M Luthfi Ubaidillah Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon

Belajar Perang dengan Hati ala Shalahuddin al Ayyubi

3 min read

 

Kaum Muslim dengan Kristen pernah melakukan peperangan atas nama agama di wilayah al Aqsha. Perang ini dikenal dengan sebutan perang Salib. Konon, kaum Muslimin lebih senang menyebut perang ini dengan “Sabil” yang artinya jalan. Maksudnya, peperangan di jalan Allah. Beberapa kali perang ini dilakukan dan silih berganti dimenangkan oleh tiap kelompok.

Perang Salib ke tiga terjadi pada Tahun (1189–1192 M), pasukan Muslim dipimpin oleh Shalahuddin al Ayubi. Sedangkan pasukan Kristen dipimpin Raja Richard, yang bergelar The Lion Heart. Ketika perang ini terjadi, tersiar kabar Raja Richard mengalami sakit keras. Beberapa tabib berusaha untuk mengobatinya, tetapi kondisi Raja tidak kunjung sembuh. Kabar ini terdengar sampai ke telinga pemimpin pasukan Islam.

Mendengar kabar ini, Shalahuddin memutuskan untuk menghentikan peperangan. Beberapa bawahannya menunjukkan sikap ketidaksetujuannya. Tetapi, Shalahuddin tetap pada keputusannya untuk menghentikan peperangan dalam beberapa waktu hingga pemimpin pasukan Kristen sembuh dari sakitnya.

Beberapa hari kemudian datang kabar dari pasukan musuh menyebutkan sakit yang diderita Raja Richard semakin keras. Shalahuddin yang juga memiliki keahlian dibidang kedokteran dan farmasi mengambil inisiatif. Ia menyuruh pengawalnya untuk mencarikan busana yang sudah lusuh dan bisa menutupi sebagian wajahya. Busana yang diinginkannya pun didapat, kemudian dipakainya.

Dengan busana itu ia berjalan menuju area pasukan Kristen untuk mendekati tenda Raja Richard. Para penjaga tenda menanyakan kedatangannya di tenda itu: “Anda siapa?” Shalahuddin menjawab:”Aku hanya hamba Tuhan.” “Ada kepentingan apa kau mendekati tenda ini”.”Aku mendengar kabar Raja Richard mengalami sakit keras. Aku sedikit memiliki pengetahuan medis, barangkali bisa membantu menyembuhkan paduka raja”. “Memang Raja Richard mengalami sakit keras.

Beberapa tabib telah didatangkan untuk mengobatinya, tetapi sakitnya tak kunjung sembuh. Jika kau memang memiliki kemampuan medis akan aku sampaikan ke paduka Raja, apakah ia berkenan untuk menerimamu atau tidak”. “Baik”.

Baca Juga  Musuh Kebebasan Pers, Buzzer atau Segelintir Pemilik Modal?

Beberapa saat kemudian si penjaga tenda mempersilahkan Shalahuddin memasuki tenda raja Richard. “Paduka mempersilahkanmu untuk mengobatinya”. Dengan memakai busana penyamaranya, Shalahuddin memasuki tenda raja Richard. Ia mendapati Raja Richard terbaring di tempat tidur tanpa daya. Dengan membawa beberapa alat medis, Shalahuddin mencoba memeriksanya. Ia pun membuat ramuan obat dan segera diminumkan.

Berhari-hari Shalahuddin merawat Raja Richard yang sakit. Dan berangsur-angsur kondisi raja Richard pun semakin membaik, hingga tubuhnya sehat dan bugar kembali. Setelah dirasa cukup merawat Raja Ricahrd, Shalahuddin memohon untuk pamit meninggalkan tenda. Raja Richard memberi beberapa kantung yang berisi uang emas untuk si perawat.

Tetapi hadiah itu ditolaknya. “Maaf paduka, saya tidak mengharap ini. Yang saya harapkan hanya kesehatan paduka kembali bugar dan bisa mempimpin pasukan lagi. Raja Richard tercengang  dengan sikap tulus si perawat. Ia pun penasaran dan mencoba untuk menggali siapa sebenarnya orang yang merawatnya selama ini. “Mohon kiranya anda berkenan menyebutkan asal usul anda”. “Saya hanya seorang hamba Tuhan biasa, yang berusaha untuk merawat dan menyayangi milikNya.” “Jika kau berkenan, mohon bukalah penutup sebagian wajahmu itu. Aku ingin melihat wajahmu”.

Si perawat kemudian membuka penutup wajahnya dengan pelan. Alangkah terkejutnya Raja Richard dan para pengawalnya. Ia melihat sosok yang tidak disangka-sangka. Ternyata si perawat yang selama ini merawat dan mengobati sakitnya adalah pemimpin pasukan Muslimin, Shalahuddin al Ayubi. Para pengawal langsung mencabut senjatanya masing-masing dan siap untuk mengarahkan pada Shalahuddin.

Tetapi raja Richard menahaannya.”Tahan..! Mungkin ada sesuatu yang bisa kita ambil manfaat.” Dengan penuh raut keanehan, ketakjuban, sekaligus penasaran, dan kecurigaan Raja Richard bertanya kepada Shalahuddin:”Apa yang anda lakukan kepada saya? Apakah Anda berusaha untuk meracuni saya, atau tulus mengobati saya. Jika benar mengobati sakit saya, apa tujuannya. Jawablah dengan jujur. Sebab, nyawamu berada di tangan kami, karena anda berada di dalam kepungan pasukan kami.”

Baca Juga  Menemukan Kembali Asa Kesetaran Gender Dalam Kebijakan Presiden Gus Dur (2)

Shalahuddin menjawab dengan penuh kesantunan dan tegas:

“Saya tulus melakukan ini, karena Islam mengajarkan untuk saling mengasihi pada setiap ciptaan Tuhan. Dan saya tidak mau menjadi pemimpin yang memanfaatkan lawan ketika dalam keadaan lemah, tak berdaya. Oleh karenanya saya ingin meraih kemenangan dalam peperangan ini dengan kejujuran, adil, tanpa meninggalkan perilaku kasih sayang. Saya tidak takut berada di dalam kepungan musuh, karena saya telah berbuat kasih sayang terhadap musuh. Maka, saya yakin Tuhan akan leindungi saya,karena telah berbuat kasih sayang terhadap ciptaanNya. Saya hanya bisa menyakiti musuh ketika perang sedang berlangsung. Inilah keadilan yang selalu saya usahakan. Dan saya menganggap musuh saya pun pasti akan berlaku adil terhadap saya, karean saya sudah berlaku adil padanya”.

Jawaban-jawaban Shalahuddin membuat tercengan Raja Richard. Ia baru menemukan sosok manusia yang penuh dengan kasih sayang, sekaligus gentle, juga gagah berani. Ia baru melihat manusia yang menginginkan keadilan tanpa kecurangan, sekalipun dalam peperangan. Sungguh aneh sifat pemimpin Muslim ini, pikirnya.

Raja Richard mempersilahkan Shalahuddin meninggalkan tendanya. Sekali lagi ia sulit untuk bersikap, apakah ingin berterimakasih, atau memusuhi, atau layak untuk membalas kebaikannya dengan kebaikan lagi, atau justru memanfaatkan kondisi untuk menangkapnya sehingga pasukannya mengalami kemenangan.

Shalahuddin berpamit dan mengatakan: “Sebagai hamba Tuhan, saya mencintaimu. Dan memiliki kewajiban untuk menolongmu ketika tak berdaya. Aku hanya menjadi musuh Anda ketika dalam peperangan, dan hanya dalam kondisi yang bugar”.

Shalahuddin meninggalkan tenda Raja Richard dan berjalan menuju pasukannya. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk bersiap kembali memulai peperangan, karena Raja Richard telah sehat kembali.

Kisah ini sangat masyhur dalam catatan sejarah Islam. Hampir setiap orang tidak mampu berfikir pada perilaku Shalahuddin al Ayubi. Ia seorang yang gentle, tetapi juga penyayang. Sikap kasih sayang dan heroicnya dalam memimpin pasukan ketika berperang menimbulkan kesan unik, aneh, sekaligus layak mendapat jempol sepuluh. Artinya, peperangan yang dilakukan Shalahuddin membuat ruang tersendiri pada nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga  Problem ‘Human Trafficking’ dalam Pengantin Pesanan di Dunia Maya sebagai Kejahatan Transnasional

Sikap di atas yang menjadikan musuh kalah mental sebelum peperangan dimulai. Raja Richard pasti memiliki beban mental yang mengganjal dalam memimpin pasukannya. Tegakah ia pada pamimpin musuh yang telah berbuat baik padanya?. Ataukah justru harus mengacuhkan rasa simpatinya pada pihak yang telah menolongnya demi kejayaan di pihaknya. Ambiguitas rasa yang dialami Raja Richard inilah yang berkecamuk di dalam jiwanya. Dan hal ini menjadi senjata yang sangat ampuh bagi pasukan Islam dalam melawan pasukan Kristen.

Pertentangan jiwanya ini membuat peperangan yang dipimpinnya tidak all out. Dan pada akhirnya pasukan Islam memenagkan perang Salib. Kesimpulannya, senjata terampuh dalam memenangi peperang ini adalah dengan cinta, kasih sayang.

Jika Anda merasa berada dalam kehidupan layaknya sedang mengalami peperangan, maka cobalah untuk mempraktikkan nilai-nilai cinta, kasih sayang, maka anda akan mengalami kemenangan dalam kehidupan yang anda anggap seperti berada dalam peperangan itu. Sebab, nilai-nilai cinta, kasih sayang adalah senjata terampuh dalam melakukan peperangan. (mmsm)

M Luthfi Ubaidillah Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon