Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Mengenal Kiai Misbah Mustofa, Penulis Kitab Tafsir al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil

2 min read

Pascamasuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, banyak bermunculan tokoh-tokoh intelektual muslim dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk tafsir Al-Qur’an. Sebagai wilayah kerajaan Islam pertama di Indonesia, Pulau Sumatera menjadi langkah awal dalam berkembangnya penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sosok ‘Abd al-Rauf al-Singkili yang diyakini sebagai perintis awal dalam penulisan kitab tafsir di Indonesia.

Pada periode selanjutnya dari wilayah Pulau Jawa sendiri terdapat beberapa Ulama yang turut berkontribusi dalam perkembangan khazanah tafsir di Indonesia, di antaranya adalah Kiai Soleh Darat dengan karyanya tafsirnya Faya al-Rahman, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz li Ma’rifat al-Qur’an al-‘Aziz, dan Kiai Misbah Mustofa dengan karyanya tafsirnya al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, dan masih banyak tokoh-tokoh mufasir lainnya yang hadir hari ini seperti Profesor Quraish Shihab.

Melihat banyaknya tokoh-tokoh tafsir di Indonesia, Nashruddin Baidan dalam bukunya Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia melakukan periodisasi terhadap dinamika penulisan kitab tafsir di Indonesia. yaitu periode klasik, tengah, pramodern dan periode modern. Periodisasi yang dilakukan Baidan menunjukkan bahwa penulisan kitab tafsir di Indonesia telah mengalami perkembangan dan tentu saja memiliki ciri kahas tersendiri setiap masanya.

Berangkat dari hal tersebut, penulis menganggap penting kiranya untuk mengungkapkan salah satu tokoh dalam penulis kitab tafsir di Indonesia, yaitu Kiai Misbah Mustofa yang kitab tafsirnya masih digunakan hingga hari ini baik sebagai rujukan kajian akademik atau kajian keislaman.

Biografi dan Transmisi Keilmuan

Kiai Misbah Mustofa bernama lengkap Kiai Misbah bin Zainul Mustofa. Nama kecil Misbah adalah Masruh. Penggunaan nama Misbah Mustofa dipakai setelah beliau melaksanakan ibadah haji.

Lahir di kampung sawahan, Gg. Palen, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1916, Kiai Misbah merupakan putra dari pasangan saudagar kaya, yaitu H. Zainul Mustofa dan Chadijah. Seorang saudagar Zainul Mustofa dikenal sebagai orang yang sangat dermawan karena ia sering kali memberikan hasil laba dari berdagang kepada para ulama dan masyarakat sekitar.

Baca Juga  Merosotnya Pernikahan Dini dalam Lensa Fenomenologi Husserl

Latar belakang intelektualnya diawali dengan menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat di Rembang. Setelah menyelesaikan studinya, Misbah Mustofa melanjutkan studinya ke pondok pesantren Kasingan yang dipimpin oleh KH. Khalil Bin Harun.

Di pesantren tersebut Misbah mempelajari ilmu gramatika seperti kitab al-Jurumiyah, al-‘Imiriti dan ia menghafalkan Alfiyah. Setelah menguasai ilmu gramatika, Misbah kemudian mempelajari ilmu agama lainnya seperti fiqih, hadis, tasawuf, ilmu kalam, tafsir, dan lain-lain.

Setelah menyelesaikan studinya di pesantren Kasingan, Kiai Misbah Mustofa melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng Jombang yang pada saat itu diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Di Tebuireng Kiai Misbah tidak hanya memperdalam ilmu hadis tetapi juga ilmu agama lainnnya.

Lulus dari Pesantren Tebuireng pada usia 31 tahun, Kiai Misbah Mustofa menikah dengan Masruhah dan kemudian pindah ke Bangilan, Tuban, sekaligus mengajar di pesantren yang dipimpin oleh mertuanya. Ketelatenan dan kepiawaian Kiai Misbah dalam mengajar serta mengurus santri kemudian membuatnya menjadi pengasuh pesantren selanjutnya.

Menulis Tafsir al- Iklil fi Maani al-Tanzil

Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang pengajar di pesantren, Kiai Misbah Mustofa menyempatkan diri untuk menulis beberapa kitab dalam berbagai bidang keilmuan, salah satunya adalah dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Dalam bidang ini, Kiai Misbah menulis tiga kitab tafsir, satu di antaranya adalah Tafsir al-Iklil fi Maani al-Tanzil yang diselesaikan dalam kurun waktu delapan tahun dari tahun 1977 hingga 1985.

Penulisan kitab tafsir ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan Kiai Misbah Mustofa terhadap perilaku masyarakat sekitar. Menurutnya, pada waktu itu, masyarakat lebih mementingkan kehidupan duniawi daripada kehidupan ukhrawi.

Kegelisahan tersebut ia tuangkan dalam penafsirannya. Oleh sebab itu, Kiai Misbah Mustofa banyak menghadirkan isu-isu yang berkembang di masyarakat di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa al-Iklil merupakan kitab tafsir yang hadir sebagai respons terhadap situasi dan kondisi sosial yang terjadi saat itu.

Baca Juga  Kisah Thalut dalam Al-Qur’an: Orang Biasa yang Menjadi Pemimpin Bani Israil

Salah satu contoh penafsiran Kiai Misbah yang hadir dalam rangka mengkritik umat Islam pada waktu itu terlihat dalam tafsirnya sebagai berikut:

ing dino iki mripate podo ketutupan hinggo intisarine iki ayat ora keton ono ing mripat yen wong iku gelem pikir-pikir sedelo bae tentu ngerti opo sebabe umat islam tansah ngadepi penggempuran penggempuran saking liyane wong islam sebabe gampang wae ditemui yo iku umat islam ing dino iki podo tinggal ake baitullah ono ing desone, ono ing kutone yo iku mesjid mesjid kang pade jengglek (megah) mentereng lan mengkilat ora gelem podo ngibadah ing mesjid.

Mesjid id umbar ake kosong opo maneh i’tikaf ibadah marang Allah jamaah shalat wae wes podo ora gubris umat islam kelawan pimpinan kyai modern lan ngaku-ngaku intelek islam podo sibuk ngurusi perdagangan ngurusi arto lan kedudukan ono ing bidang politik lan bidang ekonomi nganggo alasan-alasan politik.

Kiai Misbah Mustofa mengatakan bahwa umat Islam dapat dengan mudah digempur oleh nonmuslim karena umat Islam banyak mendirikan masjid yang megah dan mentereng tetapi masjid tersebut dibiarkan kosong begitu saja. Jangankan untuk iktikaf, salat berjamaah saja umat Islam sudah banyak yang tidak antusias.

Singkatnya, penafsiran Kiai Misbah Mustofa dalam al-Iklil menggambarkan situasi sosial, politik, dan budaya pada masa itu, yang mana penafsiran tersebut masih relevan dipakai hingga hari ini. Di sisi lain, tafsir ini juga turut meramaikan khazanah tafsir Al-Qur’an di Indonesia yang penuh dengan ciri khas lokalitas. Wallahualam [AR]

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta