahaman.
Nalar sehat kita jelas tidak membuat kesimpulan seperti itu karena kita tahu bahwa yang mengganggu bagi orang tersebut adalah kebisingannya, bukan menyamakan esensi kedua suara tersebut. Berbicara tentang kebisingan, para ahli lingkungan telah lama memberi perhatian terhadap dampak dari kebisingan ini melalui konsep polusi kebisingan (noise pollution). Noise pollution didefinisikan sebagai setiap suara yang tidak diinginkan atau mengganggu yang menyebabkan pada kesehatan dan kebaikan manusia serta organisma lain.
Suara diukur dalam ukuran desibel (dB). Volume suara di atas 85 dB dinyatakan para ilmuan dapat membahayakan manusia. Polusi kebisingan ini tanpa disadari berdampak pada kesehatan jutaan orang. Dampak yang paling umum dari polusi kebisingan adalah hilangnya pendengaran. Polusi kebisingan juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, ganggunan tidur, hingga stres. Anak-anak adalah kelompok umur yang paling berisiko terkenan dampak negatif dari polusi kebisingan ini.
Kebisingan adalah kebisingan, dari mana pun sumbernya. Karena itulah maka penggunaan pengeras suara, sekalipun itu untuk acara keagamaan di rumah ibadah, perlu diatur agar ekspresi keberagamaan tidak menimbulkan ekses negatif hanya karena penggunaan pengeras suara yang berlebihan.
Dalam konteks kehidupan bersama sebagai bangsa, polusi kebisingan tidak hanya memiliki dampak pada kesehatan orang per orang, tapi juga terhadap harmoni kehidupan sosial. Dalam sebuah bangsa yang majemuk seperti Indonesia, ruang publik dihuni oleh sekian ragam orang dengan kebutuhan dan keyakinan yang beragam. Persaudaraan dan harmoni sosial adalah hal yang harus menjadi perhatian bersama. Bukankah kebaikan bersama (al-maslahah al-ammah atau bonum commune) adalah inti dan tujuan dari setiap agama?
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 27 Februari 2022.