Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Cyberreligion: Ekspresi Keberagamaan di Era Klik

2 min read

Fenomena cyberreligion bukan saja terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara lain. Dalam penelitian Stewart Hoover dari University of Colorado di Boulder menemukan bahwa alasan orang hidup di dunia virtual adalah alasan spiritual pribadi termasuk mencari di luar tradisi mereka. Menariknya, data dari We Are Social pada tahun 2020 terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia dengan populasi 272,1 jiwa.

Internet sebagai new media mampu mengalihkan sinyal interaksi masyarakat. Bangunan interaksi dan komunikasi bergeser sampai menciptakan perubahan pola interaksi ini mempengaruhi gaya hidup, karakter, dan perilaku penggunanya, terutama generasi milenial. Tentu kita ingat kemunculan Gus Baha sampai Gus Iqdam akhir-akhir ini di ruang digital.

Dua sosok kiai muda NU ini tampil dengan ciri khas masing-masing dan memiliki pengikut yang juga beragam. Gus Baha tampil dengan khas kiai yang sederhana, tetapi kapasitas keilmuannya cukup luas dan mendalam. Sehingga pengguna media sosial mampu menyimak pemaparannya dengan baik. Begitupun ketika bicara sosok Gus Iqdam, lebih unik lagi karena jamaahnya cukup beragam, lintas budaya dan agama.

Di sini, saya tidak akan jauh-jauh membahas perihal model dakwah dua kiai di atas, melainkan sejauh mana publik turut hadir dan merespon keberagamaan di media sosial. Keberagamaan sendiri adalah kesadaran diri individu sebagai umat beragama dalam mengekspresikan ajaran agama masing-masing. Dan yang jelas setiap individu berbeda-beda model beragamanya.

Cyberreligion dalam pandangan Brenda Brasher’s dimaknai sebagai kehadiran institusi dan aktivitas keagamaan di dunia internet. Lebih jauh, Lorne L. Dawon memaknai cyberreligion sebagai sebuah organisasi atau kelompok keagamaan yang kehidupannya berada di lingkungan siber atau dunia maya. Artinya, baik individu, lembaga atau institusi agama yang sudah bergeser pada ruang internet.

Baca Juga  Ustaz “Gimmick” dan Bisnis Agama

Tak heran, bila anak-anak muda hari ini referensinya mengambil dari quotes instagram, twitter, dan YouTube. Hal ini tentu berangkat dari fenomena yang disinggung di atas. Mereka lebih banyak hidup dan berinteraksi dengan dunia maya. Hampir separuh dari hidup orang-orang era klik ini justru berada di antara jaringan internet. Sehingga internet dijadikan sebagai rumah pulang sekaligus ruang untuk mengekspresikan segala aktivitas, tak terkecuali juga model beragama.

Kecenderungan manusia digital (orang yang sehari-hari hidup di dunia virtual) ingin terus eksis dan dianggap ada oleh followers dan teman-teman virtualnya dengan update atau tampil mengikuti algoritma media sosial. Dari sinilah praktik agama menjadi semakin lentur, disesuaikan dengan pola kerja media dan karakter penggunanya.

Agama tidak lagi saklek, yang berada di luar pakem media sosial. Melainkan agama turut dimaknai dan dipahami sebagai sesuatu yang terus hadir sesuai konteks zamannya. Di sini, tampilan belajar agama sudah hadir di ruang digital. Siapapun bisa mengakses teks-teks keagamaan, belajar dan mendiskusikan keberagamaan di media sosial sering dijumpai dewasa ini.

Hal ini dapat dilihat dari live YouTube Gus Iqdam, Gus Baha, Gus Mus dan Gus Ulil. Ruang-ruang semacam ini memberi sinyal bahwa ngaji keagamaan seperti santri di pesantren juga bisa dilakukan oleh orang luar, diakses oleh semua kalangan. Di sini saya kira orang-orang pesantren dan pemikir Islam untuk turut memberikan warna keberagamaan yang rahmatan lil alamin.

Terakhir saya akan mengutip pendapat Allport yang membagi sikap keberagamaan seseorang pada dua sikap: pertama sikap keberagamaan ekstrinsik dan kedua sikap keberagamaan intrinsik. Yang pertama tentu memposisikan agama sebagai something to use but not to live. Di sini agama ditempatkan pada ruang bernama alat untuk mencapai motif sesuatu, misal untuk dihormati, dipuji dan lain-lain.

Baca Juga  Ibadah dan Pamrih Sosiologis

Sedangkan sikap kedua menempatkan agama sebagai kekuatan yang justru memberi kontrol. Agama bisa mengontrol hidup pemeluknya. Artinya, agama sudah dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dua sikap di atas tidak bisa dibenturkan satu sama lain. Justru sejauh mana keberagamaan kita di ruang virtual ini selaras dengan nilai-nilai agama yang sudah diajarkan oleh ulama dan kiai.

Sejauh ini, ekspresi keberagamaan ini masih terlihat abu-abu. Barangkali karena media sosial sudah mengontrol algoritma kehidupan kita. Bayangkan, ketika di media sosial meng­-klik konten yang moderat, maka tampilan media sosial kita justrus dipenuhi dengan keberagamaan yang moderat pula, dan tentu sebaliknya. Di sinilah kita perlu bijak dalam bermedia sosial dan mulai belajar memilah siapa saja kiai, ustaz dan ulama yang menjadi rujukan keberagamaan.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta