Saat mendengar berita kematian Buya Syafii Maarif, jagad dalam diri saya rasanya berhenti. Saya tepekur terdiam. Tak kuasa menggambarkan arti kehilangan ini.
Saya tak memiliki kedekatan pribadi dengan beliau sekalipun persahabatan dengan anak-anak ideologisnya telah lama terbangun dan terpaut hingga sekarang. Ini adalah persahabatan anak-anak ideologis Gus Dur dengan anak-anak ideologis Buya Syafii. Kami meneladani guru-guru kami yang ber-Islam dengan ramah dan berbangsa dengan Pancasila. Kami sama sekali tidak baper untuk masalah-masalah khilafiya. Kami tak pernah berdebat tentang jumlah rakaat shalat Tarawih atau Qunut subuh. Bahkan, kami biasa bergurau tentang kapan masuk Bulan Ramadhan dan kapan 1 Syawal.
Pokoknya, di antara kami, hal-hal yang dulu menjadi sejarah tegang antara NU dan Muhammadiyah, kini menjadi bahan gurauan. Ketika ada tokoh Muhammadiyah atau NU yang memainkan isu-isu agama untuk mendapatkan keuntungan politik, kami berada dalam satu barisan menentangnya. Intinya, bagi kami, anak-anak ideologis Gus Dur dan Buya Syafii, ke-Indonesiaan ditenun kain kebhinnekaan dan dinaungi atap Pancasila. Ajaran yang terus terpatri adalah bahwa ke-Indonesiaan dan ke-Islam bukanlah dua entitas yang saling menghancurkan, tapi saling membutuhkan dan melengkapi.
Karena itu, ketika terdengar kabar kepergiannya, rasanya saya tak rela. Di balik al-Fatihah yang berkali-kali saya kirimkan kepadanya, terselip pertanyaan yang bisa jadi adalah pertanyaan yang mengendap dalam dada kita semua: “Siapa lagi tokoh agama yang dengan kedalaman ilmu, kewibawaan, dan kharismanya memimpin kita untuk menjaga Indonesia dari rongrongan kelompok yang selalu menghadapkan antara kesetiaan kepada Indonesia dengan ketaatan kepada agama? Di tengah semangat agama yang terus dihiasai dengan makian, kebencian, dan nafsu untuk melenyapkan kelompok lain yang berbeda, kepergiannya adalah kehilangan yang mendalam, kedukaan yang teramat kelam.
WA saya kebanjiran ucapan bela sungkawa, dan berbagai obituari singkat dari para sahabat. Salah satu kelompok persahabatan saya yang begitu merasa kehilangan adalah Jaringan GUSDURian, sebuah jaringan para para muhibbin dan pelanjut perjuangan Gus Dur. Jaringan ini langsung dipimpin oleh putri pertamya, Mbak Alissa Qotrunnada Wahid.
Mbak Alissa sendiri memiliki hubungan yang sangat dekat dan sangat menghormati Buya Syafii. Kawan-kawan GUSDURian juga terbiasa sowan atau mengundang beliau. Sepeninggal Gus Dur, beliau adalah tokoh panutan. Tidak heran jika mendung kehilangan di dada kami teramat pekat.
Di grup WA, Mbak Alissa woro-woro hendak berziarah ke makam Buya. Tentu saja, kawan-kawan GUSDURian Yogyakarta atau yang sedang ada di Yogyakarta menyambut dengan antusias. Bagi kawan-kawan NU, apa yang akan dilakukan ketika berziarah ke makam seorang tokoh Islam panutan? Apakah sekedar tabur bunga sambil berdiri mematung di samping pusara? Tidak. Kemungkinan terbesarnya adalah tahlilan. Ya betul: tahlilan. Mbak Alissa melalui seorang utusan meminta ijin kepada keluarga almarhum apakah diperkenankan jika menziarahi makan Buya Syafii dan bertahlil di pusaranya. Tentu saja, jawaban dari keluarga: “BOLEH”.
Jadilah, seperti yang kita baca dalam status FB Abdul Gaffar Karim, salah seorang santri NU dari Madura yang menjadi dosen di FISIP UGM serta salah seorang senior advisor Jaringan GUSDURian: “Ini terserah bagaimana sampean menilaianya. Kami datang ke pemakaman Muhammadiyah, mencari pusara Buya Syafi’i Ma’arif, lalu tahlilan di sana.”
Aneh? Bagi beberapa kalangan di internal Muhammadiyah mungkin terasa janggal. Bagaimana mungkin mantan pimpinan sebuah organisasi reformis yang secara teologis puritan, di mana ziarah kubur apalagi bertahlil dicap sebagai ritual bid’ah, kok tiba-tiba ada serombongan orang yang mengaku sangat menghormatinya, datang ke pusaranya dan bertahlil.
Tapi, Buya Syafi’i (dan tentu saja keluarga dan anak-anak ideologisnya) telah melampaui masalah-masalah khilafiyah itu. Dari Buya Syafi’i-lah kami, anak-anak muda NU pengikut Gus Dur dan sahabat-sahabat Muhammadiyah anak didik Buya Syafi’i, diingatkan melalui sebuah lontaran pertanyaan: “…apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang lebih terbuka dan relatif punya radius pergaulan yang lebih luas bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini? Semestinya tidak ada alasan lagi untuk terus terkurung dalam lingkaran terbatas yang bisa menyesakkan napas dan sia-sia.”
Bagi mereka yang “masih terkurung dalam lingkaran terbatas yang menyesakkan napas” tahlil di pusara Buya Syafi’i mungkin dianggap masalah. Seperti beberapa orang di NU yang mengernyitkan dahi Ketika Eni Sagita berdangdut di acara haul Gus Dur. Bagaimanapun juga, Gus Dur adalah kiai. Bahkan, bagi beberapa orang, dia adalah wali. Lalu, di mana ada contoh haul seorang wali diisi dengan dangdutan?
Saya membayangkan, kedua tokoh panutan ini telah bertemu dan saling ledek. Mungkin Gus Dur meledek seperti ini: “Beneran gak apa-apa anak saya, si Alissa, dan kawan-kawannya ziarah ke makam sampean dan tahlilan?” Sambil tersenyum ringan, Buya menjawab,” Ya gak apa-apa, orang yang meminta anak -anak itu, termasuk sulung sampean, untuk tidak lagi terjebak dalam kotak sempit pemahaman keagamaan itu ya saya. Tapi kan saya lebih mending ditahlili, daripada sampean haulnya didangduti.”
Keduanya kemudian terkekeh-kekeh. Di ujung tawa renyahnya, entah bagaimana ceritanya, keduanya tiba-tiba kompak mengatakan: “Gitu saja kok repot”. Mereka pun tambah terpingkal-pingkal.[mmsm]