Di era kemajuan teknologi 4.0, ruang interaksi manusia di dunia maya semakin canggih dan bebas. Ruang kebersamaan nan menyenangkan itu telah menjadi hobi masyarakat. Akhirnya, hampir semua dunia aktivitas manusia beralih ke dunia maya. Mulai dari proses jual beli, komunikasi, informasi, dan sebagainya.
Sayangnya, ruang aspirasi yang positif itu kadang terganjal sikap negatif. Ruang luas yang menyenangkan itu potensial menjerat akal sehat manusia. Potensi akal masuk ranah cyberbullying. Sifat tidak suka, kesal, marah, dan sebaliknya rasa senang mudah meletup.
Hal itu ternyata juga menyenangkan bagi mereka. Buktinya bullying menjadi alat justifikasi kebenaran dan bahkan mempengaruhi banyak orang. Artinya, bullying, meskipun amoral, adalah mediasi melihat suatu nilai.
Beberapa fenomena terkait misalnya puisi Sukmawati yang tersebar di media sosial. Suara kidung yang lebih merdu dari azan dicaci jutaan orang. Cacian muncul karena terdapat kekeliruan. Jumlah cacian juga mempengaruhi yang lain untuk mencaci. Dalam hal ini, kekeliruan lebih ditanggapi dengan cacian daripada menalar dan berbicara secara sehat.
Ketika jala media sosial merengkuh jutaan orang, lalu akal sehat hilang, maka orang tak lagi mengenal etika. Dari sini bullying terjadi tanpa rasa kasih sayang.
Menurut Smith 2008, bullying terjadi karena faktor ketaksepahaman. Artinya, kebenaran subjektif lebih utama akibat adanya ragam wawasan tanpa mengacu pada upaya memvalidasi kebenaran tersebut. Kebenaran yang tidak mengacu pada keobjektifan itulah yang mudah sekali memicu ujaran-ujaran kebencian. Emosi untuk benar sendiri.
Lebih miris lagi ketika media sosial menjadi komodifikasi kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya provokasi untuk sebuah pencitraan dan kekuasaan. Pada ranah ini biasanya agama lebih potensial sebagai provokasi.
Tidak Pancasilais
Kenapa ini bisa terjadi, karena bangsa ini tidak benar-benar menjadikan Pancasila sebagai dasar hidup bernegara. Sebagai dasar hidup seharusnya nila-nilai sila ada di sendi-sendi aktivitas. Beragama, berpolitik, berdakwah, mengajar, dan bekerja harus Pancasilais.
Begitu pula dengan bermedia sosial. Dunia yang tak sepenuhnya tersentuh realitas. Sayangnya dalam bermedia sosial, kita cenderung, meskipun tidak sadar, membelah dunia realitas dan maya secara berbeda.
Padahal seharusnya sikap kita tetap sama kepada semua orang. Karena ruang lingkup dunia maya lebih bebas dijangkau. Dalam ruang luas itu seharusnya kita lebih mengutamakan akhlak, nalar sehat, dan tidak reaktif. Alasannya karena kita akan bertemu dengan orang yang berbeda-beda.
Untuk itulah bullying mudah terjadi. Karena mereka yang berbeda-beda–menurut Hinduja dan Patchin–memiliki beragam bentuk emosional dan publik menerimanya dengan emosional mereka juga. Emosional bertemu emosional. Hal itu akan menyulitkan bagi siapa pun untuk mengontrol dirinya dalam bermedia sosial. Ketika emosi saling berbenturan, gejolak tak dapat dihindari.
Sebagai cacatan, nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya masuk dunia maya. Ia hanya sebatas dasar negara di dunia realitas tapi tidak dunia maya. Seandainya semua pengguna media sosial adalah Pancasilais, bullying tak akan mudah terjadi. Kasus-kasus kontroversial agama tak lagi sebatas caci-maki, melainkan sikap menalar secara sehat. Emosi tidak diterima dengan emosi, melainkan akal sehat.
Dalam butir-butir Pancasila sudah ada pedoman untuk melakukan musyawarah, saling mencintai, tenggang rasa, dan menjunjung tinggi nilai kemanusian. Misalnya sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai sila itu jangan hanya menjadi pedoman semata tanpa tindakan yang realistis.
Sudah saatnya memberlakukan nilai-nilai itu secara realistis dalam bermedia sosial. Karena dunia maya dan realitas adalah dunia manusia. Contoh lain kasus Agnes Monica yang mendapat sanggahan negatif dari publik di media sosial. Persoalannya hanya karena pernyataannya tidak memiliki darah Indonesia. Pertanyaannya, apakah sikap Agnes merugikan banyak pihak?
Tentu bisa merugikan banyak pihak. Tapi hanya bagi pihak yang tidak bernalar sehat dan tidak Pancasilais menanggapi kejujuran seorang Agnes Monica. Pernyataan yang jujur itu seharusnya kita bangga, karena dia lebih memilih hidup di Indonesia dengan menyumbangkan beragam prestasi, walaupun dia bukan orang asli Indonesia.
Jujur tak selalu menuntut pemahaman. Jujur terhadap kenyataan adalah hal yang wajar dan sifatnya spontan. Tidak seperti pernyataan Radhar Panca Dahana di Kompas 03/12 bahwa Agnes tidak memahami pernyataan dan budayanya.
Pemahaman terhadap budaya Indonesia memang penting, misalnya agar Agnes paham apa maksud dari ‘darah Indonesia’ sebelum melontarkannya. Saya yakin pernyataan Agnes tidak substansial seperti maksud Radhar Panca Dahana, tetapi kejujuran total dari identitas dirinya. Tidak memiliki darah Indonesia, tapi tetap mengaku sebagai warga Indonesia.
Tampaknya akan selalu heboh jika ada sesuatu yang kontroversial, kalau nilai-nilai sila tidak dijadikan pedoman. Karena potensi bullying yang memicu konflik tidak memikirkan sifat tenggang rasa antar sesama, saling mencintai, dan nilai-nilai kemanusian.
Kekeliruan seharusnya tidak ditanggapi dengan bullying yang sering memicu gejolak emosi¸ melainkan dengan akal sehat untuk tetap menjaga keharmonisan dalam keberagaman wawasan. Itulah pedoman dalam Pancasila.
Bukan hal sepele meskipun tampak sepele untuk mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam bermedia sosial, apalagi budaya media sosial sudah mengakar kuat.
Jalan terbaiknya adalah menanamkannya pada generasi-generasi baru melalui akses pendidikan. Pancasila harus disematkan dan harus benar-benar menjadi pedoman hidup mereka baik di dunia realitas maupun maya. [MZ]