Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Membangun Peradaban Islam

3 min read

Di Indonesia, tidak jarang kita mendengar berita bahwa ada sebuah organisasi atau perkumpulan yang mempunyai target akan mencetak sekian juta penghafal Al-Qur’an. Tentu, yang demikian merupakan suatu bentuk upaya yang mulia. Akan tetapi, ketahuilah bahwa penghafal Al-Qur’an di Indonesia sudah sekitar lebih dari 30.000 orang. Angka tersebut menunjukkan jumlah yang cukup banyak. Bahkan dikutip dari Republika.co.id, jumlah penghafal Al-Qur’an di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Tapi, apa dampaknya bagi Indonesia?

Generasi sahabat adalah generasi terbaik. Jumlah para sahabat dengan populasi muslim saat ini tentu sangat kalah jauh. Akan tetapi, walau demikian, para sahabat yang sedikit mampu menebarkan pengaruh Keislaman hingga ke Imperium Persia dan Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Mempelajari dan merealisasikan Al-Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan secara konsekuen, tidak hanya dihafalkan dan dilafalkan dengan fasih, itulah yang menjadikan para sahabat sebagai generasi terbaik.

Al-Qur’an dan Sunnah yang merasuk dalam pikiran dan mewujud dalam perbuatan, menjadi semangat bagi para sahabat. Bangsa Arab, sebelum kedatangan Nabi Muhammad yang kemudian mewariskan Al-Qur’an dan Sunnah, dianggap remeh oleh bangsa lain karena dikenal sebagai bangsa yang bodoh dan barbar. Akan tetapi, setelah kedatangan beliau dan tertancapkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam jiwa para sahabat, mulut dunia ternganga. Hanya dalam waktu kurang dari satu abad, peradaban Islam sanggup menggusur eksistensi Persia dan Romawi dalam menguasai peradaban pada masa itu.

Bagaimana dengan peradaban Islam sekarang? Apa kontribusi umat Islam pada perkembangan peradaban dunia dewasa ini? Sampai sejauhmana kontribusi masyarakat Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi?

Pakaian sehari-hari kita mungkin saja berlabel merk-merk yang dibuat oleh orang-orang Islam. Namun, bagaimana proses pembuatannya? Apakah teknologi yang digunakan untuk membuatnya berasal dari orang-orang Islam? Ataukah dari orang-orang bukan Islam? Ketika orang Islam tidak mampu membuat mesin untuk membuat kain; apalagi soal gadget, artificial intelligence, penjelajahan luar angkasa dan sebagainya.

Baca Juga  Di Hadapan Mereka, Saya Malu (2): ARUNA, Making the Sea a Better Livelihood for All

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang secara langsung tidak langsung memerintahkan umat Islam untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Kita tahu ada ayatnya, tidak jarang juga yang hafal; tapi adakah yang benar-benar mengimplementasikan?

Kalau memang iya, maka orang-orang Islam pasti akan habis-habisan konsen di fisika, matematika, biologi, astronomi, geografi; karena itu adalah pelajaran-pelajaran atau ilmu-ilmu yang mendorong kita untuk mentadaburi alam, untuk bertafakur terhadap tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Namun pada kenyataannya, tidak jarang kita mendengar perkataan, “sudah lah, nggak usah belajar fisika, itu mah nggak akan membawa kita masuk surga… ngapain pusing-pusing soal matematika, Munkar Nakir nggak akan nanyain soal-soal matematika di kubur kok…

Mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan di-nggak usah-kan? Mengindahkan seruan Tuhan di-ngapain-kan? Yang harus dikerjakan menghafal ayat-ayat itu saja kah?

Tidak heran, sempat kejadian pada jamaah haji Indonesia yang jika hendak berangkat ke Tanah Suci harus divaksin babi dulu. Kenapa? karena di Arab Saudi didapati penyakit meningitis yang berbahaya bagi kita. Maka, untuk menyelamatkan nyawa kita, kita harus divaksin. Sayangnya, karena orang Islam tidak bisa membuat vaksin, maka vaksin itu harus diminta ke negara lain, mungkin Belgia atau Italia, yang mana negaranya itu adalah non muslim, maka wajar saja kalau mereka menggunakan babi.

Tetapi, orang-orang Islam langsung, ulama-ulamanya berfatwa “ya sudah, karena darurat, tidak jadi masalah bagi umat Islam untuk menggunakannya”. Jadi, banyak orang-orang Islam yang sebelum berhaji itu tubuhnya bersih dari babi, tetapi setelah pulang dari haji malah terkandung babi dalam tubuhnya. Kenapa seperti itu? karena orang Islam tidak bisa bikin vaksin. Kenapa? Karena ayat-ayat tentang mempelajari ilmu kealaman dan teknologi, semua itu dihafal; sedang bagian penerapan, orang Islam selalu saja menghindar.

Baca Juga  Mengenal Kolonel Bakri Syahid, Seorang Mufasir dari Kalangan Militer

Di dalam Islam kita diserukan menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi. Kalau kita mau mengindahkan seruan itu, sudah seharusnya kita kuasai teknologi, media massa, kedirgantaraan, kemaritiman, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Karena dengan seperti itu, kita bisa benar-benar memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat. Kita bisa menaungi orang-orang yang kelaparan, mengentaskan kemiskinan, menyelamatkan lingkungan dari polusi; dan bantuan yang kita berikan itu adalah bantuan yang sangat signifikan, bukan sekadar bantuan yang hanya cukup untuk sehari dua hari itu saja.

Kenapa harus seperti itu? karena Tuhan yang memerintahkan. Akan tetapi, setiap mau belajar teknologi, informatika, ekonomi; “itu ilmu dunia… yang baik dan yang lebih penting itu adalah soal fa’ala-yaf’alu-fa’lan, dharaba-yadhribu-drumband…” Ketika belajar matematika dianggap tidak penting, ketika belajar Fisika dianggap ilmu dunia; yang penting dan harus dipelajari adalah ilmu fiqih, nahwu, shorof, dan sejenisnya yang dianggap sebagai ilmu akhirat.

Sibuk mengejar ilmu dunia, sudahkah sibuk mencari ilmu akhirat? Sejak kapan Islam memisah ilmu dunia dan ilmu akhirat? Ilmu fisika untuk mengungkap tanda-tanda kebesaran Tuhan, ilmu kimia untuk meracik vaksin tanpa babi, teknik sipil untuk membangun masjid dan madrasah; upaya untuk menerapkan syariat-syariat Islam malah dikatakan ilmu dunia? Upaya untuk mengimplementasikan Al-Qur’an dan Sunnah dipandang sebelah mata? Tidak herans, pada akhirnya Islam sekarang runtuh.

Untuk beribadah, kita sangat tergantung pada orang-orang kafir. Mau adzan yang harus pakai pengeras suara, pengeras suara itu bukan buatan muslim. Mau berwudhu, pompa air, pipa, kran, dan sebagainya bukan buatan muslim. Mau zakat, alat hitung dan timbangnya bukan buatan muslim. Mau haji, berangkatnya menggunakan pesawat yang bukan buatan muslim. Merestorasi Masjidil Haram, kita pun menggunakan teknologi non-muslim. Kita melakukan ini dan itu seluruhnya tergantung pada orang-orang non-muslim, tetapi di sisi lain kita teriak kafir kafir kafir? Kan jadi tidak tahu diri kita itu.

Baca Juga  Menjadi Muslim yang Toleran

Maka dari itu, marilah kita berupaya untuk berkontribusi terhadap peradaban dunia, karena itulah yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an, itulah yang diperintahkan oleh Allah. Semua dalil-dalil yang ada itu, bukan hanya dipelajari lantas dihafal; tetapi yang paling harus adalah untuk dipahami kemudian dilaksanakan.

Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

يَخْرُجُ نَاسٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، ثُمَّ لاَ يَعُودُونَ فِيهِ حَتَّى يَعُودَ السَّهْمُ إِلَى فُوقِهِ

Artinya: “Akan keluar manusia dari arah Timur dan membaca AlQur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya” (HR. Bukhari)

Semoga kita tidak termasuk yang seperti itu dan jangan sampai menjadi seperti itu. Oleh karena itu, marilah kita sekarang menjalankan syariat Islam dengan cara berjihad, mengeluarkan seluruh potensi yang ada pada diri kita untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. (mmsm)

 

Mohamad Khusnial Muhtar Santri dan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya