Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Idul Fitri dan Peristiwa Pulang ke Kampung Halaman yang Fitri

2 min read

Idul Fitri adalah salah satu perayaan terpenting bagi umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa pada bulan Ramadan. Perayaan ini dianggap sebagai momen signifikan untuk bersilaturahmi dan mempererat hubungan antar keluarga dan kerabat jauh. Oleh sebab itu, salah satu tradisi yang erat kaitannya dengan perayaan Idulfitri adalah peristiwa “pulang kampung” yang dilakukan orang-orang yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar untuk kembali ke kampung halaman mereka.

Pulang kampung menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang karena selain dapat merayakan Idul Fitri bersama keluarga, juga menjadi kesempatan untuk melepas rindu dengan kampung halaman dan menjalin kembali hubungan dengan sanak keluarga dan handai tolan yang telah lama tak dijumpai.

Momen pulang ke kampung halaman, di Indonesia, sebenarnya bukan sekadar momen sosial, seperti bertemu sanak keluarga dan handai tolan lama belaka, melainkan juga merupakan momen spiritual yang dengannya seseorang dapat mengunjungi tempat kelahirannya ketika ia masih fitri.

Spiritualitas Puasa

Secara almanak, Idulfitri yang jatuh pada 1 Syawal adalah penanda selesainya bulan Ramadan yang di dalamnya umat muslim diwajibkan untuk berpuasa. Aktivitas berpuasa ini tentu saja bukan sekadar latihan fisik atau biologis untuk mengurangi makan dan minum semata, apalagi sekadar memindahkan jadwal makan dan minum yang begitu teknis.

Meskipun puasa itu berorientasi untuk mengendalikan sifat biologis manusia, tampak tidak mungkin kalau puasa merupakan ibadah mahda yang orientasinya hanyalah lahiriah semata. Dalam berpuasa, umat muslim sebenarnya melatih diri agar bisa mengontrol syahwat dan ego pribadi yang selama sebelas bulan sebelumnya bercokol melekat pada dirinya.

Keistimewaan ibadah puasa digamblangkan oleh sebuah hadis qudsi yang di dalamnya Allah berfirman, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Cukup jelas bahwa puasa itu sendiri akan mendapat balasannya secara langsung dari Allah sebab ibadah puasa merupakan ibadah yang secara spiritual menjadi “tangga naik” untuk tiba di hadapan Allah.

Baca Juga  Masyarakat Indonesia yang Anti-Komunikasi

Ketika seseorang melatih diri untuk tidak makan, minum, berhubungan seks, dan hal-hal yang membatalkan puasa artinya ia sedang mengendalikan kerakusan dan kezaliman nafsu yang biasanya ia biarkan mengontrol dan menguasai dirinya. Dalam hal ini tampak mencolok bahwa puasa itu mencoba meringkus hasrat “keakuan” (das Ich) atau ego pribadi.

Berbulan-bulan sebelumnya manusia berkecimpung dan larut secara tak sadar di dalam “keakuan”-nya, sehingga “keakuan” tersebut menebal bahkan sudah menghijab dirinya dari Allah. Dengan itu, Allah mengaruniai bulan suci Ramadan kepada umat muslim, yang sepanjang bulan tersebut mereka berpuasa, mengucapkan “tidak” terhadap “aku”-nya sendiri yang selama ini dielu-elukan dan dituruti.

Pada bulan Ramadan itulah kesempatan umat muslim untuk berpuasa, bukan hanya dari syahwat dan hasrat duniawinya, melainkan dari “keakuannya”, yang itu artinya umat muslim berpuasa dari segala sesuatu selain Allah. Berpuasa dari segala sesuatu selain Allah menunjukkan intensitas ketakwaan dan level tertinggi tauhid seseorang. Dengan kata lain, bulan Ramadan menjadi bulan yang di dalamnya umat muslim telah berproses meneguhkan kembali tauhid autentiknya.

Setelah berlatih untuk dapat mengontrol diri dan berpuasa dari segala sesuatu selain Allah selama sebulan penuh, umat muslim akan terdorong untuk membawa kebiasaan tersebut ke bulan-bulan selanjutnya. Hal ini diucapkan oleh salah seorang sufi dengan indah, “Bila seseorang telah berpuasa dari segala yang maya dan fana, maka seluruh bulan yang ia lewati adalah bulan puasa” (Kuswaidi Syafi’ie, 2020).

Pulang ke Kampung yang Fitri

Setelah sebulan penuh, pada malam Idulfitri, umat muslim mengumandangkan takbir semalam penuh. Tentu saja takbir dalam hal ini merupakan sebuah tindakan menakbiri diri sendiri, menakbiri syahwat hewaniah, kerakusan, kezaliman, dan “keakuan” diri sendiri. Kita semua menjadi habis di hadapan Allah Yang Maha Meliputi (al-Muhiṭ).

Baca Juga  Menjadi Pancasilais dalam Bermedia Sosial

Pengumandangan takbir atas “Maha Besar”-nya Allah dengan sendirinya berarti meniadakan keberadaan “keakuan” kita yang penuh dengan ego dan nafsu. Pengumandangan takbir ini menunjukkan kesudahsiapan umat muslim untuk kembali ke fitri, kembali ke dirinya yang suci sebagaimana pertama kali dilahirkan di dunia ini.

Dengan demikian, Idul Fitri tidak lagi dipahami sebagai perayaan kultural dengan memakai pakaian-pakaian baru secara fisiologis, melainkan dihayati sebagai perayaan spiritual dengan memakai pakaian jiwa yang baru, yang telah terlahir kembali, yang di dalamnya jiwa kita disucikan oleh Allah, dikembalikan ke keadaan fitri kita.

Menghikmati Idul Fitri dengan cara demikian membuat kita sadar bahwa sebenarnya peristiwa Idul Fitri bukan sekadar peristiwa kultural, melainkan peristiwa religius dan spiritual. Pada akhirnya kita menyadari bahwa kehendak pulang ke kampung halaman fisik tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan sebenarnya simbolisasi dari fitrah kita yang rindu pulang ke keadaan fitri dari jiwa kita. Selamat Idulfitri 1444 H.[]

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com