Belum genap seminggu memasuki bulan suci, kita sudah disuguhi dengan video yang sungguh memilukan. Bagaimana tidak, sekelompok jamaah di Pare-pare Sulewasi Selatan tertangkap kamera memaksa untuk tetap melaksanakan salat jamaah di masjid dengan cara-cara yang kurang beradab.
Video yang kemudian viral dan diberitakan di berbagai media memperlihatkan dengan gamblang bagaimana kekokohan pagar masjid dibuat tak berdaya dengan keterampilan memanjat beberapa laki-laki, bahkan perempuan. Tidak tanggung-tanggung, mereka mampu melakukannya dengan cosplay seperangkat alat salat.
Tentu, ini bukan aksi para suporter bola yang memaksa masuk stadion tanpa tiket. Atau cara-cara anak SMA menerobos gerbang sekolah dari kejaran lawan saat tawuran. Tetapi ini tentang Masjid. Tempat suci yang kita sepakati sebagai rumah Allah. Juga tentang hamba yang berhasrat mengabdi dan bertemu Tuhannya. Jadi, ini tentang niat baik dan mulia yang terdistorsi oleh cara-cara kurang elok.
Maka, makna apa yang dapat kita pahami dari pertunjukan heroik tapi konyol itu?
Bisa saja kita husnuddzon aksi tersebut sebagai bentuk ekspresi keimanan yang teramat kuat, sehingga himbauan pemerintah dan takmir setempat tak mampu membendung gairahnya. Ini merupakan ekspresi kerinduan yang membuncah karena terawih hanya dapat dilakukan pada satu bulan tertentu, tidak dengan bulan-bulan lainnya.
Sebaliknya, bagaimana kalau kita menganggapnya sebagai bentuk kecerobohan yang didasarkan atas ego keagamaan? Atau bahkan menuduh tindakan mereka tidak lebih sebagai “kedunguan” dalam berislam? Anggapan yang tidak bisa disalahkan, meski kesahihannya juga masih absurd karena peristiwa ini melibatkan beragam hati dan pemikiran; tidak hanya satu orang.
Yang pasti, mereka adalah saudara seiman dan seislam kita. Baik dan buruknya peristiwa ini harus dikembalikan ke kita. Bahkan, jika ada anggapan miring dan cemoohan terhadap peristiwa ini sudah selayaknya kita semua mengoreksi pandangan keagamaan dan cara bergama kita.
Kembali ke Masjid, tampaknya ada yang perlu dikoreksi dari pemahaman kita tentang masjid. Tentu saya tidak ingin bercerita bagaimana nasib Kanjeng Nabi beserta para sahabat ketika belum bisa membangun sebuah tempat ibadah yang kemudian sekarang disebut Masjid. Bangunan yang dalam perkembangannya dapat dijumpai sebagi bentuk kemegahan sosial dan peradaban umat Islam.
Semakin artistik, semakin tinggi pula nilai keindahan dan peradaban sebuah masjid. Semakin bertambah jumlah masjid, semakin banyak pula penganut agama Islam di sebuah daerah tersebut. Sebuah pemahaman semu yang, bagi sebagian orang, dapat dibenarkan.
Akan tetapi, jika dikembalikan kepada fungsi relijiusitasnya, apakah keberadaan dan kemeriahan masjid menjadi bukti kemapanan tingkat penghambaan seseorang kepada Tuhannya? Sebaliknya, apakah dengan tanpa masjid, seseorang tidak dapat menyalurkan pengabdian dan bukti ketaatannya terhadap Tuhan?
Pertanyaan yang mestinya dapat dijawab oleh para cendikiawan muslim, terutama oleh Lembaga-lembaga yang berkepentingan secara langsung seperti Kementrian Agama, Majelis Ulama Indonesia, wa bil khusus Dewan Masjid Indonesia. Jangan-jangan mereka lupa menyampaikan pemahaman yang paling mendasar ini kepada umat Islam. Atau, justru hal ini sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka.
Sebagai sesama muslim, kita hanya dapat saling menasehati (tawashau bil haqq) dan mengingat-ingat kembali bahwa fungsi utama masjid tidak lain adalah tempat kita untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah. Sebagai sebuah tempat, sudah selayaknya kita memposisikannya secara proporsional dan bahkan situasional.
Dalam keadaan yang normal, sebisa mungkin peribadatan dan penghambaan kepada Allah dilakukan di tempat yang suci dan mulia ini, Masjid. Tetapi dalam situasi-situasi tertentu seperti saat wabah ini, alangkah lebih bijak jika kita salat dan berjamaah di rumah dengan tanpa mengurangi rasa ketaatan dan pengadian terhadap Sang Maha Kuasa.
Terlebih lagi, dalam sebuah riwayat, nabi menyatakan “al-Ardhu kulluha Masjidun” artinya, bumi dan seluruh isinya adalah masjid. Artinya, kita dapat menghadirkan masjid di mana saja. Sehingga ritual-ritual keagamaan dapat dilakukan di rumah, di halaman, di tanah lapang, dan di atas bumi Allah manapun yang notabene merupakan masjid, tempat bersujud.
Tentu, makna hadis ini bukan merujuk kepada jalan-jalan protokoler yang disepakati ulama sebagi tempat yang tidak baik digunakan untuk salat karena selain mengancam jiwa, hal tersebut juga mengganggu ketertiban. Maka, tidak perlu kemudian seorang muslim memaksa mendobrak pintu masjid yang tertutup karena sejatinya masjid tidak pernah tertutup.
Terakhir, kita mesti menundukkan kepala atas peristiwa ini. Manusia yang dengan segenap perangkat hati dan pikiran seolah dibuat gagap hanya karena adanya larangan ke Masjid. Seolah-olah, tanpa masjid seorang muslim tak dapat bertasbih dan bersujud kepada Allah swt.
Kita layak malu, malu semalu-malunya pada rumput yang bergoyang, tumbuhan, bintang, bulan, bumi, planet-planet, matahari serta makhluk Allah lainnya yang tanpa dilabeli khalifah tetap mampu bersujud dan bertashbih hanya kepada Allah swt. Makhluk-makhluk ini sama sekali tidak pernah protes meski tidak ada masjid khusus bagi mereka.
Yusabbihu lillahi ma fi Samawati wa ma fial-ardhi lahu al-Mulku wa lahu al-hamdu wa Huwa ala kulli Sayi’in Qadir. (AA)