An-naas ajnaas, peribahasa Arab ini benar maknanya, bahwa manusia itu banyak jenisnya. Kata ustaz jika di Mesir berarti merujuk pada soso professor sedangkan di negri kita merujuk pada sosok guru atau seorang ahli di bidnag agama. Namun, lagi-lagi di negri kita, uztaz pun jenisnya juga beraneka ragam. Minimal terbagi dua; pertama, ustaz asli yang benar-benar mendalam ilmunya dan mengamalkannya; dan kedua, ustadz gadungan, yaitu mereka yang sok tahu agama dan seringkali menyertakan hawa nafsu dalam menjelaskan agama demi mencari keuntungan dunia.
Kata “ustadz” yang semula berasal dari Bahasa Persia diserap ke dalam Bahasa Arab dengan makna “orang yang mengetahui sesuatu (العالم بالشيء )”, sebagaimana telah dijelaskan secara singkat oleh al-Syaikh Dahlan al-Jampesi al-Kediri dalam kitab Siraj al-Thalibin–sebuah kitab yang terdiri dari dua jilid besar, masing-masing terdiri dari ratusan halaman–yang merupakan syarah (komentar penjelas) atas kitab dalam disiplin ilmu tashawwuf, Minhajul ‘Abidin, yang ditulis oleh al-Imam al-Ghazali al-Thusi (450 H. – 505 H.).
Siapapun yang dijuluki “ustaz” dengan demikian seharusnya sudah pernah malang melintang dalam dunia pencarian ilmu sehingga menjadi spesialis dalam disiplin ilmu yang benar-benar dikuasainya. Sehingga, kelak apa saja yang disampaikannya terutama yang berkaitan dengan ajaran agama benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bukan sebagaimana ustaz gadungan yang menyampaikan apa saja terkait ajaran agama semaunya, bebas, mengikuti dorongan hawa nafsu untuk tujuan duniawi seperti popularitas, penumpukan harta benda, dan meraih kekuasaan.
Dunia per-ustaz-an kita memang amat memprihatinkan. Selain tidak jelas ukuran dan kriterianya, masyarakat awam justru begitu mudah menjuluki seseorang dengan gelar ini, ditambah berjubelnya orang yang ambisius ingin dipanggil sebagai ustaz. Ujungnya, orang dengan gelar ustaz semakin berserakan yang pada hakikatnya kurang pantas menyandang julukan ustaz karena belum terbukti kedalaman ilmu agamanya dan sikap bijaksananya, tidak memiliki spesialisasi dalam disiplin ilmu agama, tidak jelas kepada siapa ia belajar ilmu agama.
Pun demikian, mereka ini juga tidak memiliki referensi yang otoritatif sebagai pedoman dalam beragama, hanya bermodal Alquran dan terjemahnya dengan bermodal sedikit ayat dan sepotong hadis yang ironinya sering keliru baik dalam hal bacaan maupun penafisran. Apesnya, ustaz jenisini justru telah berani menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Akibatnya, salah paham dan paham yang salah tentang agama merata di mana-mana. Karena merekalah kehidupan manusia menjadi semakin gaduh, sehingga citra agama semakin terpuruk, menjadi buruk, tidak bermanfaat bagi kemanusiaan, dan tidak pula membawa manfaat besar bagi kehidupan yang membahagiakan, baik di dunia maupun akhirat. Dan, karena mereka yang sok tahu agama pula lah, substansi agama menjad padam, kehilangan “cahaya” penerang untuk menapaki jalan dalam belantara kehidupan. [AA]