Jamalul Muttaqin Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pengajar di SMP-SMA Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta

Cara Menggapai Kebahagiaan Sejati Menurut Filsuf Muslim Al-Farabi

2 min read

Jika ingin mengenal konsep kebahagiaan, pemikiran al-Fārabi adalah salah satu yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Ia mempunyai dua karya menuturkan tentang kebahagiaan, yakni at Tanbih ala Sabilil -Sa’ādah dan Tahsilus Sa’ādah.

Menurut al-Fārabi, kebahagiaan (sa’ādah) tidak sama dengan kenikmatan (al-ladzāh) karena dimensi yang kedua (kenikmatan) hanya sebatas perantara untuk mencapai kebahagiaan. Kenikmaan sendiri bersifat temporer, tidak abadi, selalu berubah sesuai dengan kehendak subjektivitas diri. Sehingga, kenikmatan yang bersifat duniawi (tidak abadi), menurut al-Fārabi harus dinaikkan levelnya menjadi ibadah, sehingga kenikmatan tersebut lebih abadi, bisa dirasakan kelak di akhirat.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kebahagiaan dibagi menjadi dua: lahir dan batin. Dua kebahagian itu dalam Islam dikenal dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Membagi kebahagiaan antara jasmani dan rohani itu artinya telah membagi konsep teoritis untuk mencapai dua hakikat kebahagiaan masing-masing.

Secara lebih teoritis al-Fārabi menjelaskan kebahagiaan sebagai “Absolute Good” (kebaikan mutlak), yakni kebaikan yang dinginkan untuk kebaikan itu sendiri—tidak ada hal yang lain untuk diraih selain kebahagiaan. Maka, pada dimensi pencapaian ini al-Fārabi mengoptimalisasikan daya-daya dalam diri manusia, daya tersebut melimuti: potensi gerak, mengetahui dan berfikir. Tiga daya tersebut adalah sumber dari kebahagiaan yang dipaparkan al-Fārabi dalam kitabnya.

Semakin lama manusia mengembara, mencari dalil-dalil, mencari teori-teori, dan mencari alasan-alasan, semakin jauh tersesat dalam belantara hikmah yang sejati. Ia menemukan tapi tidak merasakan. Karena, kebenaran yang sejati sebenarnya ada di luar batas kemampuan nalar manusia—menembus dinding-dinding pengetahuan—yang tampak sebagai kemegahan yang dimiliki oleh manusia yang pada dasarnya adalah kelemahan yang ditampakkan.

Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah untuk bahagia, maka menggunakan semua fungsi-fungsi organ yang ada dalam tubuh manusia untuk mencapai kebahagiaan itu sangat mungkin dan bisa untuk dilakukan. Berjejak dari pemahaman inilah al-Fārabi menjelaskan secara teoritis untuk menggunakan daya-daya manusia yang telah saya sebutkan sebelumnya untuk menggapai kebahagiaan.

Baca Juga  Konsep "Negara Islam" Itu Sekuler

Pertama, al-Farabi membahas daya jiwa sebagai sumber pencapaian. Jiwa memiliki daya-daya, diantaranya: daya gerak bersifat instingtif, daya mengetahui atau intellegency, daya berfikir yang terdiri dari dua akal: pertama, akal praktis yang berfungsi menyimpulkan sesuatu yang seharusya dikerjakan. Kedua, akal teoritis yang berfungsi membantu menyempurnakan jiwa manusia.

Kedua, kebahagiaan sosial, sebut al-Farabi sebagai wujud dari kebahagiaan individu itu sendiri. Manusia dituntut untuk merasa ‘saling’ daripada ‘paling’. Saling bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan bersama atau sosial, itulah yang menghantarkan al-Farabi sebagai pemikir politik dengan paradigma negara ideal al-Madinah al-Fādilah. Kota menjadi bahagia menurutnya ketika empat hal telah terpenuhi.

Kategori kebahagiaan sosial itu terdiri dari al-Ijtima’ al-fādil, al-mādinah al-fadīlah, al-ma’munah al-fadīlah. Menurutnya, kebahagiaan individu tidak akan sempurnah ketika kebahagiaan kelompok tidak tercapai, kebahagiaan kelompok tidak akan sempurnah ketika kebahagiaan kotanya tidak tercapai, dan seterusya.

Ketiga, mencapai kebahagiaan puncak. Menurut al-Fārabi kebahagian puncak bisa tercapai oleh manusia apabila manusia mampu melakukan peleburan keutamaan-keutamaan yang ada, dari keutamaan teoritis, berfikir, moral dan praktis-kreatif.

Ketika manusia mampu mengoptimalkan semua keutamaan tersebut maka manusia akan mampu mencapai kebahagiaan puncak atau kebahagiaan tertinggi. Tentu untuk mengurai-jelaskan tentang kebahagian puncak al-Fārabi membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Dalam membahas kebahagiaan al-Fārabi berusaha menggunakan pendekatan filsafat dan agama; memadukan antara potensi akal dan wahyu. Kenyataanya, al-Fārabi lebih banyak menggunakan pendekatan agama, karena kebahagian lebih dekat dengan rasa dan hati nurani dibandingkan dengan rasio.

Secara keseluruhan, al-Fārabi ingin menegaskan bahwa, manusia dapat memperoleh kebahagiaan sejati apabila menyadari bahwa dalam dirinya ada potensi-potensi yang dapat menghantakan kepada kebahagiaan dan ada empat keutamaan yang tidak pernah dimiliki oleh makhluk-makhluk yang lain. Wallahua’lam… [AA]

Jamalul Muttaqin Mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pengajar di SMP-SMA Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta