Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Konflik Berdarah Palestina-Israel: Pandangan Prof Rashid Khalidi dan Sikap Kita (1)

3 min read

TEPI BARAT- Serangan Isrel atas Palestina mengingatkan kembali memori kami ketika melawat ke Palestina dan Israel tahun 1990-an. Situasi Krisis Teluk waktu itu telah membuat krisis Timur Tengah mencapai kulminasi yang tinggi dimana ribuan orang tewas dan bermilyar-milyar dolar AS habis untuk pertumpahan darah atas nama  ‘’ kepentingan global’’, ‘’kepentingan nasional’’, ‘’keamanan/stabilitas kawasan’’ dan ‘’mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa’’ menyusul serangan/okupasi Irak atas Kuwait akibat kegilaan Saddam Hussein yang tak tahan melihat pesta pora elite Kuwait dengan petro-dolarnya. Padahal anak-anak Saddam juga doyan pesta dan seks/perempuan, setali tiga uang.

Esai ini bertolak dari memori pengalaman kami di Palestina/Isarel di masa lalu kurun 1990-an itu dan memantulkannya dalam kondisi masa kini dalam sebuah refleksi politik yang mungkin berwajah mozaik, rada unik.

Dalam konteks Palestina-Isarel, bagi kaum humanis palsu dan nasionalis gadungan di manapun, termasuk di Indonesia,  konflik Palestina (Arab) dan Israel dianggap hal biasa, lumrah sekedar ‘’goyim membunuh goyim’’ karena mereka yang palsu dan gadungan itu tidak punya hati  nurani dan rasa kemanusiaan lagi. Dan  mereka mengukur segala hal dari sudut material dan kuasa demi nikmat hartabenda dan duniawi lainnya. Moralitas mereka sudah membusuk bagai bangkai tikus di gorong-gorong istana atau tong sampah di rumah sakit jiwa .

Di masa lalu, kami ingat, PM Israel Menachem Begin dengan enteng berkata: “Goyim membunuh Goyim’’. Goyim atau gentiles adalah sebutan bangsa Yahudi untuk orang non-Yahudi. Dalam Kitab Talmud–kitab suci orang Yahudi sebagai perubahan Kitab Taurat–telah disebutkan bahwa perbedaan antara Yahudi dengan Goyim ibarat ketidaksamaan antara manusia dengan binatang. Membunuh Goyim, bagi Yahudi, tak ubahnya berkorban untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. (?)

Baca Juga  Pemikiran Tafsir Kontemporer Sahiron Syamsuddin: Telaah Metode Ma‘na cum Maghza

Bagi kita, kemerdekaan Palestina adalah keniscayaan dan perjuangan kemanusiaan mereka harus didukung sebab kita berutang budi pada Palestina dan negara-negara Arab  yang mengakui Indonesia merdeka ketika Negara bangsa ini baru dilahirkan.

Meminjam perspektif KH Abdurahman Wahid, dukungan/empati kemanusiaan terhadap Palestina sebagai sebuah bangsa, yang tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang seyogianya menjadi perhatian Gus Dur dan kita hingga akhir hayat. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas/penghalang bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.

“Tatkala tidak banyak orang memiliki perhatian terhadap isu Palestina, Gus Dur terus menyuarakan pembelaan terhadap rakyat Palestina,” sebagaimana dicatat Yenny Wahid dalam pengantar buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017) yang ditulis 20 orang tokoh nasional perihal sosok Gus Dur.

Dalam suasana Idul Fitri 2021  kali ini, ada laporan Koran Independent, Sabtu (15/5/2021), yang menyingkapkan bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dijadwalkan menggelar pertemuan pada Minggu (16/5/2021) untuk membahas eskalasi konflik antara Palestina dan Israel. Pertemuan itu akan disiarkan secara langsung, dan dapat disaksikan oleh publik internasional.

Pihak Israel dan Palestina  disebutkan akan hadir dalam pertemuan tersebut. Adakah pertemuan itu berguna dan bermakna bagi Palestina? Saya kira tidak ! Barangkali sekedar meredakan pertikaian yang nyaris sudah abadi.

Hampir pasti Palestina yang jadi korbannya, korban yang harus dikorbankan, the Victims of the Victimised, kata cendekiawan Palestina Prof. Edward Said (ingat bukunya Orientalisme) yang sampai wafatnya mengajar di Columbia University, New York.

Milisi Muda Belia: Bocah-bocah Palestina siap berjuang

Pasca meninggalnya Edward Said, Mahaguru  studi Timur Tengah di Columbia University, New York, yakni  Profesor Rashid Khalidi muncul menjadi  artikulator ‘’the dissonant voices’’ dari Palestina. Dialah putra Palestina kelahiran di  Amerika, berasal dari salah satu keluarga paling terkemuka di Yerusalem, kota yang juga memiliki sejarawan terkemuka lainnya, Prof.Walid Khalidi. Bersama-sama, mereka berdua telah melakukan banyak hal untuk memberikan narasi Palestina yang berakar pada sejarah sosial maupun sejarah personal kelompok strategis dan orang-orang penting Palestina.

Baca Juga  Menjadi Pancasilais dalam Bermedia Sosial

Dalam buku Rashid Khalidi, “The Iron Cage,” (The Iron Cage: The Story of the Palestina Struggle for Statehood.University  of Chicago,2006 ) secara substantive merupakan esai sejarah, sebagai  upaya untuk menjelaskan dan memutuskan mengapa orang Palestina, tidak seperti begitu banyak orang dan suku lainnya, gagal mencapai negara merdeka, gagal mencapai kemerdekaannya. Mengapa?

Rashid Khalidi memberikan  jawaban yang  mungkin tidak  menyenangkan dan  menghibur orang Palestina, yakni bahwa para pemimpin Palestina sering membuat pilihan yang salah dan belum membangun struktur kelembagaan untuk kenegaraan, sementara AS/Barat selalu membela dan menyokong Israel  at all cost, seolah gelap mata.

Dalam sebuah esai pengantar yang panjang, “Menulis Sejarah Timur Tengah di Masa Amnesia Historis,” Khalidi menegaskan bahwa di hampir setiap tahap, Palestina “adalah pihak terlemah dari semua pihak yang terlibat dalam perjuangan berkepanjangan untuk menentukan nasib Palestina” dan “ tetap jauh kurang kuat dengan ukuran apa pun daripada kekuatan yang menghalangi mereka untuk mencapai status kenegaraan merdeka. ”

Khalidi  mungkin terlalu defensif  dalam  menganalisis kegagalan Palestina, tetapi Iron Cage mewakili pandangan dan  tanggapan yang berani kepada orang-orang Palestina  yang semata  melihat diri mereka hanya sebagai korban belaka.

Meskipun dia cukup kritis terhadap pendudukan lama Israel, yang didukung oleh pemerintah Amerika sampai hari ini, yang telah menghalangi pilihan Palestina untuk merdeka, Khalidi menghormati apa yang telah diperjuangkan dan dibangun oleh Israel di atas ‘’kebengisan Holocaust’’ Hitler.  Barangkali Khalidi ingin orang-orang Palestina sendiri meniru cara Yahudi menghadapi amuk Hitler/Holocaust dan untuk  tidak banyak mengeluh, dalam upaya menegakkan Palestina merdeka.

Dalam kaitan ini, Palestina tak bisa bergantung pada dukungan/bantuan Negara-negara Arab sebab, seperti kajian Dr Ahmad Sahide, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), sikap pasif dan diamnya negara-negara Arab lantaran  ketergantungan akut/ sangat tinggi terhadap Amerika Serikat. Sedangkan  AS  dalam dalam kendali lobi kuat Yahudi untuk menjaga politik luar negerinya, terutama dalam konflik Israel-Palestina, sehingga AS selalu berpihak pada Israel yang dianggap biadab oleh civil society  Arab.

Baca Juga  Sosialisme Islam H.O.S Tjokrominoto dan Spirit Kebangsaan

Praktis, Palestina tidak memiliki dukungan politik dan strategi perjuangan yang kuat seperti Israel. ‘’Palestina tidak mempunyai strategi perjuangan seperti Yahudi dulu sewaktu awal menggagas untuk mendirikan negara Yahudi (Israel), di mana jaringan dan lobi mereka di Barat memberikan bantuan keuangan, militer dan diplomasi dll,” kata Ahmad Sahide. (Kompas.com, Minggu (16/5/2021).

Selanjutnya: Konflik Berdarah Palestina-Israel… (2)

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina