Khilafah itu syariat, saya sepakat. Tapi maaf, tidak ada korelasi positif antara tegaknya khilafah dengan tegaknya syariat Islam kāffah. Khilafah itu bagian dari syariat tapi syariat tidak tegak hanya bila khilafah berdiri. Masih banyak cara untuk tegakkan syariat tanpa khilafah.
Apa anda kira, negeri khilafah hanya dihuni orang-orang Islam yang saleh, yang tiap pagi dan petang berada di masjid. Orang kaya berderma. Para hafiz mentashih bacaan Alquranya setiap saat. Para imam berdiri istikamah, para muazin bersuara merdu dan jemaah yang setia menunggu dengan mata bercelak dan bau wangi parfum ala nabi. Setiap pagi sarapan satu atau tiga butir kurma kering dimakan sekali, diiring dengan satu atau tiga teguk air Zamzam.
Mungkin anda mengira dengan khilafah semua soal bisa diurai—utang luar negeri lunas, keadilan tegak, rakyat sejahtera, tidak ada yang menganggur, penghuni lapas menghilang karena para penjahat, maling, copet, PSK, dan purel bertobat, masjid sesak pengunjung, tak ada lagi orang miskin, anak yatim disantuni orang tua dihormati, tak ada perkusi. Tak ada lagi diskotik yang suguhkan musik keras dan anggur, diganti nasyid dengan lagu shalawat dari malam hingga pagi menjelang shubuh.
Apakah di negeri khilafah tidak ada kebodohan. Tidak ada lagi orang berkopyah atau bersarung simbol nusantara, apalagi bercelana ala Eropa karena semua sudah bergamis. Tidak ada lagi bikini atau rok mini dipakai, semua perempuan berhijab dan bercadar rapat, rela di madhu: dua, tiga hingga empat.
Khilafah tak bisa ditegakkan sendirian—tapi ‘semoea’ harus terlibat. Para kampret harus legowo, Para cebong harus bahu-membahu bergotong-royong. Khilafah bukan negerinya para kadrun, tapi negeri ‘boeat semoea’. Yang Kristen yang Hindu yang Buddha yang atheis bahkan puluhan penganut agama dan budaya lokal harus tetap dijamin, dilindungi harta dan jiwanya tanpa kecuali.
Semua rumah ibadat harus dijamin keamanannya agar para jemaahnya aman tatkala menyebut nama Tuhannya. Mereka bebas menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya tanpa intimidasi dipaksa-paksa atau perkusi. Apalagi diusir atau hilang di negeri pertiwi.
Khilafah itu bukan negeri tanpa perbedaan mazhab, manhaj atau ideologi—bukan pula negeri homogen yang di huni satu agama dengan satu mazhab, satu imam, satu bahasa, satu budaya, satu suku, satu ras, atau satu partai politik saja. Bukan pula dipimpin para khalifah tanpa batas periode, tanpa cela karena dianggap ma’shūm.
Sebelum pada stigma bahwa setiap kita punya kewajiban tegakkan syariat, ada baiknya saya bertanya Pada bagian mana kita terhalang menjalankan syariat—apakah halangan itu bersifat struktural atau personal.
Apakah ada larangan tidak boleh pergi ke masjdi atau semata karena malas—apakah ada halangan untuk bayar zakat atau karena pelit. Apa ada halangan membangun masjid atau karena enggan repot, jadi ada banyak alasan dan faktur kenapa syariat Islam tidak tegak dengan kāffah—ternyata bukan karena faktor structural. Ternyata ini soal kita yang malas dan enggan repot. Karena itu jangan terlalu bernafsu, jangan kemrungsung tegakkan syariat akibatnya pasti kurang baik.
Sebab jika khilafah ditegakkan dengan caci maki dan sumpah serapah—khilafah ditegakkan dengan kebencian dan permusuhan, percayalah khilafah tak bakal tegak sementara kita saling mencela, membenci dan bermusuhan dengan alasan tegakkan syariat jadi mana mungkin saya bakal percaya. Saya bilang, ini nonsense. [MZ]