Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Ikatan Keluarga Alumni UIN Sunan Kalijaga (IKASUKA) sebagai Gerakan Sosial Baru, Amin Abdullah: Jangan Menuhankan Identitas!

2 min read

Sabtu (6 Juni 2020) siang, ada yang tidak biasa dari hari-hari itu. Meski cuaca cukup panas, rasa-rasanya hujan awal pasca musim kemarau turun. Seperti laiknya anak-anak, sontak saja aku keluar merasakan dahaga air hujan yang sungguh menyegarkan. Berkali-kali menghujam menyisakan rasa segar pada sela-sela anggota tubuh ini. Basah kuyup dari ujung kepala hingga telapak kaki.

Begitulah kira-kira ekspresi kebahagiaan saat bergabung dan mendengarkan para professor, pejabat, Pak Yai serta tokoh masyarakat alumni IAIN-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta saling menyampaikan gagasan demi gagasannya. Melaui aplikasi Zoom, para Alumni yang tergabung dalam IKASUKA bersatu meski tidak harus bertemu. Ada sekitar 370 lebih peserta yang menyempatkan mengikuti acara ini secara langsung.

Seperti halnya hujan, derasnya gagasan tak mampu dibendung dan ditampung seluruhnya. Terlebih bagi anak kecil macam hamba. Tetapi atas gaya santai plus humor Kang Zastro al-Ngatawi, air-air itu seperti mengalir di sungai. Meski bertubi-tubi dan silih berganti, jalurnya tetap pada satu muara. Selebihnya, biarkan air-air itu tetap membasahi tanah-tanah yang -semoga esok hari- menumbuhkan pohon pengetahuan dan ilmu yang hijau segar nan meneduhkan. Dan, izinkanlah aku menghirup air sungai itu, seteguk saja.

Keterlambatan adalah satu-satunya yang kusesalkan, lah nggak dapat mengikuti berkah Fatihah je. Bahkan, sambutan dari plt Rektor Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin pun telat kudengar. Hubbul Jami’ah minal Iman (mencintai universitas bagian dari iman) begitu cara rektor memancing perdebatan pada pertemuan ini. Pak Sahiron, dalam sambutannya menginginkan adanya militansi dari para alumni. Ber-Ikasuka harus dibangun ke arah saling bekerjasama. Tampaknya beliau mencontohkan bagaimana militansi dari kampus-kampus lain seperti UGM, UI dan sebaginya yang telah terbukti dikancah nasional.

Baca Juga  Pernyataan Sikap Jaringan GUSDURian atas Penutupan Paksa Masjid oleh Pemkab Garut

Bukan Sunan Kalijaga kalau tak ada perdebatan. Prof. Dr. Amin Abdullah tampak kurang sepenuhnya bulat atas pendapat rektor. Beliau mengingatkan sekaligus mengoreksi bahwa militansi yang dibangun atas dasar institusi perlu berhati-hati. Bagi Amin Abdullah, memang sangat perlu kita bergerak bersama tapi harus mengedepankan value. Nah, perlu dirumuskan nilai-nilai ke-Sunan Kalijagaan ini, dan salah satu nilai yang terpenting sekaligus khas adalah inklusivitas. Sikap inklusif harus kita tanam sebagai paradigma perjuangan, kapan dan dimanapun berada. Dengan demikian, kita tidak akan terpaku pada kotak-kotak golongan dan identitas. Jangan menuhankan identitas! Tidak sekali dua kali, lulusan IAIN-UIN mampu memediasi dan menjadi penengah di antara ketegangan sektoral. Inilah spritualitas baru di normal baru yang diharapkan. Sehingga, dalam perjuangan kita bisa berkolaborasi dengan IAIN/UIN lainnya bahkan sangat mungkin dengan berbagai Instansi lain yang memperjuangkan nilai-nilai yang serupa. Begitu kira-kira pesan beliau.

Untuk menyukseskan militansi yang berbasis pada nilai dan bukan identitas semata, maka solidaritas dan empati adalah dua senjata yang harus ditanamkan. Dua senjata ini disampaikan dengan penuh khidmat dan kebijaksanaan oleh Prof. Dr. Nizar Ali. Dengan solidaritas, kita tidak pernah merasa sendiri dalam berjuang. Pun Langkah-langkah yang diambil pasti dengan pertimbangan dan penuh kekuatan. Sedangkan dengan empati, sikap mementingkan identitas dan golongan akan dapat ditekan bahkan ditinggalkan. Selama ini, lanjut Pak Nizar, ego sektoral bahkan di bidang pendidikan masih terasa.

Pentingnya militansi ini selanjutnya digambarkan secara ciamik oleh Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Pak Agus Maftuh Abu Jibril. Dengan menyetir satu bait dari Alfiyah Ibnu Malik, beliau menekankan paradigma “Nahnuwiyah”/ ke-kita-an. Oleh karenanya, tidak ada dia, mereka, saya, maupun kamu. Semua harus bersama-sama menjadi “nahnu” dan menjadi kata ganti “na” sebagaimana bait berikut:

Baca Juga  Bincang Konflik Agama, Kemenag-Unicef Gelar Dialog Nasional Bersama Sejumlah Media Nasional di Islami Fest 2023

لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّ نَا صَلَحْ * كَاعْرِفْ بِنَا فَإنَّنَا نِلْنَا الْمِنَحْ

Dhamir “na”/kita tentu sangat istimewa. Makna filosofisnya, kata ganti ini bisa menempati posisi rafa’, nasab, dan jar tanpa kehilangan ketersambungannya dan bentuknya. Artinya, dengan menjadi “kita” maka perjuangan dan gerakan kita tetap, dan tidak berubah. Bagi Pak Maftuh, semua yang disematkan pada diri kita saat ini, entah rektor, Dubes, Kepala Bagian dan sebagainya hanyalah sementara, sedangkan yang “tetap” adalah nilai-nilai ke Sunan Kalijagaan kita. Yang tetap tidak dapat diubah oleh yang tidak tetap (ghairu mutanahiyah la yutagayyar bi al-mutanahiyah).

Arah perjuangan Ikasuka selanjutnya semakin membumi tatkala Pak Yai Imam Aziz memberikan pandangannya. Usia boleh saja menua, tapi gagasan dan tatapan beliau tetap saja progresif dan aktual. Bagi Yai Imam, alumni IAIN-UIN Sunan Kaljiaga tidak boleh hanya terjun di mimbar akademik saja. Wilayah lain perlu kita garap bersama. Bukan berarti selama ini belum ada, tetapi kita luput memperhatikan dan mengawal perjuangan kawan-kawan kita. Alumni perlu merumuskan gerakan dan Langkah-langkah strategis di bidang ekonomi dalam menghadapi program Indonesia Maju. Pun di sektor-sektor lain yang tidak kalah pentingnya, pegiat seni, politisi, dan jangan lupa para pegiat media sosial. Ingat, zaman sekarang mulai bergeser dari citizen menuju netizen. Penguasaan terhadap media adalah keniscayaan bahkan kewajiban.

Gagasan-gagasan di atas tentu selanjutnya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Ikasuka. Masih ada gagasan-gasan lain dari Dubes Aljazair Sahira Mahrusah, Prof Ema Marhumah, dan yang lainnya. Hujan belum juga reda tapi badan sudah menggigil, begitu pula haus dan dahaga yang telah terobati. Segera saja ku akhiri dan biarkan hujan terus berlangsung. Semoga air-airnya kelak menumbukan pohon perjuangan yang tidak hanya kokoh, tapi juga menyegarkan. Atau setidaknya biarlah perahu Ikasuka mulai berselancar dengan nahkoda Ketum Pak Saiful Bahri Anshori dan Sekjen Dr. Rozaki.  [HM]

Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin