Di tengah khusyuknya sebagian besar masyarakat Indonesia menjalani ibadah puas di 7 hari terakhir bulan Ramadhan terjadi peristiwa memilukan. Pemerintah Kabupaten Garut melakukan tindakan inkonstitusional dengan menutup masjid di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada 06 Mei 2021.
Peristiwa itu bermula pada tanggal 25 April sekelompok orang yang bukan warga Nyalindung mendatangi lokasi masjid yang sedang dibangun oleh Jemaah Ahmadiyah (Pikiran Rakyat). Mereka meminta agar pembangunan tersebut dihentikan. Selanjutnya, pada tanggal 29 April ada penanda warna kuning di setiap rumah warga non-Ahmadiyah. Puncaknya pada tanggal 06 Mei pemerintah daerah dengan semena-mena menutup masjid tersebut.
Hal ini tentu mencederai semangat kebangsaan dan keberagamaan yang telah menjadi bagian tak teprisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, penutupan masjid dilakukan saat umat muslim tengah melaksanakan salah satu rukun Islam, yaitu berpuasa di bulan Ramadhan.
Pemkab Garut berkilah penutupan itu berdasarkan SKB 3 Menteri 2008 dan Pergub No. 12 tahun 2011. Padahal kedua landasan yang dimaksud sama sekali tidak mencantumkan diperbolehkannya menutup masjid. Karenanya, tindakan Pemkab Garut sangat bertentangan dengan konstitusi dan merupakan bentuk diskriminasi yang menodai asas keadilan.
Jemaah Ahmadiyah kerap menjadi sasaran penyerangan baik oleh pemerintah atau pun kelompok vigilante karena dianggap menyimpang. Padahal konstitusi menegaskan bahwa negara harus melindungi warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itu Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, mengecam tindakan sewenang-wenang Pemkab Garut yang menutup paksa masjid Jamaah Ahamdiyah.
Kedua, meminta agar Pemkab Gartu mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah, bukan justru menutupnya. Pemkab juga harus memfasilitasi perlindungan bagi warga Ahmadiyah agar bisa menjalankan ibadahnya dengan aman dan nyaman. Bupati Garut sebagai representasi negara harus menjalankan amanat konstitusi, melindungi dan menghormati hak asasi manusia termasuk kebebasan (kemerdekaan) beragama dan berkeyakinan setiap warga negara.
Ketiga, meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang rawan disalahgunakan untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap penganut Ahmadiyah.
Selain itu pemerintah perlu mencabut SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah karena menyebabkan banyaknya rumah ibadah yang dipaksa tutup.
Keempat, meminta Gubernur Jawa Barat untuk merevisi atau bahkan mencabut Pergub No. 12 tahun 2011 yang mencederai semangat kebebasan beragama dan berkeyakinan. Gubernur harus menjamin warganya untuk bisa beribadah sesuai agama dan keyakinan sebagaimana amanah konstitusi.
Kelima, meminta tokoh agama untuk mengdukasi umatnya untuk menjaga semangat keberagaman sebagai sunnatullah. Apalagi sejak tahun 2020 Kementerian Agama RI melakukan berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis.
Keenam, mengajak segenap masyarakat untuk menjaga kehidupan yang bermartabat, adil, dan harmonis. Perbedaan bukanlah alasan untuk membenci atau bahkan menyakiti satu sama lain.
Ketujuh, mengajak seluruh keluarga besar Jaringan GUSDURian untuk terus merawat semangat kebinekaan dengan melakukan berbagai promosi toleransi yang berasaskan keadilan di berbagai ruang. Sebagaimana pernah diungkapkan Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan merupakan ilus.
Yogyakarta, 07 Mei 2021
Alissa Wahid
Koordinator Jaringan GUSDURian