Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Refleksi Hari Santri : Melihat Kembali Potret Kelam Kasus Perundungan di Pesantren

2 min read

Peringatan hari santri pada tanggal 22 oktober 2024 kali ini mengambil tema “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari santri disambut bahagia oleh seluruh santri di Indonesia. Baik santri yang masih berada di pesantren ataupun yang telah menjadi alumni. Terlihat beberapa pesantren mengadakan apel dan upacara serta plamflet ataupun flayer ucapan hari santri tersebar di berbagai media sosial.

Dibalik euforia pada momentum hari santri kali ini, tersimpan berbagai kisah-kisah kelam yang ada di pesantren, yaitu kasus perundungan yang masih seringkali terjadi. Oleh sebab itu kebahagiaan yang dirasakan oleh para santri justru menjadi momen tersedih bagi para keluarga yang mana anak mereka ketika menjadi santri menjadi korban perundungan oleh teman-temannya yang sesama “santri” pula.

Kasus Perundungan di Pesantren

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren banyak tersebar di seluruh Indonesia. Kehadirannya banyak memberikan pengaruh keilmuan islam yang luar biasa bagi para santri. Oleh sebab itu pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang banyak menjadi sasaran para orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anak mereka. Selain soal ilmu pengetahuan, pesantren juga menjadi tempat yang aman bagi anak dari pergaulan bebas dan tentunya berbagai tindak kekerasan.

Namun sayangnya, tindakan kekerasan dapat terjadi di mana saja begitupun di pesantren. Bahkan, sampai saat ini kasus perundungan di pesantren masih sering terjadi. Bintan Balqis Maulana (14 tahun) seorang santri di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur meninggal dunia akibat penganiayaan yang dilakukan oleh para senionya di pesantren.

Berita terbaru yang penulis kutip dari cnnindonesia.com Abdul Karim Putra Wibowo (13 tahun) seorang santri di pondok pesantren Al-Qur’aniyy Az-Zayadiyy, Sukoharjo, Jawa Tengah meninggal dunia diduga akibat mengalami kekerasan dari kakak tingkatnya atau seniornya. Kabar duka tersebut diterima keluarnya pada senin 16 september kemarin.

Baca Juga  Pluralisme Sebagai Sikap Keagamaan dan Keberagamaan

Dua kasus di atas merupakan gambaran bahwa masih ada tindakan kekerasan yang terjadi di pondok pesantren. Jauh sebelum ini sudah banyak kasus perundungan namun tidak menyebabkan korban meninggal dunia. Padahal, dengan berbekal ilmu pengetahuan Islam yang telah dipelajari, pesantren diharapkan mampu mewujudkan lingkungan kekeluargaan yang harmonis antar sesama santri. Namun sayangnya, sebagaimana lingkungan pendidikan lainnya, pesantren tidak bisa terlepas dari fenomena sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan dan pengalaman para santri, yaitu perundungan.

Menciptakan Pendidikan yang Aman dan Nyaman

Sampai saat ini penulis masih meyakini bahwa kasus perundungan di pesantren masih terjadi. Kasus perundungan tersebut masih sering terjadi karena belum ada tindakan yang tegas dari pesantren. Selain itu, budaya diam dan takut untuk melaporkan kekerasan yang terjadi dari santri sendiri juga dapat menjadi hambatan dalam menangani masalah ini. Seringkali, santri yang menjadi korban merasa takut atau malu untuk melaporkan kekerasan tersebut karena bisa jadi dengan melaporkan justru akan berdampak negatif kepada korban. Misalnya, dijauhi oleh teman-temannya dan mendapatkan ancaman dan balasan dari para pelaku.

Berdasarkan pengalaman penulis sendiri yang pernah nyantri bahwa kasus perundungan biasanya juga disebabkan oleh senioritas serta budaya bulliying yang telah terjadi selama turun temurun. Di sisi lain, sistem kepengurusan yang otoriter juga dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan pelaku perundungan bebas melakukan aksinya tanpa rasa takut.

Kasus bulliying atau perundungan yang terjadi di pesantren menjadi tantangan kiai, Pengasuh dan jajaran pengurus pesantren. Tidak hanya itu, hal ini juga menjadi tantangan bagi santri karena mereka sendiri yang menyaksikan perundungan tersebut kapan pun dan di manapun. Oleh sebab itu ketiga unsur tersebut (Kiai, Pengurus dan santri) bertanggung jawab penuh untuk mengatasi perundungan untuk menciptakan lingkunan yang aman dan nyaman.

Baca Juga  Saya Malu Menjadi Dosen PTKI Saat Pandemi Melanda Negeri Ini

Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pihak-pihak tersebut. Untuk mengatasi perundungan ini setidaknya diperlukan langkah-langkah yang yang harus dilakukan oleh ketiga pihak tersebut (kiai, pengurus dan santri). Bagi para santri cukup melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan baik fisik ataupun non fisik yang terjadi dikalangan mereka. Hal ini bertujuan untuk mencegah kasus perundungan semakin mendalam. Selain itu, pelaku perundungan dapat diberikan sanksi secara langsung.

Namun, sebelum itu pihak pesantren harus membuat sistem ataupun mekanisme pelaporan yang aman agar para plapor ini dirahasiakan identitasnya. Karena seringkali para palapor ini justru yang mendapatkan dampaknya yaitu turut menjadi korban perundungan. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah segenap jajaran pengurus pesantren. Adapun tugas kiai dalam hal ini adalah memberikan pengawasan serta harus sering mengadakan rapat evaluasi bersama para pengurus lainnya.

Kasus perundungan dipndok pesantren sampai saat ini masih menjadi PR kita bersama. Oleh sebab itu momentum hari santri pada 22 oktober kemarin seharusnya dapat dijadikan sebagai refleksi bahwa segenap pengurus, kiai, dan para santri memiliki tanggung jawab penuh untuk menciptakan pendidikan pesantren yang aman, nyaman dan sesuai dengan nilai-nilai moral dan keislaman. Wallahua’lam

Khairun Niam Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta