Indonesia tidak pernah habis mencetak para mufasir Nusantara yang kontekstual dengan keadaan sosial dan budayanya. Bulan lalu saya telah menulis biografi salah satu mufasir asal Rembang yakni KH. Misbah Mustofa dengan karya tafsirnya al–Iklil fi Ma’ani al–Tanzil.
Di sisi lain pada abad yang sama, yakni abad ke-20, muncul kitab tafsir dari seorang purnawirawan yang kemudian kitab tafsir tersebut dicetak untuk pertama kali pada tahun 1979. Karya tafsir tersebut berjudul al-Huda.
Kitab tafsir tersebut agak berbeda dengan kitab-kitab tafsir Jawa pada umumnya. Yang menjadi keunikan kitab itu, selain menggunakan bahasa Jawa halus, adalah ditulis oleh seorang kolonel yang bergabung dalam dunia militer dan politik.
Menurut Islah Gusmian dalam Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika, basis sosial mufasir dapat dibagi menjadi lima kelompok. Pertama, basis politik kekuasaan atau negara. Kedua, basis sosial pesantren. Ketiga, lembaga pendidikan formal. Keempat, ormas Islam. Kelima, di luar basis sosial yang spesifik sebelumnya.
Adapun tafsir yang ditulis oleh Bakri Syahid masuk ke dalam kategori nomor tiga, yaitu basis sosial lembaga pendidikan formal atau kampus. Hal ini diketahui karena, dalam proses penulisannya, kolonel Bakri sedang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Negara yang dimulai pada tahun 1970 dan saat menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada periode 1972-1976.
Biografi dan Transmisi Keilmuan
Kolonel Bakri Syahid lahir pada Senin, 16 Desember 1918 di Yogyakarta. Nama Syahid diambil dari nama belakang ayahnya, yakni Muhammad Syahid. Adapun ibunya bernama Dzakirah.
Keluarga Bakri dikenal sebagai keluarga yang agamis dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa. Selain itu, mereka juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Berangkat dari keluarga yang agamis sejak kecil, Bakri sudah diperkenalkan dengan ilmu-ilmu keislaman oleh ayahnya.
Karena terlahir dari keluarga Muhammadiyah, Bakri kemudian dimasukkan ke Madrasah Kweekschool Islam Muhammadiyah (sekarang Madrasah Muallimin). Selain belajar ilmu agama di madrasah ini, Bakri juga mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Pada tahun 1942 Bakri dikirim ke Bengkulu dalam rangka program Muhammadiyah bernama “Anak Panah” untuk berdakwah. Tetapi, sebelum itu Bakri sempat menjadi guru di HIS Muhammadiyah Sidoarjo.
Karena ketekunannya, Bakri kemudian diangkat menjadi Kepala Pusat Ruwatan Ruhani Angkatan Darat di Jakarta. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga di Fakultas Syariah.
Setahun setelah mendapatkan gelar sarjana, Bakri diutus oleh Ahmad Yani untuk menjalani pendidikan militer di Fort Hamilton, New York, Amerika Serikat. Selama terjun dalam dunia militer, ia banyak mendapatkan jabatan, salah satunya adalah Kepala Staf Batalion STM-Yogyakarta.
Menulis Tafsir al-Huda
Selama hidupnya, Bakri telah menulis beberapa karya, yang salah satunya adalah al–Huda. Tafsir ini ditulis oleh Bakri ketika masih bertugas sebagai anggota ABRI tahun 1970 dan sampai ia menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulisan kitab tersebut merupakan permintaan dari beberapa koleganya dari berbagai negara. Selain itu, tafsir berbahasa Jawa ini ditulis karena pada waktu itu bahasa Jawa mulai terpinggirkan.
Tafsir ini ditulis dengan menggunakan aksara Latin berbahasa Jawa halus. Ditulis selama tujuh tahun, dari 1970-1977, yang kemudian dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1979 oleh percetakan Bagus Arafah.
Edisi pertama tafsir ini dicetak sebanyak 10.000 eksemplar dan mengalami cetak ulang sebanyak 1.000 sampai 2.000 eksemplar. Tetapi, pencetakan tafsir ini tidak dilanjutkan lagi semenjak Bakri Syahid wafat pada tahun 1994, yang kemudian disusul percetakan Bagus Arafah tidak beroperasi lagi.
Jika melihat corak dalam tafsir ini, maka didapati lebih cenderung pada corak adabi-ijtimai (sosial-kemasyarakatan). Artinya, penafsiran yang ditulis oleh Bakri Syahid mengaitkan problem sosial yang sedang berlangsung ketika itu.
Salah satu isu yang diangkat oleh Bakri dalam kitab tafsirnya adalah terkait politik dan budaya yang aktual di mana waktu itu masih menjadi perbincangan.
Hal ini terlihat ketika Bakri menafsirkan QS. al-Hujurat [49]: 6-7. Secara umum ayat ini menjelaskan tentang perintah kepada Nabi Muhammad untuk selalu berhati-hati dalam menerima informasi dari orang munafik. Dalam menafsirkan ayat ini, Bakri mengaitkannya dengan Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Adapun penafsirannya sebagai berikut.
“Intilijen negara lan stabilitas keamanan punika kewajibanipun pemerintah kabantu masyarakat. Suraosipun ayat 6-7 punika manawi ing jaman modern kawastanan BAKIN utawi Badan Koordinasi Intelijen Negara wonten ing tata bina Pemerentahan Republik Indonesia.
“Wonten ing Negara demokrasi, kados negari kita, negari Pancasila, hakikatipun intelijen negari lan stabilitasi keamanan punika rumagangipun rakyat engkang kapimpin deneng pemerintah, lan intinipun kakiyatan ABRI. Sebab UUD 1945 pasal 30 anyebataken bilih saben warga Negara wajib lan hak ambelani Negara, sarta caranipun dipun tata dening aturan negari.”
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “Inteligen negara dan stabilitas keamanan itu kewajiban pemerintah dibantu masyarakat. Kira kira ayat 6-7 jika dikontekstualisasikan pada hari ini seperti halnya Badan Koordinasi Inteligen Negara (BAKIN) di era pemerintahan Republik Indonesia sekarang.
“Dalam negara demokrasi seperti negara kita, Negara Pancasila, hakikatnya inteligen negara dan stabilitas keamanan itu terdiri dari rakyat yang dipimpin oleh pemerintah, yaitu ABRI. Sebab UUD 45 pasal 30 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib dan berhak untuk membela negara serta dengan cara yang sesuai dengan peraturan atau ketetapan negara.”
Secara umum, tafsir berbahasa Jawa yang telah ditulis oleh para cendikiawan muslim merupakan sebuah respons dari maraknya penggunaan aksara Latin yang lebih populer pada waktu itu. Oleh sebab itu, tafsir al-Huda karya seorang kolonel Bakri Syahid merupakan sarana dakwah untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan masyarakat Jawa. Wallahualam bissawab [AR]