Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Saya Malu Menjadi Dosen PTKI Saat Pandemi Melanda Negeri Ini

2 min read

Gedung Kemenag

Heboh pandemi Covid-19 atau yang juga disebut virus Corona bagi saya sebagai seorang dosen di Perguruan Tinggi Keislaman (PTKI) sungguh menyiksa hati. Siksaan ini lebih dikarenakan rasa malu yang tak terperi. Saya bukan seorang ninja yang rasa malu membuatnya melakukan harakiri (bunuh diri yang didorong oleh rasa malu yang tak tertahankan karena harga dirinya hancur). Apalagi, dalam keyakinan Islam, bunuh diri, apapun alasannya, adalah sebuah dosa.

Rasa malu ini lahir karena saya mencoba membandingkan apa yang sudah dilakukan banyak lembaga di luar sana dengan apa yang dilakukan oleh PTKI. Saya harus akui bahwa mungkin sudah banyak PTKI yang melakukan sesuatu dalam menghadapi pandemi yang melumuhkan ini, tapi saya melihat di sekitar saya yang ada adalah kebisuan yang membingungkan.

Ketika banyak perguruan tinggi sesuai bidangnya tampak memberi kotribusi penanganan virus ini, apa kabar perguruan tinggi Islam? Apa yang ditawarkan PTKI dengan teori-teori canggihnya dalam menyelesaikan problem keumatan dan kebangsaan. Apa kontribusi pendekatan multidisipliner kajian Islam dalam menyelesaikan masalah yang memilukan ini?

Tentu saya tidak akan membayangkan Fakultas Dakwah memproduksi ventilator, pun tidak berharap Fakultas Tarbiyah memproduksi APD. Namun yang terus-menerus mengusik pikiran dan hati saya sebagai seorang akademisi adalah, apakah perguruan tinggi Islam memang tidak memiliki sesuatu yang layak ditawarkan? Jika kita keluar dari kompartementalisasi fakultas dan program studi, di PTKI ditemukan berbagai ahli agama yang selama menyatakan bahwa Islam memiliki beribu tawaran dalam menyelesaikan problem manusia modern. Setelah sekian lama, apakah konsep-konsep indah itu hanya melayang di langit tanpa pernah turun ke bumi?

Secara normatif, berbagai panduan hukum Islam dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak lahir dari Fakultas Syariah, fakultas di mana hukum-hukum Islam dipelajari dengan berbagai macam pendekatan. Justru, fatwa dan panduan keagamaan lahir dari Muhammadiyah, NU, dan MUI. Ormas-ormas ini bukan saja menerbitkan fatwa tetapi mengawalnya sampai ke akar rumput. Misalnya, fatwa bagaimana melakukan ibadah dalam kondisi darurat. Fatwa ini menjadi rujukan masyarakat dalam menjalankan ajaran agamanya. Meskipun tidak ada kepatuhan seratus persen, namun banyak tempat ibadah pada zona merah mematuhi dengan baik fatwa tersebut.

Baca Juga  Orang Muhammadiyah Hidup Enjoy di Lingkungan NU (1)

Mungkin kita akan menyatakan bahwa itu adalah tugas mereka. Namun pertanyaan kembali yang muncul di benak saya: Bukankah salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian masyarakat? Bukankah didirikannya perguruan tinggi itu untuk peradaban dunia yang lebih baik? Kalaupun PTKI merasa memiliki fungsi dan tugas yang berbeda dari ormas-ormas Islam, sekali lagi, apa yang dilakukan PTKI terhadap masyarakat dalam menghadapi wabah ini?

Saat-saat seperti ini, saya membayangkan perguruan tinggi Islam menjadi pelopor filantropi Islam. PTKI menjadi motor penggerak aksi sosial, meringankan beban masyarakat menengah ke bawah akibat dampak kebijakan “tinggal di rumah” yang diterapkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Namun, justru organisasi kepemudaan baik dari latar belakang ormas keagamaan maupun nasionalis yang tampak melakukan berbagai bantuan sosial, misalnya, penyemprotan disinfektan, pembagian masker, penggalangan dana dan pendistribusiannya pada para dhuafa.

Lalu kemana para aktivis kampus yang biasanya garang berorasi menyuarakan idealismenya? Apakah kuliah daring dan tugas-tugas kampus sebegitu menyita waktu sehingga tidak ada yang dipikirkan kecuali kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas? Mengapa tiba-tiba hilang kreativitasnya. Bukankah para relawan di luar sana juga bukan kumpulan para pengangguran yang sedang mencari pekerjaan?

Peran edukasi masyarakat akan kesadaran kesehatan dan penularan Covid-19 juga nyaris tidak dimainkan oleh perguruan tinggi Islam padahal kita punya Fakultas Tarbiyah yang mendalami masalah pendidikan. Meme-meme bagaimana bersikap terhadap virus ini yang bertebaran di media sosial yang menjadi rujukan masyarakat tidak keluar dari kampus PTKI. Tidak ada video, pamflet, iklan, dan sebagainya yang lahir dari perguruan tinggi Islam sebagi perwujudan Islam rahmatan lil’alamin. Participatory Action Research (PAR), Community-Based Research (CBR) hingga Asset-Based Community Development (ABCD) yang selama ini melengking nyaring di lingkungan PTKI entah bagaimana tiba-tiba gagu menghadapi problem riil ini.

Baca Juga  Berlebihan Itu Tidak Baik, Termasuk dalam Beragama

Para akademisi sibuk dengan kuliah daring yang sebenarnya juga tidak terencana dengan baik. Kemampuan teknologi yang minim dan aplikasi yang tidak terintegrasi dengan kurukulum kampus menyebabkan para akademisi lebih sibuk beradaptasi dengan teknologi dari pada menyampaikan substansi. Kontribusi sosial yang diharapkan lahir dari teori-teori integrasi keilmuan interdisipliner seakan lenyap disapu makhluk kecil bernama Covid-19.

Sebagai seorang akademisi PTKI, kritik ini jelas menimpa saya sendiri. Karena itulah saya malu. Malu yang tak tertahankan ini ingin saya bagi bebannya dengan kolega saya melalui tulisan ini. Otak saya terasa buntu memikirkan bagaimana masa depan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung