Gambar postingan kawan di jemaah facebookiyah membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Pasalnya, lelaki berpeci hitam dan bersarung itu tunduk di bawah duli seorang perempuan (saya mengartikan itu istrinya) yang mengacungkan pedang di tangan kirinya sambil tangan kanannya menunjuk ayat dalam kitab Alquran yang terbuka. Kontan saya terbayang seorang guru ngaji di langgar kampung dahulu yang sedang mengajari santri melafalkan huruf demi huruf dalam lembaran kitab suci, tapi di bawah ancaman rotan. Salah mengeja sedikit saja huruf-huruf Arab itu, rotan di tangan sang guru melayang mengena tangan, kaki, atau pundak si santri. Seberapa kesalahan baca yang dibuat, setimpal dengan pukulan rotan yang harus diterima.
Entah siapa yang berinisiatif memposting gambar satiris itu, tak penting. Tapi caption gambar itu memberi pesan penting begini, “Sekian lama menikah ketahuan setelah lockdown, jadi imam di rumah salah semua bacaannya”.
Postingan di atas mewakili suasana psikologis yang mungkin dialami banyak lelaki (suami atau kepala keluarga) yang terpaksa menjadi imam, terutama salat tarawih di rumah. Bagi mereka yang tak memiliki cadangan hafalan surat-surat pendek, menjadi imam tarawih dengan bilangan rakaatnya lebih banyak adalah siksaan tersendiri. Wong salat jahr seperti maghrib yang tiga rakaat saja bingung mencari surat apa yang harus dibaca. Paling banter surat wa al-asri (Al-Asr, surah ke-103 dari urutan surat Alquran) dan qulhu (Al-Ikhlās, surah ke-112). Apatah lagi jika bacaan Alqurannya tidak begitu meyakinkan, berdiri di hadapan makmum anggota keluarga sendiri pun bisa keluar keringat dingin.
Ada banyak lelaki yang selama hidupnya hanya jadi makmum. Tak pernah jadi imam salat, sekalipun di keluarga. Seribu macam alasan dikemukakan. Kesibukan atau pekerjaan sering jadi kambing hitam. Pekerja di kota-kota besar yang pulang kerjanya kerap malam sampai di rumah merasa tak ada waktu bersama keluarga. “Berangkat kerja sebelum anak bangun, pulang setelah anak tidur” banyak dialami lelaki berkeluarga. Jangankan salat berjemaah, bisa sarapan bersama keluarga saja sudah merupakan keistimewaan.
Saya memiliki kawan, pernah mondok (nyantri di pesantren). Bacaan Alqurannya tak jelek-jelek amat. Tapi selama berkeluarga sepuluh tahunan tak pernah sekalipun menjadi imam bagi istri atau anak-anaknya. Apakah ia tak salat? Tidak, dia sangat rajin, bahkan kerap salat sunnah seperti dhuha, qiyamul lail, dan qablīyah-ba’dīyah. Di kantornya dia rajin salat berjemaah di masjid, kadang ikut pengajian atau kultum yang diadakan pengurus masjid. Tapi kenapa tidak mau jadi imam di rumah? “Gak pedhe”, katanya.
Teman-teman saya satu kompleks di perumahan juga rajin berjemaah lima waktu di masjid. Datang lebih awal sebelum atau sebentar pasca-azan, salat sunnah qablīyat al-masjid jarang ditinggalkan. Meski tak ikut berzikir-panjang mengikuti imam, mereka termasuk golongan pengikut salat min awwali waqtihā (salat tepat waktu). Kalau kebetulan punya anak lelaki, bapak itu tak segan-segan mengajak anaknya salat bersamanya di masjid, sama-sama menjadi makmum. Saat saya tanya kenapa tidak menjadi imam saja bersama istri dan anaknya, ia menjawab, “Bukankah salat yang paling afdhal bagi laki-laki itu di masjid, Pak?”. Dan benar, perempuan atau istrinya akhirnya salat sendirian di rumahnya.
Saat awal pemberlakuan work from home (WFH) yang dianjutkan penerapan physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak lelaki yang mulai gerah di rumah. Bukan karena tak kerasan, tapi khawatir kalau diminta menjadi imam salat. Apalagi momen Ramadan tahun ini berbeda dengan tahun lalu. Pandemi Covid-19 mengubah lanskap keberagamaan sampai pada hal yang paling subtil sekalipun. Bayangkan, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi terpaksa ditutup oleh otoritas pemerintah Saudi gegara menghindari kontak fisik antar-jemaah.
Masjid-masjid di perkotaan yang selama Ramadan ramai dengan berbagai aktivitas keagamaan, kini harus tunduk aturan pemerintah dan fatwa ulama: dilarang menyelenggarakan jemaah salat lima waktu dan jumatan, juga salat tarawih dan Idul Fitri. Apa masyarakat tidak shock. Wajar kalau timbul pro dan kontra di kalangan umat. “Seumur-umur baru kali ini tidak ada tarawih di masjid”, kilah sebagian orang yang merasa afdhaliyat (keutamaan)-nya tarawih ya di masjid. Tak sedikit yang menyangkal, “Kita patuhi apa kata ulama. Salat di rumah tak akan mengurangi nilai pahala di mata Allah”, sahut jemaah lain.
Polemik pembatasan (bukan pelarangan) salat tarawih di masjid memang tak terhindarkan. Ada perasaan ganjil dan aneh bagi banyak kalangan Muslim jelang Ramadan tahun ini. Tarhīb Ramadan yang biasanya gegap gempita, kini sunyi dan sepi. Anak-anak TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) atau santri yang biasanya pawai di jalanan membawa poster atau memainkan rebana sore hari jelang Ramadan tiba, tak lagi terjadi. Tarawih di berbagai masjid yang jemaahnya membludak sampai teras dan jalanan, kini merana dan terkunci. Hanya kumandang azan maghrib dan isya’ terdengar, sesaat kemudian pintu masjid ditutup kembali dan muazin pun salat sendiri. Para dai dan penceramah kultum yang berharap bisa keliling masjid setiap hari, kini gigit jari. Bahkan media elektronik yang dari tahun ke tahun menawarkan full-program 24 jam selama Ramadan, seakan mati suri.
Apa boleh buat. Covid-19 benar-benar mengembalikan orang ke rumah. Bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan ibadah di rumah. Salat tarawih pun kini di rumah. Jauh-jauh hari Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 14 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan salat tarawih di rumah. Para ulama dan ustadz memberikan syarah lengkap dengan dalil dan panduan teknis bagaimana kayfiyat (tata cara) pelaksanaan tarawih di rumah, #tarawihathome, yang baru terjadi tahun ini. Panduan itu tinggal dibuka di kanal youtube, instagram, facebook, atau postingan berantai di whatsapp.
Bagi keluarga yang siap lahir-batin, tarawih di rumah bisa menjadi blessing in disguise. Selain bisa berkumpul bersama melaksanakan amaliah Ramadan dengan gembira, tarawih di rumah akan menjadi pengalaman baru tak terlupakan. Kepala keluarga yang selama ini sudah terbiasa menjadi imam tentu tidak ada kecemasan atau kekhawatiran. Apalagi hafalannya banyak, apalagi Hāfiz al-Qur’ān. Dia bisa pilih mau membaca ayat dan surah apa dalam setiap rakaatnya. Mau 11 rakaat oke, 20 rakaat juga tak masalah. Bisa jadi justru anak-anaknya yang bete karena ayat yang dibaca panjang-panjang dan salatnya lama.
Beruntung jika dalam keluarga itu punya anak lelaki remaja/dewasa yang hafalan Alqurannya bagus, ditambah pernah sekolah atau di pesantren/madrasah yang menerapkan “wajib hafal juz 30”. Suami atau ayah pastilah merasa aman meski bacaannya tak sebaik anaknya. Dia bisa minta anaknya menjadi imam tetap tarawih dengan alasan “mengamalkan ilmunya”. Si ayah tak perlu repot mengulang hafalan setiap hari.
Di rumah sebelah, sebaliknya, ada suami yang stres mengulang-ulang hafalan surat-surat pendek. Sudah lama ia tak buka-buka Alquran. Hafalan yang pernah dia alami sejak kecil kini hilang semua karena jarang melaksanakan salat. Selama WFH dan menjelang Ramadan dia terpaksa membuka kembali ingatannya, mereka-reka surah pendek mana yang pernah dia hafalkan. Ia kumpulkan kepercayaan dirinya untuk menjadi imam salat bagi keluarganya. Diam-diam, di sela-sela aktivitasnya, ia mengambil mushaf dan mengulang kembali penggalan ayat demi ayat untuk bekal menjadi imam.
Suami lain memilih proaktif dengan belajar tutorial membaca Alquran dari para ustaz via online agar bisa menjadi imam di rumahnya. Ada yang melalui video tutorial yang tersedia amat banyak di kanal medsos. Suami-suami ini jujur pada dirinya dan mau belajar. Baginya menjadi suami adalah sekaligus jadi seorang imam keluarga. Banyak dari kalangan ini yang berniat hijrah dengan mendalami agama dengan tulus. Kekurangannya tak menyurutkan tekadnya untuk terus belajar bersama anggota keluarga yang lain.
Ternyata, menjadi imam bukanlah perkara mudah. Tidak semua suami atau bapak-bapak siap menjadi imam salat, apalagi tarawih. Walaupun telah belajar panduan praktis tarawih-di-rumah yang ia peroleh di youtube, ia masih gamang dan ragu. Meski ada ulama yang menyatakan dalam salat sunnat imam boleh saja membaca ayat sambil melihat mushaf Alquran, bagaimana ia melakukannya wong membaca saja tidak bisa. Kalaupun bisa sedikit, tajwīd-nya grothal-grathul, makhraj-nya tidak sesuai kaidah. Contoh imam seperti itu banyak dijumpai saat kita salat jemaah di mal atau masjid perkantoran. Karena tak ada imam tetap, atau terpaksa jadi imam,—meskipun ada kalanya saking pedhe-nya menjadi imam, kerap makmum dibuat risih karena bacaan Alqurannya gak teteh.
Ada yang lebih parah. Seorang istri curhat lewat chatting WA kepada temannya, begini:
“Friend, Ramadan tahun ini baru gue ngerasain kenapa penting punya suami bisa ngaji”.
“Emang kenapa, Mince?”, balas temannya sembari menyertakan emoticon ingin tahu.
“Gimana gue gak sebel sama laki gue, disuruh salat di rumah, eh… malah ngedakom saja megangin handphone”, tuturnya.
“Terus lu apain suami lu?” desak temannya, lagi-lagi tak ketinggalan mengakhiri dengan emoticon.
“Gue suruh dia jadi imam. Coba apa katanya: ma, nama gue Anton, gak mungkin jadi Imam”. “Gimana gak sebel gue. Dasar suami gemblung”, pungkasnya. [MZ]