Humor untuk Melawan Narasi Intoleran di Media Sosial

Pengguna media sosial twitter tentu mengenal akun yang bernama NU Garis Lucu (@NUgarislucu) dan Muhammadiyah Garis Lucu (@MuhammadiyahGL). Akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu sudah memiliki ribuan lebih follower.Kedua akun yang mencatut dua organsisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia itu seringkali berkicau tentang persoalan-persoalan serius di masyarakat dengan humor. Tak heran bila kemudian kedua akun itu memiliki follower yang cukup banyak.

Kicauan kedua akun itu seperti membawa kegembiraan di tengah lalu lintas kicauan di twitter yang akhir-akhir ini terasa sangat serius. Untuk melihat fenomena kemunculan kedua akun itu, kita perlu melihat maraknya narasi intoleran, yang mengatasnamakan agama, di media sosial, termasuk twitter.

Narasi-narasi intoleran yang mengatasnamakan agama itu bukan hanya nampak serius dan jauh dari selera humor, namun juga mengarah pada upaya membelah masyarakat dalam sebuah polarisasi yang tajam. Pihak kita dan mereka. Narasi itu tentu sebuah ancaman serius bagi negeri yang beragam seperti Indonesia.

Ada beberapa karakter narasi intoleran yang mengatasnamakan agama di media sosial. Pertama, narasi yang mereduksi makna jihad hanya sebatas perang dan aksi kekerasan lainnya. Jihad yang berarti kekerasan ini, menurut mereka perlu dilakukan untuk membela umat Islam yang dipersepsikan sebagai pihak tertindas.

Pertama, narasi yang membagi masyarakat dalam dua kelompok yang saling bertentangan dan tidak bisa didamaikan. Bila kelompok itu berbeda penafsiran agama dengan kelompok itu, tak segan kelompok itu memberikan label negatif, mulai dari munafik hingga kafir. Singkat kata, satu kelompok merasa memiliki otoritas kebenaran dan kelompok lainnya yang dinilai berada di luar kebenaran.

Kedua narasi itu seperti dua sisi mata uang atau saling terkait. Pembagian masyarakat dalam dua kelompok akan memunculkan labeling munafik, ahli bid’ah hingga kafir. Labeling itu kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan yang menurut mereka dimaknai sebagai jihad.

Ketiga, narasi politik yang mengatasnamakan agama. Narasi politik adalah narasi yang terkait dengan perubahan sistem dan struktur kekuasaan. Narasi politik ini biasanya muncul melalui pergantian sistem negara kebangsaan menjadi sistem yang menurut mereka merupakan bagian dari ajaran agama. Sistem Khalifah adalah salah satu contohnya. Sistem Khilafah ini yang kemudian diklaim akan mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang sedang dihadapi negara bangsa, baik itu persoalan ekonomi-politik hingga sosial budaya.

Masih terkait dengan kedua narasi sebelumnya, narasi politik yang mengatasnamakan agama ini juga mengklaim bahwa sistem khilafah yang mereka kampanyekan adalah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama. Sistem politik di luar itu kemudian diberikan label sistem kufur yang harus diganti

Keempat, narasi yang menojolkan heroik atau kepahlawanan atas dasar agama. Narasi jenis ini bertujuan membangun solidaritas yang didasarkan pada identitas yang sama. Identitas dalam hal ini bisa berupa agama dan ras. Penderitaan kelompok identitas yang sama di belahan bumi lainnya dieksploitasi untuk membangun kesan diperlukan seorang pahlawan untuk membebaskannya.

Aksi pembebasan ini adalah aksi heroik. Aksi ini membenarkan adanya aksi kekerasaan. Beberapa pelaku aksi teror mengaku bahwa tindakanya disebabkan oleh penderitaan ‘saudaranya’ yang tertindas di belahan bumi lainnya. Seperti penderitaan muslim di Bosnia, Suriah dan Palestina. Narasi sosial heroik ini tidak hanya terkait dengan identitas agama Islam tapi juga ras dan warna kulit. Teror di Selandia Baru pada Maret 2019 adalah salah satu contohnya.

Tak jarang narasi-narasi intoleran yang mengatasnamakan agama itu juga dibumbui oleh berita bohong. Narasi intoleransi dan berita bohong adalah perpaduan yang nyaris sempurna untuk menumbuhkan sikap ekstrimisme dalam beragama. Tak jarang, sikap ekstrimisme itu menjadi pintu masuk bagi rekrutmen pelaku teroris baru. Beberapa kejadian teror di Indonesia mengindikasikan bahwa perekrutan pertama mereka melalui paparan narasi intoleran kemudian dipadukan berita bohong di internet.

Di tengah narasi-narasi intoleran yang mengatasnamakan agama di media sosial seperti itulah akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu hadir di twitter. Seringkali narasi humor bisa digunakan untuk mematahkan legitimasi narasi intoleran. Narasi humor ini dilakukan dengan mengolok-olok tujuan, sasaran, taktik, atau narasi kelompok yang mengklaim memiliki otoritas dalam menafsirkan kebenaran dan memberikan label negatif kepada pihak yang berbeda pendapat dengan mereka.

Perlawanan terhadap narasi intoleransi di media sosial melalui narasi humor itu juga terjadi di Pakistan. Seri kartun Burka Avenger menggunakan humor untuk melawan pesan-pesan utama extrimisme agama di Pakistan. Dalam episode serial tersebut, sang penjahat (Baba Bandook) berupaya untuk menutup sekolah seorang anak perempuan.  Sang pahlawan wanita (Burka Avenger) melawan sang penjahat dengan menggunakan buku, pena, dan gerakan akrobatik tingkat tinggi untuk mengalahkan si penjahat dan membuka kembali sekolah tersebut sebelum akhir pekan. Program tersebut penuh dengan lelucon dan humor halus yang mengolok-olok si penjahat berikut anak buahnya serta secara lebih strategis, upaya-upaya kelompok extrimisme agama di negara tersebut. Episode pilot Burka Avenger dapat ditonton di youtube.

Melawan narasi intoleransi dengan narasi humor saja tidaklah cukup. Namun perlawanan narasi itu setidaknya mampu mengendorkan ketegangan dari jargon narasi intoleransi yang selalu mengajak pembacanya untuk berperang. Narasi humor mampu memberikan perlawanan terhadap narasi intoleran dengan lebih segar. Sehingga upaya kaum intoleran untuk membelah masyarakat menjadi dua kubu yang saling berhadapan dan bersiap untuk berperang menjadi tidak relevan.

Tentu saja melawan narasi intoleransi yang mengatasnamakan agama tidak cukup hanya dengan narasi humor. Ibarat sebuah pertandingan tinju, narasi humor bisa saja hanya sebagai ‘pukulan’ pembuka saja untuk kemudian dilanjutkan dengan pukulan-pukulan lain guna merobohkan pijakan dari narasi-narasi intoleransi di dunia maya. Sinergi antar narasi damai, kebangsaan dan agama yang ramah dengan narasi humor di internet, menjadi kunci dalam melawan meluasnya penyebaran narasi intoleransi yang mengatasnamakan agama.

Ormas besar NU dan Muhammadiyah patut berterimakasih terhadap pengelola akun NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu di twitter. Kedua akun itu bukan sedang mencemarkan nama kedua organisasi besar itu. Kedua akun itu sedang ‘berjihad’ melawan intoleransi dengan caranya sendiri, yaitu dengan humor. Mereka berpijak bahwa sikap ekstrimisme muncul seiring hilangnya selera humor di masyarakat kita. (mmsm)

 

0

Executive Director OneWorld-Indonesia

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.