Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Belajar Berfikir Kritis Dari Nabi Ibrahim AS

2 min read

Satu hal yang dapat menjadikan manusia berbeda dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan adalah proses berfikir. Dalam hal ini manusia diberi anugerah berupa akal dan pikiran. Oleh sebab itu heran rasanya bila sebagai manusia yang sudah mendapatkan keistimewaan tersebut justru disia-siakan dalam artian tidak menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Dan hari ini kita banyak menyaksikan itu, mungkin salah satunya adalah saya dan teman-teman yang membaca tulisan ini.

Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk menggunakan kekuatan akal dan pikiran “semaksimal” dan sejauh mungkin. Cukup menggunakan fikiran untuk membedakan mana yang baik dan benar itu sudah cukup sebagai manusia “orang biasa”. Apalagi sampai ke maqam (tempat) para filsuf lebih jauh lagi para nabi. Hanya saja memang sebagai ciptaan yang “spesial” Allah memerintahkan kita untuk menggunakan potensi akal dengan baik salah satunya yaitu berfikir kritis.

Sebagai manusia berfikir kritis tentu sangat dibutuhkan karena dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dalam diri. Tidak hanya ilmu pengetahuan, berpikir kritis juga dapat menunjukkan kita kepada jalan kebenaran. Namun, bukan berarti selama ini kita berada di jalan yang salah. Hanya saja kadang sedikit melenceng.  Salah satu manusia yang dikisahkan dalam al-Qur’an berhasil menuju jalan kebenaran melalui pikirannya yang kritis adalah Nabi Ibrahim.

Proses Berifikir Kritis Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an

Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak para nabi karena banyak dari keturunannya yang melanjutkan jejaknya sebagai utusan nabi dan rasul. Tentu hal ini tidak lepas dari proses berfikirnya yang kritis dalam menghadapi kaumnya ketika itu terutaman ayahnya. Al-Qur’an telah mengisahkan bagaimana proses berfikir nabi Ibrahim diawali dengan kaumnya yang menyembah berhala dan tata surya. Kisah Ibrahim diceritakan dalam QS. al-An’am ayat 76-79.

Baca Juga  Stay at Home, Tarawih, dan Imam Dadakan

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًاۗ قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ.

Artinya: ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah Tuhanku”. Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”.

فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ

Artinya: kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “inilah tuhanku”. Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika tuhanku memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat”.

فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ.

Artinya: kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “inilah tuhanku. Ini lebih besar”. Akan tetapi matahari terbenam dia berkata, “wahai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari yang kamu persekutukan”.

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ.

Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan wajahuku (hanya) kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.

Ayat di atas merupakan proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Selain itu ayat ini juga merupakan sindiran kepada orang-orang yang menyembah tiga tata surya tersebut. Pada akhirnya Nabi Ibrahim sampai kepada pemikiran bahwa apa yang terjadi dengan bulan, bintang dan matahari sudah pasti Tuhan yang menggerakkannya. Tuhan dapat memunculkan dan menenggelamkan sehingga sampai pada kesimpulan Tuhan pula yang menciptakan seluruh alam semesta.

Kesimpulan Ibrahim tentang Tuhan merupakan bentuk kristisnya dalam menghadapi fenomena sosial yang ada pada kaumnya. Tetapi nabi Ibrahim tidak hanya berfikir kritis tetapi diikuti dengan melakukan pengamatan dan perenungan tentang alam raya dengan menggunakan fitrahnya untuk menemukan aqidah ketuhanan.

Baca Juga  Tanggung Jawab Sebagai Manusia Merdeka

Setelah melewati proses pengamatan dan perenungan yang menggambarkan sikap kritisnya Nabi Ibrahim betul-betul sampai pada keyakinannya tentang ketuhanan secara mantap dan melekat dalam hati.

Perpaduan Qalb dan Rasio

Setelah membaca secara singkat proses berfikir Nabi Ibrahim yang kritis dalam al-Qur’an, dapat dilihat bahwa nabi Ibrahim tidak hanya kritis saja tetapi dipadukan dengan unsur qalb (hati) sehingga dari perpaduan dua unsur tersebut muncullah sebuah akhlak yang mulia. Karena perpaduan antara keduanya akan meningkatkan kesadaran dan intensitas keimanan serta ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari sikap Nabi Ibrahim ketika menegur ayahnya yang dilakukan dengan penuh sopan santun sebagaimana sikap anak kepada ayahnya.

Dari kisah nabi Ibrahim kita belajar bahwa bersikap kritis itu sangat penting, selain menambah ilmu pengetahuan, berfikir kritis juga akan menambah intensitas kita dalam menganalisa suatu permasalahan. Di sisi lain, sikap kritis juga harus diimbagi dengan aspek qolb. Hal ini bertujuan agar sikap kritis kita dapat diwujudkan dengan akhlak dan sikap yang mulia.

Hari ini banyak anak-anak muda yang kritis tetapi dalam mewujudkan bentuk kritisnya justru menunjukkan sikap yang tidak baik. Contohnya sudah banyak dihadapan kita salah satunya adalah perdebatan politik di televisi atau mahasiswa berdemo yang tidak menggunakan akhlak sebagai dasar untuk bersikap kritis.

Beberapa contoh di atas adalah sikap kritis yang menurut saya pribadi tidak diimbangi dengan aspek qolb (hati). Jika kekeritisan itu diimbangi dengan aspek qolb maka yang terjadi bukan berdemo secara anarkis, melainkan berdemo dengan menjunjung etika kemanusiaan. Wallahua’lam

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta