Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Kenangan Benedict Anderson: Dari Gus Dur, Cak Nur, Malari 1974 sampai Gerakan Mahasiswa ITB 78 (1)

2 min read

Ithaca, New York, musim gugur 1994.  Suatu ketika, Prof Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Pak Ben Anderson mengajak kami (Herdi Sahrasad, Simon Saefudin dan Luthfi Yazid) menyusuri pagi yang berwajah merah-biru-hijau-ungu-putih-bening di Ithaca. Sambil ngobrol soal aksi/gerakan para ‘’gangster’’ (intelektual dan aktivis Indonesia) yang bersikap kritis dan pro-demokrasi, menolak/emoh otoritarianisme-praetorianisme.  Sungguh, suasana hangat dan cerah subuh itu membangunkanku, Oktober 1994, dan membuat saya betah jalan-jalan di pagi hari.

Tulisan ini saya goreskan berdasarkan apa yang masih kuingat dari kenangan kami dengan Indonesianis Prof Ben Anderson di Cornell 1994. Dengan harapan bisa memberi spirit dan makna pada masyarakat Gusdurian, komunitas Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan anak- anak bangsa di negeri kita yang underdog, subaltern, kurang beruntung dan marginal di era pandemic corona ini.

Wow, daun daun warna merah kuning jingga dalam kilau matahari berguguran dan cahaya mentari merengkuh hutan pohon Mapel di sekitar Universitas Cornell yang didirikan oleh Ezra Cornell dua-tiga abad lalu itu.

Ada sebuah sungai berbatuan, tajam melingkar, di lingkungan kampus Cornell, dimana, menurut cerita Pak Ben,  sejumlah mahasiswa konon memilih bunuh diri terjun bebas di sana. Kenapa Pak Ben? ‘’Yah  karena gagal ujian masuk atau gagal jadi sarjana,’’ ujarnya. ‘’Saya kalau kesini sendiri merinding Pak Ben,’’ kataku. ‘’Apalagi kalau senja senyap atau mahgrib, menakutkan juga,’’ imbuh Simon.

Aneh? Ganjil? Maybe. Sungai itu punya misteri, cerita ‘’muram & miris’’ di tengah hening pagi itu. Bisa merintih dan ngeri-ngeri sedap kita kalau  sendirian menatap tajam ke dalamnya, dari sisi tepian yang sunyi.

Lantas, karena pengin tahu Ithaca, dengan mobilnya yang ‘’gayeng’’ dan cukup terawat, Prof Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Ben Anderson membawa kami keliling  kota kesayangannya itu. Sesekali tancap gas kenceng. Sembari  satu tangan memegang setir, jari-jemari Pak Ben menunjukkan tempat-tempat yang bernilai, bercorak lokal atau bersejarah di kota mungil berpenduduk sekitar 30 ribu orang itu. ‘’Indah tenan ya, Ithaca,’’ kata Simon.

Baca Juga  Pentingnya Memilih ‘Sirkel’ Pertemanan yang Positif dalam Kehidupan Sehari-hari

‘’Di sini nyaman,nggak ada Saritem,’’ selorohku. Pak Ben tergelak dan terkekeh. Dia ingat  Saritem di kawasan Bandung dan karikatur Binaria di Koran lusuh Pos Kota. Saya lihat dia  geli dan semangat, apalagi dia senang berdiskusi dan ngobrol dengan anak-anak muda underdog macam kami yang ‘’ badung plus mbeling’’, berlogat Jawa medhok Bagelen (Herdi), Cirebon (Simon) dan Malang Jatim (Luthfi) dengan tawa ngakak.

Soalnya kita ngomong yang mungkin memang menarik bagi Pak Ben: dari gebyar kirab remaja Mbak Tutut dan dawuh Raja Cendana sampai guyonan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), pasemon/sindiran Cak Nur (Prof Nurcholish Madjid) sampai ‘’gempuran’’ Gerakan Mahasiswa ITB 1977/78 dan para ‘’gangster’’ Gerakan Mahasiswa Malari 1974.

Ben Anderson menyebut Gus Dur dan Cak Nur menjadi tokoh pluralis dan pembaharu Islam yang ikhlas dan berpolitik untuk tujuan mulia yakni memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia dan hak asasinya  dengan bingkai religiusitas dan pluralisme, dengan tujuan mengamalkan agama/keyakinan masing-masing insan di Indonesia bagi maslahat, keadaban dan kebahagiaan bersama.

Mengenai Ben, Gus Dur dan Cak Nur, baca/simak esai penulis di sini.

Nah, yang juga menarik adalah soal perlawanan gerakan mahasiswa terhadap Orba Pak Harto. Dalam kenyataannya, aksi mahasiswa itu  dikalahkan semua sama tangan cengkiling dari ABRI-nya Pak Harto waktu itu. Yah nggak Pak Ben?  ‘’Iyalah’’ katanya. ‘’Eh, kalian, tahu nggak artinya ‘cengkiling’? Cengkiling Itu kebiasaan buruk doyan nempeleng, memukul dan ngantemin orang lain yang dianggap salah atau keliru atau menghambat pembangunan. ‘’ Payah banget itu, padahal gaji prajurit/perwira itu kan dari uang rakyat termasuk dari kalian lho,’’ kata Pak Ben tergelak.

‘’ Tapi, wong ABRI kok dilawan, yok bonyok, ’’ seloroh Pak Ben. Gayeng tenan obrolan kayak gitu bagi Pak Ben dan dia pun tergelak tawalah.

Baca Juga  Pancasila dan Islam di Indonesia: Harmoni dalam Keragaman

Tapi dengan serius Pak Ben kasih cerita tentang ‘’gerakan mahasiswa atau kaum muda’’ di Indonesia era Orde Baru Pak Harto.  Ben Anderson sangat percaya pada kekuatan kaum muda untuk melakukan perubahan,dan disertasi PhD-nya di Cornell tentang Revolusi Pemuda telah menyingkapkan peran nyata kaum muda dalam kemerdekaan RI 1945, setelah sebelumnya berperan penting dalam Sumpah Pemuda Oktober 1928.

Pemberontakan anak-anak muda dalam gerakan melawan kolonial Belanda adalah cerita yang menyegarkan pikiran dan jiwanya yang anti-penindasan dan anti- dehumanisasi. Lantas, bandingkan coba, bagaimana dengan mahasiswa/anak muda masa kini (reformasi era Jokowi), wah payah, dicengkiling-cekam oligarki dan pemodal/bandar bercapital.

Selanjutnya: Kenangan dengan Benedict Anderson … (2)

 

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina